Keesokan harinya, Brian sudah duduk di kursi teras rumah Alana. Hal itu membuat Alana dan kedua sahabatnya terkejut karena Brian ada di rumah Alana.
"Udah siap ke kampus, Alana?" tanya Brian melemparkan senyum.
Alana menelan ludah, dia melirik kedua sahabatnya. Brian pasti marah karena Alana masih dengan gaya tomboynya, padahal Brian meminta Alana berubah sedikit demi sedikit sehingga dalam satu minggu bisa sempurna.
"Kak Brian tumben pagi-pagi disini? Apa ada kelas les mendadak?" ucap Keyla menginterogasi Brian.
"Nggak ada kelas pagi kok. Aku kesini spesial jemput Alana ke kampus, loh emangnya Alana belum cerita ke kalian ya kalau aku bakalan jemput dan antar Alana ke kampus," ungkap Brian mantap.
"Oh, ya udah Kak nih Alananya. Biar aku sama Keyla naik Taxi online," perintah Vita cepat.
Alana sebenarnya enggan ke kampus bersama Brian, dia ingin sejenak menjauh dari Brian sampai dia sanggup merubah penampilannya. Namun, Brian tak memberikan kesempatan. Mau tak mau Alana mengikuti Brian karena memang menyukai Brian dan tak ingin melukai hatinya.
"Ayo Alana," ajak Brian mengulum senyum.
Alana mengangguk, lalu memandang sahabatnya. "Aku duluan ya, sampai ketemu di kampus," pamitnya lalu naik ke motor Brian.
Keyla dan Vita menatap kepergian Alana dan Brian. Mereka berharap awal mula kasmaran Alana dan Brian tak ada masalah, walaupun ada hanyalah masalah kecil yang mudah diselesaikan.
***
Di perjalanan, motor Diaz dan motor Brian berhenti berdampingan di lampu merah. Sontak Diaz dan Alana saling memandang, Diaz tak menyangka Alana akan berangkat ke kampus bersama Brian.
"Alana, kenapa hati aku sakit liat kamu bareng Brian. Padahal aku sudah tahu kalian saling suka," ucap Diaz dalam hati.
Sementara Alana memandang Diaz sendu, dia tak enak hati karena Diaz harus melihatnya bersama Brian. Padahal kemarin Diaz membuat Alana bahagia seharian dan berhasil membangkitkan mood Alana. "Maafin aku Diaz, aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Walaupun kita nggak ada hubungan spesial tapi aku ngerasa salah." Batin Alana.
Diaz kembali menoleh Alana, dia melihat lampu sudah berwarna hijau. Diaz langsung menancap gas kencang. Sementara Alana terus melihat motor Diaz yang melaju kencang dan hatinya terenyuh melihat sikap Diaz yang sepertinya kecewa.
"Alana, kamu udah makan belum? Kalau belum kita makan yuk," ajak Brian dengan suara lantang agar Alana mendengar ucapannya.
"Aku udah makan kok, kita langsung ke kampus aja Kak," pinta Alana cepat, walaupun dia belum makan tetapi tak ada mood makan.
"Oke," sahut Brian cepat.
Diam-diam Alana menghela nafas panjang. Pagi ini Alana masih malas berinteraksi dengan Brian karena perlakuan Neva yang sombong, walaupun Brian tak bersalah tetapi tetap saja Neva kakak kandung Brian.
"Oya Alana, ntar sore kamu ikut aku ke rumah ya. Kak Neva pengen ketemu sama kamu, dia siap ngajarin kamu jalan cantik," ungkap Brian bahagia.
Alana tak bergeming, dia ragu menyetujui permintaan Brian. Apalagi bertemu dengan Neva, pastinya Neva semakin memperolok karena Alana tak bisa menjaga penampilannya sebagai wanita.
"Alana, kamu keberatan ya?" tanya Brian pesimis.
"Emm… Enggak kok Kak. Aku siap," sahut Alana pasrah.
"Oke, nanti sore aku jemput di rumah."
Alana mengulum senyum, sebuah senyuman keterpaksaan karena mulai ragu dengan rasa sukanya pada Brian. Lebih tepatnya ragu kalau keluarga Brian akan menolaknya mentah-mentah saat mengetahui ada cinta diantara mereka.
Sementara itu, Brian masuk ke gerbang kampus. Brian mengambil parkiran di samping motor Diaz, saat itulah Alana melihat Vanes tengah menggoda Diaz di parkiran.
"Ya ampun Diaz, kamu cool banget sih. Pagi-pagi udah keringetan, kamu itu heroku. So, kamu nggak boleh keringetan," ucap Vanes mesra, sengaja memanas-manasi Alana karena kehidupannya sudah bebas dari Alana. Bahkan Vanes mengusap keringat di kening Diaz dengan sapu tangannya.
Diaz melirik Alana, lalu memandang Vanes. "Makasih ya. Kamu memang baik dan selalu tahu apa yang aku butuhin," sahutnya mantap.
"Tentu dong. Aku juga siap melayani kamu 24 jam, asalkan kamu nggak kalah cepat ya," lanjut Vanes optimis.
Alana jengah mendengar percakapan Vanes yang sengaja memanas-manasinya. Alana segera turun dan menyerahkan helm pada Brian.
"Aku masuk dulu ya Kak. Udah terlambat nih," ucap Alana mengulum senyum terpaksa.
"Oke, aku pulang dulu ya." Brian segera memakai helm, tak lama dia menancap gas keluar dari gedung kampus.
Alana menelan ludah melihat kedekatan Vanes dan Diaz, Alana heran mengapa dirinya seakan tidak rela Diaz berdekatan dengan Vanes. Padahal Alana sendiri dekat dengan Brian, tanpa Alana sadari Keyla dan Vita sampai di kampus. Mereka menghampiri Alana, memperhatikan Alana yang cemburu dengan kedekatan Diaz dan Vanes.
"Kayaknya ada yang terbakar api asmara nih Vit," ucap Keyla menggoda, membuat Alana terkejut.
"Apaan sih," sahut Alana ketus. Dia memperhatikan Diaz yang melenggang masuk ke kampus, sementara Vanes mengekori Diaz. "Ganjen banget sih," lirih Alana.
"Kamu ngomong apa?" tanya Viya penasaran.
"Eh, enggak kok. Masuk yuk, ntar kita kesiangan," elak Alana, dia melenggang pergi.
"Tungguin kita dong," sahut Vita, lalu mengejar Alana bersama Keyla.
***
Selama kelas berlangsung, Alana tak bersemangat mengikuti kelas karena pikirannya melayang pada Diaz dan Brian. Dia heran mengapa 2 laki-laki itu mengganggu pikirannya, bahkan berhasil memecahkan konsentrasi belajar Alana. Padahal selama ini tak ada yang bisa melakukan itu. Alana yang kalut memilih ke taman belakang kampus, dia berharap bisa lebih tenang.
"Alana, fokus dong. Masa gara-gara cowok jadi galau, nggak etis banget," ucap Alana menyemangati dirinya sendiri. Sementara langkahnya menuju taman kampus.
Di sisi lain, Diaz berdiri di tepi danau. Pandangannya kosong menerawang jauh ke danau, sementara tangannya melemparkan bebatuan kecil ke danau.
"Kenapa jadi galau mikirin Alana sih sejak ke bukit kemarin. Harusnya gue nggak ambil hati liburan kemarin," ucap Diaz heran dengan perasaan hatinya.
Diaz mencoba menetralkan pikirannya yang kacau. Mendadak kepalanya berputar-putar dan badannya mendadak lemas. Tak berlangsung lama, darah segar keluar dari hidung Diaz dan membuat pandangannya buram.
"Ya Tuhan, kenapa sakit ini datang lagi," keluh Diaz seraya memegangi kepalanya.
Diaz seakan tak kuasa menopang tubuhnya untuk berdiri tegak. Apalagi pandangannya semakin buram, dia mencoba melangkahkan kaki maju. Nahas Diaz malah tercebur ke danau. Tepat saat itulah Alana datang ke tempat dimana Diaz berpijak.
"Kenapa aku ngerasa Diaz ada di danau ini ya," ucap Alana menerka-nerka.
Jantung Alana semakin berdetak kencang, bahkan Alana melihat ponsel Diaz tergeletak di rerumputan di tepi danau. Alana pun memungut ponsel yang sudah basah itu.
"Ini kan ponsel Diaz. Kenapa bisa di tepi danau sih," ungkap Alana bingung. Dia menjamah pandangannya, namun tak mendapati Diaz.
Tanpa sadar, Alana memandang danau itu. Alana merasakan jantungnya berdebar kencang dan wajah Diaz bergelayut di pikirannya. Sementara itu, di tengah danau tampak tangan Diaz melambai ke atas meminta pertolongan. Sepertinya Diaz kesulitan menggapai daratan karena kondisi tubuhnya lemah.
Alana tak sengaja menatap ke danau, dia shock melihat tangan kekar terulur dan samar-samar dia mendengar nama 'Alana.'
"Ya Allah, apa itu Diaz?!" Ucap Alana lirih, Alana memicingkan mata, memperhatikan danau dengan saksama dan melihat sebuah tangan terulur. "Diaz,," pelik Alana.
Ya Tuhan.. Diaz bisa tenggelam jika tidak ditolong secepatnya. Alana pun menjamah pandangan berharap ada orang melintas, sayang tak ada orang di sekitar danau karena hari semakin siang dan semua mahasiswa pasti sudah pulang
"Bismilah," ucap Alana mengumpulkan seluruh kekuatannya. Lalu menceburkan dirinya ke danau.
Alana berenang dalam air danau yang warnanya tampak kehijauan. Untunglah Alana jago berenang dan saat kecil sering memenangkan lomba renang, tak heran dia piawai berenang. Dia menjamah pandangan mencari sosok Diaz, setelah beberapa saat Alana melihat Diaz mengambang dalam air dan tak sadarkan diri. Alana meraih lengan Diaz dan membawanya ke permukaan, dengan susah payah Alana mengangkat tubuh kekar Diaz ke tepi danau.
"Diaz bangun," ucap Alana khawatir, dia menepuk-nepuk pipi Diaz.
Alana menggigit bibir bawahnya kejam, dia bingung bagaimana caranya menyadarkan Diaz. Dengan nafas tersenggal-senggal, Alana menekan d**a Diaz dengan kedua permukaan tangan yang ditumpuk, dia menekan sekuat tenaga. Sayangnya, Diaz tak kunjung siuman.
"Gimana ini, pertolongan pertama gagal. Aku harus ngapain biar Diaz siuman dulu," ucap Alana semakin panik.
Alana menelan ludah gusar, dia memandang wajah Diaz yang sudah pucat dan badannya dingin. Haruskan Alana melakukan itu untuk menyadarkan Diaz? Hanya ada satu lagi pertolongan pertama. Yaitu memberikan napas buatan untuk Diaz, namun Alana ragu melakukannya.
"Ya Allah, masa aku lakuin itu sih. Diaz kan bukan siapa-siapa aku. Malu dong," pikir Alana.
Alana memandang sekitar, tetap tak ada orang. Danau di kampus ini memang sepi jika sudah sore, apalagi lokasinya di belakang kampus. Tak ayal jarang masyarakat sekitar berkunjung ke danau ini. Alana mengatur nafasnya yang memburu, tak ada jalan lain selain memberikan napas buatan untuk Diaz.
"Oke, kamu harus siap Alana. Bismilah, ini buat nyelamatin nyawa orang. Bukan karena hal lain." Alana berkata pada dirinya sendiri, dia memejamkan mata dan memberikan nafas buatan untuk Diaz.
Dengan sekuat tenaga Alana memberikan napas buatan untuk Diaz dengan mata terpejam, dia tak ingin melihat insiden tersebut dengan matanya. Setelah beberapa saat, Diaz sadarkan diri dan batuk-batuk. Saat itulah air yang Diaz masuk dalam tubuh Diaz keluar.
"Alhamdulilah, akhirnya kamu sadar juga. Aku khawatir banget kamu nggak sadar-sadar," ucap Alana bahagia.
"Alana," panggil Diaz lirih.
"Jangan banyak bicara dulu ya. Kita ke rumah sakit sekarang, kamu pucet banget," pinta Alana iba.
Diaz mengulum senyum dan menganggukan kepala. Lagi-lagi Alana menjadi malaikat Diaz, Alana kembali menyelamatkan Diaz. Andai tak ada Alana, mungkin Diaz hanya tinggal nama. Ketulusan Alana membuat Diaz semakin nyaman bersama Alana, walaupun sampai sekarang kepalanya sangat sakit dan ingin berteriak tetapi Diaz bisa menahan karena ada Alana.
"Alana, makasih ya kamu kasih kekuatan untukku. Andai nggak ada kamu, aku pasti kesakitan," ucap Diaz dalam hati seraya memandang Alana.
"Ayo Diaz."
Alana berdiri, dia membantu Diaz berdiri dan memapahnya. Diaz pun tak jemu memandang wajah Alana, wajah teduh dan mencerminkan ketulusan. Sementara Alana tak berani memandang wajah Diaz, dia malu karena memberikan napas buatan untuk Diaz. Bahkan jantung Alana berdebar hebat akibat tindakannya memberikan napas buatan.
"Kira-kira Diaz tahu nggak ya, sumpah malu banget aku," ucap Alana dalam hati.
"Alana, aku janji akan balas kebaikan kamu. Aku akan memberikanmu kebahagiaan dan senyuman, senyum kebahagiaan seperti di bukit," janji Diaz dalam hati.
Alana melirik Diaz, dia merapat Diaz keluar kampus. Menemui Taxi online yang dipesan.
***