Jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit malam. Juna tak henti-hentinya melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, lalu kembali melirik ke arah Rinjani yang masih menampakkan raut wajah santai. Perempuan itu sesekali mengecek ponsel dan melemparkan pandangan keluar jendela.
"Kenapa, sih?" Diam-diam, Rinjani merasa risih dengan gesture Juna yang tidak bisa diam selama di dalam taksi.
"Ini... udah malem. Emang lo nggak papa pulang malem gini?"
Rinjani terkekeh pelan. "Ini, sih masih siang menurut gue! Nggak papa, kok. Gue aja pernah pulang jam sepuluh malem dari rumah temen. Emang kenapa? Lo takut pulang malem?"
Juna menggeleng kaku. "Nggak juga, sih. Cuma belum biasa aja pulang malem gini."
"Mas, di depan masih macet parah, nih. Mau muter aja atau gimana?" Sopir taksi yang kurang lebih berusia setengah abad itu melirik dua orang penumpangnya dari kaca spion.
"Yaudah muter aja, deh Pak. Keburu malem soalnya," Juna menimpali dengan nada gugup yang masih kentara.
Rinjani menatap Juna dengan tatapan meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa. "Santai aja kali. Di rumah gue juga nggak ada siapa-siapa. Cuma ada Bibi doang. Soalnya, Bokap gue lagi dinas di Bandung."
"S-Serius?"
Rinjani tersenyum kalem. "Iya, nggak papa. Nyantai aja."
"Jadi gimana? Mau muter aja, Mas?" Suara sopir taksi tadi kembali mendominasi.
Pada akhirnya, mobil taksi itu memutar arah menuju jalan alternatif yang meskipun jauh tapi setidaknya dapat menghindari macet yang sudah menjadi penyakit kronis kota metropolitan. Maklum, sekarang adalah jam pulang kerja, lalu lintas kota memang lagi sibuk-sibuknya.
***
Hampir satu jam lebih Taksi yang ditumpangi keduanya berputar-putar di jalan yang sama. Kini, Rinjani mulai gelisah dan berulang kali menggigit bibir bawahnya. Sedangkan Juna tak pernah mengalihkan pandangan dari kaca mobil.
"Jam berapa sekarang?" Tanya Rinjani, ia menatap ekspresi sopir taksi yang bisa dibilang cukup berumur itu dari kaca spion. Ekspresinya kebingungan.
"Udah jam setengah sepuluh malem. Sumpah, Rin. Ini udah malem banget..."
Rinjani mendesah. "Tenang, Oke?"
Keduanya sama-sama tidak pernah menduga kalau perjalanan dari sekolah ke rumah dapat menghabiskan waktu hingga tiga jam lebih. Harusnya mereka bisa memprediksikan waktu sibuk kota Jakarta dan Harusnya juga mereka mengingat fakta kalau jarak tempuh dari rumah ke sekolah itu cukup jauh.
Juna dan Rinjani nggak mempermasalahkan biaya argometer yang sudah melebihi jatah uang jajan mereka. Tapi, yang menjadi poin masalahnya; Ini sudah malam, dan mereka sendiri juga nggak tahu ada di jalan mana.
.
"Mas, Mbak, maaf, ya. Turun disini aja."
Rinjani sudah menduga bahwa kalimat ini akan keluar dari bibir sopir taksi yang memang sejak tadi sudah memperlihatkan eskpresi bingung. "Loh? Kok gitu, Pak?!"
"Maaf mbak, daripada lebih nyasar mendingan Mbak sama Mas-nya turun disini aja, saya udah nggak tau harus lewat mana."
"Kok gitu, sih Pak?! Harusnya kalau bapak nggak tau jalan bilang dong dari tadi! Nggak usah sok-sok an muter arah biar nggak macet! Kalau tau gini mendingan kejebak macet sampe tengah malem, deh daripada nyasar gini!" Rinjani menaikkan nada bicaranya, emosi.
"Udahlah, Rin... mendingan kita turun aja." Juna meremas tangan Rinjani yang mulai dingin.
Juna segara merogoh saku celana untuk mengeluarkan dompetnya. Baru ketika ia hendak menyodorkan selembaran uang kertas seratus ribuan sopir taksi tadi justru menolak dengan ekspresi penuh penyesalan. "Ongkos taksinya nggak usah dibayar, Mas. Saya minta maaf, ya."
Juna hanya mengangguk kalem, detik selanjutnya ia membiarkan Taksi itu pergi. Ia menatap Rinjani yang masih terlihat emosi. Tangannya terlipat dibawah d**a dan wajahnya menunjukkan ekspresi masam.
"Sumpah, ya! Ini nggak lucu." Rinjani menggerutu, dan hanya di balas senyum tipis oleh Juna.
"Sini gue bawain tas-nya," Dengan senang hati, Juna membawakan tas Rinjani dan membiarkan perempuan itu berjalan di depannya. "Kita jalan kesana, siapa tau ada orang yang bisa ngasih petunjuk."
***
Empat puluh lima menit berlalu, keduanya masih terus berjalan melawan arah untuk kembali. Juna merasakan sesuatu yang aneh, karena saat berada dalam Taksi, ia tak melihat ada pemukiman dengan warung remang-remang di ujung sana.
Berulang kali, Juna menepis segala asumsi buruk yang hinggap di otaknya. Ia hanya fokus berjalan di belakang Rinjani dan berharap bisa segera sampai ke rumah. Tiba-tiba, Rinjani berhenti dan memutar tubuhnya menghadap Juna. "Disitu ada warung kopi, mau kesana? Kayanya ada orang, tuh."
Juna mendongakkan kepala, samar-sama ia melihat beberapa pria yang sedang duduk disana namun wajahnya tidak terlalu meyakinkan. "Jangan, deh. Kayaknya nggak aman,"
Rinjani tersenyum tipis dan mengangguk, perempuan itu maju selangkah dengan maksud agar bisa berjalan berdampingan bersama Juna. Rasanya, Rinjani kayak ratu yang dijaga sama pengawal kalau harus jalan terus di depan Juna.
Saat melewati warung remang-remang itu, Juna mengeratkan pegangan tangannya pada Rinjani. Entah kenapa, ia memiliki firasat yang tidak enak saat ini. Bau alkohol yang menyengat tercium bahkan setelah mereka berdua melewati warung tersebut. Nggak salah lagi, warung itu pasti menjadi tempat khusus untuk para preman dan berandalan yang mabuk-mabukan.
Juna baru bisa menghela nafas lega ketika keduanya sudah berjalan cukup jauh dari tempat tersebut. Ia megecek ponselnya, dan sesekali melihat ke arah Rinjani yang masih tetap menampakkan ekspresi tenang. Juna bahkan bisa merasakan bagaimana jari-jari mereka saling bertautan satu sama lain.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh," Juna mendesah. "Gila, ini bakal jadi pengalaman tersendiri buat gue kalau kita beneran nyasar sampe tengah malem. Mana nggak ada signal lagi disini! Ah nggak banget, deh."
"Nyasar sampe besok pagi juga nggak masalah," Rinjani tersenyum lebar. "Gue bakal selalu tenang kalau ada elo."
Juna hanya terkekeh kecil. Justru sebaliknya, ia merasa aman karena percaya Rinjani akan selalu berdiri di depannya begitu ada sesuatu yang dirasa mengancam keselamatan. Juna benar-benar percaya, sampai ia tidak takut lagi ketika Arsen berdiri di hadapannya atau ketika ada sesuatu lain yang membuatnya merasa ketakutan.
Juna selalu percaya, Rinjani akan ada di saat yang tepat.
"Juna?"
Dua detik, Juna menoleh dan membalasnya dengan bergumam ringan. "Hmm?"
"Gue tau, ini mungkin nggak wajar kalau gue yang ngakuin duluan. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, mungkin yang selama ini gue rasain itu hal yang nggak biasa," Pernyataan itu membuat Juna megerutkan dahi, entah memang otaknya yang terlalu lemot atau kata-kata Rinjani sulit dimengerti, tapi Juna tidak bisa mencerna rentetan kalimat itu begitu saja.
"Gue... sayang sama—JUNA TOLONGIN GUE!!!"
Teriakan itu membuat waktu terasa berjalan begitu cepat. Juna bahkan tak sempat mengedipkan mata begitu tahu bahwa ada sebuah mobil Jeep yang sudah mengikuti mereka sejak tadi. Dua orang pria dengan aroma alkohol yang begitu menyengat langsung membekap mulut Rinjani dan menggendongnya masuk ke dalam mobil.
"JANGAN BAWA DIA!"
"Ah, diem lo k*****t!" Satu tinjuan mendarat dipipi Juna yang bahkan belum pulih pasca tinjuan dari Arsen.
"Please! Please! Jangan bawa dia, gue mohon. Gue bakal ngasih apapun yang lo minta asal jangan bawa temen gue!!"
Teriakan Juna bahkan tidak berarti apa-apa untuk dua pria mabuk yang masih berusaha memasukkan Rinjani ke dalam mobil Jeep.
"JUNA TOLONGIN GUE!!"
"RIN!! RINJANI!!"
"Ah, berisik lo!! Mau gue bunuh apa?!" Sebuah pisau yang di arahkan ke leher Juna membuat cowok itu diam membeku. Semua ototnya lemas dan tangannya gemetaran. Juna justru memejamkan mata kuat-kuat berharap pisau tajam itu tidak menyentuh kulitnya sedikit pun.
Otaknya tidak dapat berpikir jernih, dan ia dapat menghirup perpaduan bau rokok dan alkohol menyengat dari dua orang ini. Kejadiannya terlalu cepat. Begitu satu tinjuan mendarat di hidungnya, Juna terjatuh lemas di sisi jalan dengan darah yang mengalir di hidung.
Pandangannya mengabur dan yang ia lihat hanya sorot lampu merah dari bagian belakang mobil yang perlahan menjauh. Dua orang tadi, membawa Rinjani dalam mobil Jeep-nya. Juna bahkan tak sekalipun memberikan perlawanan, yang ia lakukan hanyalah berteriak dan berharap seseorang menolong.
Padahal Juna sendiri tahu, satu-satunya orang yang dapat menolong Rinjani adalah dirinya sendiri.
.
Juna berusaha bangun dan meraba bagian hidungnya. Ada bercak darah disana. Cowok itu terduduk di sisi jalan dengan seluruh tubuh yang masih gemetaran. Pada akhirnya Juna hanya bisa menangis dan memukuli kepalanya sendiri.
"b**o! Lo b**o! Lo tuh emang pengecut! Sampe kapan pun lo bakal tetep jadi pengecut!!" Juna mengacak-acak rambutnya frustasi.
Faktanya, menangis dan merutuki diri sendiri nggak akan membuat Rinjani selamat dan keadaan kembali seperti semula. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. Cowok itu merogoh ponselnya di saku dan berdiri berharap benda itu bisa menangkap signal di daerah sini.
Dengan jari yang masih gemetaran, ia meng-unlock layar ponselnya. Saking gemetarnya, ia beberapa kali melakukan kesalahan ketika berusaha memasukkan password. Juna bahkan tidak bisa berpikir akan menghubungi siapa larut malam seperti ini.
Di kontaknya, ia hanya memiliki nomor ponsel Papa, Rinjani dan... Arsen.
"A-Arsen..." Juna menggumam kecil, tanpa berpikir panjang ia menghubungi nomor tersebut dengan jantung yang berdegup kencang.
Hanya terdengar nada sambung tanpa ada jawaban. Ia mematikan sambungan dan melakukan panggilan kedua.
"Sial! Angkaaat! Arsen! Angkatt!" Juna berdecak beberapa kali. Juna benar-benar ingin menangis sekarang.
"b******k! t*i lo Arsen!!"
Juna kembali mengingat sesuatu. Kenyataannya sampai Juna menelfon Arsen hingga ratusan kali pun cowok itu takkan pernah menjawab panggilannya. Ia menyerah, memilih untuk duduk disisi jalan sambil menekuk lututnya. Juna hanya bisa berdo'a, berharap Rinjani baik-baik saja.
Juna kembali melirik ponselnya, dan kembali menghubungi Arsen tak peduli hingga ratusan kali pun.
Please, Gue mohon... kali ini aja, Gue butuh lo Arsen.
***
Seragam putih abu-abunya masih belum ia lepas dengan dua kancing atas terbuka dan dasi yang sudah dilonggarkan. Ia berjalan ke arah kulkas, memeriksa beberapa kaleng minuman yang masih tersisa. Setelah mengambil salah satunya, Cowok itu membuka penutup kaleng dan meneguknya hingga tersisa setengah.
Arsen menghempaskan tubuhnya ke sofa. Menatap layar TV yang menampilkan film action yang membosankan. Ia mengangkat kakinya ke meja dan meneguk kaleng minuman di tangannya sekali lagi. Lampu kamar sudah dimatikan, dan penerangan satu-satunya adalah layar TV yang tetap dibiarkan menyala.
Ponselnya bergetar lagi. Dan Arsen hanya memutar bola mata sebelum memilih untuk menendang benda yang tergeletak di meja itu hingga jatuh ke lantai.
"Berisik!"
Dua detik, ponselnya masih bergetar. Rupanya Juna masih belum menyerah untuk menghubunginya larut malam seperti ini. Arsen mengumpat sebelum akhirnya memilih untuk mengambil ponselnya.
Yah, aneh aja. Nggak biasanya seorang Arjuna repot-repot menelfon jika tidak ada sesuatu yang penting.
Dan, tepat pada panggilan keempat, nada sambung pertama, Arsen langsung menempelkan ponselnya ke telinga. Selang beberapa detik, pikirannya amburadul dan tak tentu arah. Arsen langsung menyambar kunci mobil dan keluar dari rumah.
Satu yang ia harapkan; Rinjani baik-baik saja.
.
.
.
.
(TBC)