Hujan deras membasahi kota, di malam hari ini, udara dingin menusuk tulang. Rintikan air terdengar nyaring. Seorang gadis berlari sekencangnya, menimbulkan picratan air kala sepatu itu menginjak genangan air dari jalan yang berlubang. Lampu jalan meremang. Di belakang, seorang pria berusaha mengejarnya, menerobos air hujan yang memaksa untuk berteduh. Seperti tak akan membiarkan perempuan itu pergi, ia terus berlari.
Tiba di teras rumah, perempuan berambut panjang yang telah basah kuyup itu membuka pintu, tapi nyatanya pintu dikunci dari dalam. Ia mendengus resah. Situasi darurat mengepungnya, layaknya dikejar ribuan zombie, bahkan lebih menyeramkan daripada mereka yang berlumuran darah. Pria berjaket kaos segera meraih pergelangan si perempuan dengan paksa. “Naila, please. Jangan langsung ambil kesimpulan.”
“Lepasin!”
“Apa yang kamu liat, nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kamu.”
“Jelas-jelas, aku liat kamu pelukan sama cewek lain, di halte, di waktu hujan turun. Romantis banget. Itu selingkuhan kamu? Kenapa kamu gak cerita kalau kamu punya selingkuhan? Hati cewek mana sih yang nggak sakit saat liat pacarnya lagi pelukan sama cewek lain?” suara Naila berusaha mengalahkan suara air hujan. Saat ini amarahnya benar-benar tidak bisa dikontrol. Hatinya terlanjur sakit. Ibarat kaca yang berdiri kokoh, lalu jatuh ke dasar lantai, menimbulkan kepingan-kepingan berantakan, berserakan di mana-mana. Kepercayaan yang dibangun dengan sedemikian rupa, rampak dalam sekejap.
“Dua tahun kita pacaran, kamu nggak percaya sama aku.”
Naila terdiam. Bukan karena kehabisan kata-kata ataupun mengalah, tapi ia malas. Memang perempuan mana yang hanya diam ketika lelaki yang ia cintai sekaligus ia cintai bermesraan dengan perempuan lain? Perempuan mana yang rela melupakan pelukan itu? Pada hakikatnya, semua lelaki memang gampang bosan. Mereka bisa langsung berpaling ketika melihat perempuan yang lebih 'waw'. Dan melupakan yang lama, mengganggap mereka basi hingga hanya layak dipenuhi laron.
“Dia cuma sepupu aku. Udah lama kita nggak ketemu. Jadi wajar kalau kita pelukan, cuma sekadar basa-basi. Ayolah, Na. Kita bukan anak SMA lagi.” Sebenarnya, Aksa hanya berkilah. Kalau ia bilang Naila salah melihat orang, masalahnya akan semakin merembes. Ia hanya mencari aman di saat emosi Naila pasang-surut. Tapi Aksa akan berusaha keras meyakinkan Naila kalau hanya dialah wanita pilihan terakhirnya
“Apa? Anak SMA?”
Aksa bungkam.
“Apa bedanya anak SMA sama aku? Sama kamu? Ketauan selingkuh ya ketauan. Cemburu ya cemburu. Emang aku nggak boleh cemburu? Cuma anak SMA aja yang boleh cemburu? Cewek kayak aku gak boleh? Aku tetep cewek, yang marah waktu liat cowoknya pelukan.”
Aksa kehilangan kata-kata. Naila mendesak dengan kalimat-kalimat tak enak didengar.
“Kamu pikir dua tahun itu lama? Sebentar, Ian. Itu waktu yang sebentar banget. Bisa aja kamu lagi cari perempuan yang lebih dari aku. Plis jangan sakitin hati aku. Aku tuh cinta banget sama kamu, cuma butuh satu jam buat jatuh cinta sama kamu, jangan kecewain aku. Aku mohon jangan bosen sama aku." Naila tertunduk, membiarkan air matanya berjatuhan. Terlalu takut jika harus dihadapi dengan kenyataan pahit. Jangan sampai Aksa bosan dengan keberadaannya. Aksa menatap Naila serbasalah. Kalau boleh meminta, Aksa ingin mengulang waktu. Menata kembali segmen-segmen yang terjadi di menit-menit ke belakang. Agar kesalahpahaman ini tak akan terjadi.
"Jangan hancurin kepercayaan aku. Aku takut sama cowok, karena mereka bisa seenaknya mainin hati cewek. Cowok adalah makluk yang paling serem. Tapi kamu jangan, aku berusaha usir rasa takut aku demi kamu. Aku kasih pengecualian."
"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?" Aksa memegang dagu Naila dengan jari jempol dan telunjuknya. Memaksa gadis itu untuk mengangkat kepala, mau melihatnya. Lalu mereka saling beradu pandang. Mata Aksa adalah area paling menonjol. Teritori utama yang menjadi tempat Naila untuk meminta sebuah kejujuran, tempat terjawabnya sebuah pertanyaan. Dan sekarang, mata itu hanya memancarkan sorot ketulusan, kelembutan, dan kejujuran. Tak ada maksud lain untuk memanipulasi. Entah karena Naila terlalu percaya, atau entah benar Aksa selingkuh. Seketika, Naila luluh.
"Kamu mau bukti?" tanya Aksa. Mata yang awalnya tertuju pada mata Naila, kini beralih ke bawah ---bibir Naila. Aksa semakin mendekat, seiring dengan wajahnya yang mendekati wajah Naila yang matanya sedang memejam. Jika ini cara supaya Naila percaya, Aksa akan lakukan. Percayalah, hanya Naila yang Aksa inginkan untuk menjadi pendamping hidup. Untuk menjadi perempuan yang terpatri dalam hatinya.
Dalam malam itu, di antara rintikan air hujan, Aksa resmi mencium bibir Naila ---untuk yang pertama kalinya. Dan itu benar-benar first kiss mereka berdua. Bibir itu bertautan, telinga dan mata terkatup, tak memberikan rangsangan apa-apa. Seolah dunia mati.
Pintu terbuka dari dalam, menampakkan sesosok pria berkumis tebal. Telak, ciuman itu berhasil disaksikan oleh kedua mata minusnya. Pria dengan kisaran umur 50 tahun itu terkejut bukan main. Jantungnya nyaris melompat dari sarang.
"Astagfirullahaladzim!"
Sontak, Aksa dan Naila melepaskan tautan bibir itu. Keduanya sama-sama kaget, saling menutup mulut. Gawat! Pria tua itu menatap kedua remaja di depannya tajam. Penuh penyelidikan. Wajah garangnya membuat Naila takut sekaligus jengah.
Naila tidak sadar kalau sekarang ia berada di rumah, tempat yang tak pernah disinggahi untuk berpacaran. Naila lekas merutuki diri, memaki kasar. Ayahnya pernah memesan agar Naila mau menjaga diri, agar Naila tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pria. Agar Naila bisa menunggu laki-laki yang nanti akan menjadi jodohnya, laki-laki pilihan ayahnya. Aksa kikuk di tempat, kujur ketika mendapatkan tatapan tak sedap yang diterbitkan cowok berbadan besar itu.
“Ini Ayah aku.”
Aksa ingat, Naila pernah memamerkan foto ayahnya dalam hp.
Ini kali pertama Aksa melihat ayah Naila secara langsung. Masih dengan gerakan kaku, Aksa mengangkat tangan, mencoba menyalami, atau lebih tepatnya ---berkenalan---. Naila memicingkan mata, terlalu takut dengan reaksi yang akan segera diluncurkan sang Ayah.
Di malam itulah, ayah Naila memutuskan, kalau Aksa harus segera menikahi Naila. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Bagaimana pun, sebelum menjadi mukhrim, seorang laki-laki dilarang menyentuh bibir putrinya. Jangan berlama-lama untuk berpacaran. Kalau Aksa menolak, berarti ayah Naila tak akan merestui hubungan mereka. Mereka harus secepatnya putus sebelum hal-hal yang lebih membahayakan dan tidak diinginkan terjadi.
Aksa dan Naila saling melirik.
***
“Ma, Aksa mau menikah.”
Perempuan berambut hitam panjang bergelombang itu menoleh dengan kaget. Refleks tangannya memegang d**a. Di pagi buta ini, anaknya tiba-tiba ngelantur. “What?”
“Aku mau nikah.”
“Apa kamu bilang Aksa? Apa telinga Mama nggak salah denger? Coba-coba ulangin.” Belinda mendekatkan telinga di bibir anak bungsunya. Meminta pengulangan kata. Bagi dia, ucapan Aksa barusan hanyalah halusinasi semata. Sambil membenarkan anting, Belinda menunggu.
“Aksa mau nikah.”
Belinda menarik kepalanya, menatap Aksa tak percaya. Keningnya berlipat. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Aksa. “Maksud kamu apa?”
“Apa Mama mau ngerestuin Aksa?”
“Seumur-umur, Mama belum pernah liat tuh kamu bawa perempuan ke rumah. Kamu gak punya pacar, mau menikah sama siapa? Haduuuh.” Belinda terkekeh seraya menggeleng. “Kalau ada pun, Mama gak bakal ngerestuin. Kamu masih muda, masih punya cita-cita yang harus dicapai. Sayang, anak Mama yang paling ganteng, kamu lagi becanda, ya?”
Aksa tahu, mamanya akan bereaksi seperti ini. Belinda tampak merapikan rambutnya yang selalu terlihat glamor. Sepagi ini anaknya sudah membuat ulah dengan berkata yang tidak-tidak. Menurunkan semangat untuk pergi bekerja. Mood-nya hancur dalam sekejap.
“Aksa serius. Nggak lagi becanda,” sahut Aksa menegaskan. Belinda kembali tertawa meremehkan, sampai rentetan giginya yang rapi dan putih terlihat.
“Kakak kamu aja belum menikah. Masa kamu mau ngeduluin dia?”
“Ada apa, Ma?” sosok lelaki berjas rapi tampak turun menuruni anak tangga. Harum parfumnya sampai di hidung Aksa dan Belinda, membekap seluruh ruangan. Benar-benar pria yang maskulin. Setelah berada di bawah, dia lantas melangkah mendekati adik dan mamanya.
“Ini loh, adik kamu. Masa dia baru aja bilang mau nikah. Gak habis pikir deh Mama.” Belinda berkata heboh. Jalan pemikiran Aksa membuatnya pusing tujuh keliling. “Dia pikir nikah itu gampang?”
“Bang? Salah ya gue?” Aksa meminta pendapat kakaknya. Siapa tau dia mengerti dan memberikan solusi. Aksa benar-benar bingung.
“Ya jelas salah lah Aksa!” Belinda menatap Aksa lagi, menjawab pertanyaan yang sesungguhnya ditujukan kepada Andra --kakaknya--. Andra masih tercenung, kurang paham dengan percakapan mereka.
“Emang dengan menikah aku bakal kehilangan karir aku sebagai seorang mahasiswa? Aku masih bisa sekolah, kan? Aku cuma nggak mau lama-lama pacaran. Nggak baik kan, Ma?”
“Tau apa sih kamu tentang menikah? Nikah itu ribet, kamu harus jadi orang yang mapan sebelum menikah. Kamu itu masih bau kencur. Apa kamu nggak tau cewek zaman sekarang? Mereka tuh pada rewel semua. Matre dan gak tau diuntung.”
Kata-kata mamanya menyinggung Aksa. Naila tidak seperti itu. Dia gadis yang bisa menerima Aksa apa adanya, dia gadis yang asik, dia gadis yang dewasa. Bukan perempuan matre seperti apa yang dikatakan mamanya. Paradigma itu salah besar. “Kalau aku udah mapan, semua cewek bakal ngantri. Dan aku gak tau, mana cewek yang tulus dan mana yang nggak.” Aksa membela.
“Woow. Kamu udah berani ngebantah Mama kamu yang cantik ini, ya? Mama yang selalu nurutin semua kemauan kamu. Tapi untuk kali ini, Mama nggak akan setuju. No way.” Belinda menggoyangkan jari telunjuknya. Tak akan pernah mengubah keputusan.
Aksa kelabakan. Ia sudah berjanji kepada ayah Naila. Janji yang harus benar-benar ditepati. Lagipula, apa salahnya menikah? Dia dan Naila bisa membangun karir sama-sama, membangun semuanya dari nol. Tanpa ikut campur tangan orangtua.
“Biarin aja, Ma. Itu kan kemauan Aksa. Fine-fine aja menutut aku,” tanggap Andra yang mulai mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Duduk di kursi meja makan. Menyiapkan sarapan. Tak akan ikut ambil pusing.
“Fine-fine aja gimana menurut kamu? Kamu mau dilangkahin sama adik kamu? Lagian kamu tuh! Udah berumur belum nikah juga. Mama butuh keturunan nih, Mama butuh cucu.” Belinda beralih kepada putra pertamanya, meminta penjelasan, kapan Angga akan menikah. Aksa menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kalau mamanya ingin cucu, seharusnya ia merestui keinginan Aksa untuk menikah. Bukan malah menekan abangnya yang sampai sekarang masih menjomblo. Sibuk dengan pekerjaan.
“Sabar lah, Ma. Ibarat pepatah, nih. Jodoh nggak usah dicari. Dia bakal datang dengan sendirinya dengan waktu yang udah ditentukan. Mama tau lagi D'masiv? Yang liriknya kaya gini; 'Bukan aku yang mencarimu, bukan kamu yang mencari aku. Cinta yang mempertemukan, dua hati yang berbeda ini...'” Andra melahap rotinya, mengangguk-anggukkan kepala, masih menyanyikan lagamnya. Belinda mendelik, Angga selalu menjawab seenaknya. Sama seperti papanya. Di sana Aksa tertawa, mendekati mereka.
“Nah bener tuh, bang!” komentar Aksa antusias, mengacungkan jari jempol. Angga balas mengacungkan jempol yang sama. Adik-kakak yang akur sehidup semati. “Mama mau cucu? Aksa siap kasih, kok.”
“Aksa! Jangan bantah Mama, pokoknya Mama gak setuju kalau kamu menikah. Sebelum kakak kamu nikah, kamu dilarang menikah. Titik.” Belinda tetap bersikukuh pada pendiriannya. Aksa menyatukan alis gemas. Sadar, sulit menaklukan keinginan perempuan yang telah melahirkannya itu.
“Siapa yang mau menikah?” suara itu menghentikan dialog ibu dan anak-anaknya. Dengan serempak mereka mengalihkan pandangan pada asal suara. Belinda mengembuskan napas, melipat bibir ke dalam mulut.
“Aksa, Pah! Aksa!” Aksa langsung menyahut. Melangkah mendekati papanya sambil terus menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. Belinda memutar bola mata, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Wah? Serius kamu?” Papanya tampak tertarik. Suara khasnya mampu membuat Aksa nyaman dan tenang. Berbeda dengan mamanya.
“Iya, Pah. Kapan sih Aksa bohong? Tapi sayang, Pah. Mama larang aku.” Aksa mengeluh. Papanya tersenyum hangat. Ini berita yang bagus sekaligus menyenangkan. Bukan hal yang patut untuk dibantah. “Tenang aja, Mama bisa diatur.”
Belinda melotot.
“Emang siapa calonnya?”
“Ada. Nanti Aksa kenalin.” Aksa berubah sumeringah. Sebelumnya ia yakin, kalau papanya yang satu ini tak akan menolak. Dia akan setuju selama itu tidak melanggar peraturan undang-undang. Kalau Aksa meminta untuk membunuh seseorang, baru, papanya yang akan membunuh anaknya duluan.
Andra beranjak, berbisik sesuatu di telinga mamanya yang sedang kesal setengah mati. “Mama kalaah, Mama kalaaah. Biarin aja lah, Ma. Andra percaya, pilihan anak itu nggak bakal salah. Percaya, deh. Yang penting sekarang, kita ketemu dulu sama cewek yang udah bikin Aksa ngebet pengin nikah.”
“Iihh!” Belinda menjauhkan telinganya dari mulut Andra, wajah putih yang selalu dirawatnya berubah merah padam. Mengapa semua anggota keluarga rumah ini tak ada yang setuju dengan pendapatnya? Ia hanya belum siap menyerahkan putra kesayangannya ke tangan perempuan yang Aksa cinta. Siap diduakan cintanya.
“Tenang, masih ada Angga,” cowok itu berkata meyakinkan dan terdengar geli. Belinda bergidik, menyeka kening. Andra tertawa.
“Ceweknya cantik, Pa. Baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Tapi sayang, bawel, Pa.” Tapi sesungguhnya, Aksa tidak menyayangkan hal itu. Karena cewek tak ada yang sempurna. Justru, karena bawel dan apa adanya itulah yang membuat Aksa jatuh hati. Papanya terkekeh pelan, tidak memedulikan eskpresi masam yang diluncurkan istrinya, Belinda.
Kalau sang kepala rumah tangga sudah menentukan, Belinda tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa menolak atau memberikan masukan. Hanya bisa diam dan menerima.
“Besok, bawa calonnya ke sini.” Satria melanjutkan, menepuk bahu Aksa karib.
Aksa memberikan hormat layaknya bawahan yang patuh kepada komandan. Mereka pun tertawa. Ketika tertawa, mereka terlihat mirip sekali. Aksa memang sering disebut anak yang paling tampan, ia mewarisi wajah papanya. Manis. Sementara Angga mewarisi wajah mamanya, jadi wajah adik-kakak itu banyak sekali perbedaannya. Namun tetap, mereka sama-sama tampan. Mereka adalah anak kebanggaan Belinda dan Satria.
Seperti yang dijanjikan, esoknya Aksa mengajak Naila ke rumah untuk mengadakan pertemuan dan perkanalan. Mereka memang sudah menjalin hubungan selama dua tahun, tapi keduanya sama-sama belum pernah menceritkan hal itu kepada orangtua masing-masing.
Belinda tidak begitu tertarik dengan pertemuan itu, hingga dia lebih banyak diam.
***