"Kenapa bisa sampe separah ini sih?" gumam Riska sampai meringis ketika mengobati luka itu, "Bapak harus ke rumah sakit ya buat cek, takutnya ada yang infeksi." Tekannya mengulang entah yang keberapa kalinya.
Segara yang menjadi pasien justru terlihat begitu tenang bahkan tidak menunjukkan rasa kesakitan. Riska yang selesai menutup perban luka lelaki itu mengangkat wajahnya menatap lelaki itu dan seketika terdiam sejenak menyadari lelaki itu juga sedang menatapnya dalam diam.
"Maafin aku."
Riska spontan terkesiap, mengerjap sembari menelan ludah, sungguh ia sangat terkejut mendengar lelaki ini tiba-tiba minta maaf kepadanya, Segara sendiri menatapnya lembut yang membuatnya makin merasa tak nyata.
"Ehem ... lupakan saja toh sudah terjadi," dehamnya belagak sibuk merapikan peralatan obat padahal sebenarnya sedang mengatasi rasa canggung.
"Aku akan ganti rugi semuanya."
"Tidak perlu, lagian bukan kecelakaan besar."
"Kamu maafin aku?"
Tentu saja Riska spontan mengangkat kepalanya, menatap lekat wajah lelaki itu dengan kaget. Lelaki ini kesambet apa tiba-tiba jadi lembut begini, biasanya saja sangat kaku.
"Hm, anggap saja selesai." Ia segera beranjak berdiri dari tempat duduknya, "sebaiknya Bapak segera pulang, harusnya mobil Bapak juga sudah selesai diperbaiki." Jelasnya karena itu alasan Segara menunggu di apartemennya.
Lelaki bertubuh kekar dengan proporsi bak dewa Yunani itu menipiskan bibirnya, berdiri dari tempatnya perlahan dengan Riska yang diam-diam memerhatikan.
"Aku pulang dulu," pamitnya dengan pelan yang hanya dibalas anggukan pelan Riska, selanjutnya lelaki itu benar-benar beranjak keluar ruangan dengan langkah gontai.
Riska semula terlihat tenang, namun tiba-tiba teringat sesuatu dan segera mengejar lelaki itu, nasib baik lelaki itu baru akan masuk lift.
"Pak!" pekiknya mengejar membuat Segara yang ingin masuk jadi terhenti, ditatapnya kaget wanita yang tiba-tiba mengejarnya itu.
"Ada apa?"
"Tangan Bapak kan terluka, biar saya saja yang nyetir." Ujarnya sontak membuat lelaki itu mengerjap lebar, kemudian Riska berjalan masuk ke dalam lift diikuti lelaki itu. "Anggap saja ini hanya sebatas rasa hormat karyawan pada atasannya." Celetuknya mendumel, namun justru membuat lelaki itu mengulum bibirnya senang.
***
"Uhuk!"
Riska sengaja terbatuk karena merasa begitu awkward dengan suasana mobil yang sangat senyap, sepanjang jalan mereka sama sekali tidak berbicara yang menambah kesan canggung diantara keduanya.
"Saya nyalakan musik ya."
"Iya."
Riska segera menyalakan musik dibantu Segara, awalnya ia tampak santai-santai saja ketika playlist pertama, namun ketika playlist terus berganti seketika itu juga ia terdiam dengan jantung berdegup kencang.
'Ini kan lagu kesukaanku semuanya.' Batinnya sangat syok.
"Kamu masih suka sama lagu-lagu itu?"
"Ha?" Riska yang begitu kaget dengan pertanyaan tiba-tiba lelaki itu sampai terperanjat cepat, "oh ... hm." Balasnya dengan nada gagap yang tidak bisa disembunyikan.
Tanpa diketahui siapapun sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas beberapa centi dari tempatnya. "Bagus deh."
Sontak saja lirikan tajam langsung Riska lemparkan pada Segara mendengar gumaman pelan itu, apa deh maksud lelaki ini mengatakan hal itu, aneh sekali!
Kemudian yang terdengar selanjutnya hanyalah suara musik, kedua orang itu lagi-lagi tidak saling mengatakan apapun, kalau Riska sendiri sih jujur karena bingung apa yang harus dikatakan dalam situasi seperti ini, apalagi sebenarnya kan hubungan mereka tidak sedekat itu sampai bisa saling mengobrol santai.
"Tadi.."
Riska yang sedang fokus menyetir hanya mengernyit mendengar suara mengambang orang di sebelahnya yang terdengar ragu-ragu, Segara sendiri terlihat menarik napas dalam seperti sedang menahan sesuatu.
"Tadi ngapain di tempat lelaki itu?" akhirnya pertanyaan itu keluar dengan nada datar seperti khasnya Segara.
Riska tentu mengerjap cepat, makin melirik aneh orang di sebelahnya. "Bukan urusan Bapak."
"Kalian karyawanku tentu itu urusanku."
Riska menghela napas mendengar nada diktator andalan lelaki itu, malas lebih berdebat akhirnya ia pun menjawab seadanya. "Cuma makan."
"Ingat tidak boleh ada percintaan antar karyawan, kamu tau kan?"
"Iya saya ingat Bapak Segara!" tekannya dengan nada geram, menyebalkan sekali sih lelaki ini ya meskipun memang benar ada peraturan seperti itu tapi setahunya itu juga hanya formalitas belaka agar kinerja karyawan tidak terganggu, tapi lelaki di sebelahnya bertindak begitu ketat dan kuno saja.
Meskipun dijawab seketus itu tapi bukannya marah lelaki itu justru mengulum bibirnya dengan kerlipan lega, ia memang egois dan ia akui itu, tidak akan ia biarkan gadis ini bersama Darel atau lelaki manapun.
"Riska–"
"Sampe!" seru gadis itu kemudian mematikan mesin mobilnya, lelaki dengan jawline tegas dan manik mata gelap itu spontan memutar pandangan sekeliling kaget, kenapa cepat sekali sih sampainya. "Bapak masuk aja, saya permisi pulang."
Melihat Riska yang sudah bergegas keluar mobil membuat lelaki jangkung itu langsung berlari mengejar, "tunggu!"
"Kenapa lagi?"
"Sudah malam, biar aku pesankan taksi."
"Aku bisa pesan sendiri."
"Kamu bawa uang?"
Mendengar pertanyaan itu Riska spontan berdiri tegak sempurna dengan bola mata membulat, ah iya tadi karena buru-buru mengejar Segara ia sampai lupa membawa dompetnya. Melihat reaksi dari gadis itu membuat Segara terkekeh pelan.
"Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku." Lirihnya tulus berharap tidak akan ditolak kembali.
Riska yang memang sudah kepepet tentu saja tidak punya pilihan apapun selain menerimanya, ya meski agak memalukan tapi gak papa deh, toh lagian duit orang di depannya ini kan banyak.
"Aku sudah pesankan hotel, kamu menginap saja disitu. Nanti aku akan suruh orang buat bersihkan apartemenmu."
Riska makin terkejut mendengarnya, "gak–"
"Besok kamu harus bekerja kalau malam ini kamu bersih-bersih itu tidak akan efisien juga."
Kali ini gadis itu tidak bisa membantah lagi, apalagi mengingat apartemennya yang basah kuyup cukup parah tentu saja pasti butuh waktu lama untuk membersihkannya.
"Aku mau ambil barang dulu."
"Kamu tulis saja apa yang kamu butuhkan, nanti akan diantarkan." Kemudian Segara menyodorkan hanphonenya yang diterima Riska dengan kikuk, meskipun agak sungkan tapi gadis itu akhirnya mau menuruti perintah Segara, Riska yang mengetik tepat di sebelah Segara membuat jarak yang tercipta diantara mereka benar-benar terkikis.
Meskipun kelihatannya santai nyatanya Riska sekarang sedang menahan tremor dan deg-degan parah, ia sangat yakin sudah tidak punya perasaan apapun lagi pada lelaki ini, pasti sekarang ia begitu karena panik saja.
"I-ini!" ketusnya mengembalikan hanphone itu dan buru-buru menjaga jarak tapi naasnya ia yang begitu panik justru tersandung kakinya sendiri sampai hampir terjerembab.
Namun tidak seperti sinetron-sinetron yang ketika si wanita akan jatuh maka ditangkap oleh si pria, kali ini justru Segara ikut terhuyung jatuh karena tidak siap ketika Riska spontan menarik tangan lelaki itu untuk berpegangan.
Mereka berdua akhirnya ambruk ke lantai berbahan semen dengan cukup nyaring, Riska sampai memejamkan matanya kuat-kuat menyadari tindakan bodohnya barusan, ia langsung mengumpati dirinya sendiri. Namun anehnya tidak ada suara apapun membuatnya langsung membuka matanya, dan seketika itu juga tatapannya bertemu dengan lelaki itu yang berada tepat di atasnya, keduanya spontan saling berpandangan satu sama lain dengan sangat intens.
Riska menelan ludahnya, terperangah menatap lekat wajah orang yang berada beberapa centi tepat di atasnya itu. "Ganteng banget." Ceplosnya tanpa sadar.
Membuat keduanya sama-sama terkejut.