Pada akhir pekan yaitu hari Minggu, sesuai janji dari Nisa pada Moti, dia dijemput oleh Alan untuk pergi ke rumah Moti.
Alan sendiri yang datang untuk meminta izin dari orang tua Finisa.
"Om Der, Tante, Rina, saya minta izin yah mau bawa Nisa ke rumah," ujar Alan.
Derian mengangguk.
"Boleh, Nak Alan. Silakan, nggak apa-apa, malah Tante senang kok kamu sendiri yang datang buat minta izin," jawab Rina.
Alan tersenyum.
Finisa keluar kamar sambil memakai tas selempang kecil dan berkata pada ayah dan ibunya. "Pa, Ma, Nisa pergi ke rumah Tante Momok yah?"
"Ya, boleh. Sampaikan salam Papa dan Mama pada Tante Momok," ujar Derian
"Ok," sahut Nisa.
Derian melirik ke arah Alan dan berkata, "Mungkin sebentar malam atau besok Om akan menghubungi keluarga kamu dan membicarakan hari apa untuk datang ke rumah agar melakukan lamaran resmi bagi Nisa."
Alan mengangguk mengerti
"Baik, Om. Nanti Alan bilang ke Ayah buat siap-siap," balas Alan.
Derian mengangguk.
"Hati-hati yah di jalan."
Alan dan Finisa mengangguk. Tangan Finisa menggandeng tangan Alan dan mereka berdua berjalan keluar rumah.
Rina melirik ke arah suaminya dan dia berkata, "Apa nominal uang pernikahan yang akan kita minta ke pihak Basri akan disetujui?"
"Rin, Basri itu kaya raya, uang dan harta mereka segudang. Sampai tujuh turunan pun harta itu tak akan habis dimakan oleh anak cucu Basri. Lagipula harga yang kita tentukan itu masih dalam batas normal, dan aku yakin, pasti mereka tidak akan menolak," balas Derian.
Rina mengangguk.
"Apa kita tunggu Mamah pulang dulu dari Perancis? kan apa-ap begitu harus Mamah tahu," ujar Rina.
Derian mengangguk.
"Itu sebabnya setelah kepulangan keluarga Basri dari sini, aku langsung menelpon Mamah dan mengatakan pada beliau bahwa ada urusan penting di rumah dan harus pulang secepatnya ke sini. Dan aku sudah menerima kabar bahwa kemarin pagi Mama sudah terbang dengan pesawat dari Perancis ke sini, mungkin sore akan tiba di sini, lalu malamnya kita bisa membahas mengenai hal lamaran Nisa dan menentukan apa saja yang kurang. Aku melihat keluarga Basri benar-benar serius untuk mengambil anak kita menjadi menantu mereka. Lagipula menurutku, tidak baik lama-lama dalam lamaran ini, mereka sudah dewasa dan tahu mana yang buruk dan mana yang baik," ujar Derian.
Rina mengangguk mengerti.
"Ya, Mama ngerti, Pa."
….
"Aku dengar dari telpon Papa tiga hari yang lalu setelah kamu dan keluarga pulang dari rumah, Papa telpon Oma yang lagi liburan di Perancis buat cepat pulang ke rumah dengan alasan ada urusan penting yang harus segera diselesaikan tanpa bilang pada Oma kalau kamu melamarku untuk menikah," ujar Finisa.
Mereka masih berada di dalam mobil perjalanan ke rumah Alan.
"Ah, aku mengerti maksud dari omongan Papa kamu tadi. Papa kamu bilang kemungkinan malam nanti atau besok beliau akan memberi kabar mengenai lamaran resmi yang akan keluargaku lakukan," balas Alan.
Finisa manggut-manggut mengerti.
"Berarti memang tunggu Oma saja."
Alan mengangguk.
Tak berapa lama setelah mereka terlibat dalam percakapan ringan, mobil sampai di depan gerbang rumah Alan. Pintu gerbang secara otomatis dibuka dan mobil yang dikendarai oleh Alan memasuki teman kecil depan rumah dan berhenti tepat di depan pintu rumah.
Alan dan Nisa keluar dari dalam mobil. Nisa tak perlu dibukakan pintu mobilnya oleh Alan, sebab perempuan itu selalu berwatak keras dan tegas, tidak lembek harus diperlakukan oleh pria seperti seorang putri yang sakit-sakitan.
Setelah keluar dari mobil, mereka saling bergandengan tangan dan masuk ke rumah.
"Assalamualaikum," salam Alan dan Finisa secara bersamaan ketika kaki kanan mereka melangkah memasuki pintu rumah.
"Waalaikumsalam, Tuan Alan, Non Nisa. Mari silakan masuk, Nyonya Moti dan yang lainnya baru saja ingin santai di depan rumah kaca. Beliau menunggu kedatangan Anda agar bisa bersama-sama melihat tanaman hias dan herbal beliau," balas kepala pelayan perempuan. Dia adalah kepala pelayan yang mengurusi bagian dapur Basri, termasuk daftar makanan apa saja yang harus dimakan oleh Moti dan apa saja yang tidak boleh dimakan oleh Moti. Hal ini untuk memperhatikan gizi dan apa saja yang masuk dalam perut keluarga Basri.
Alan dan Finisa mengangguk mengerti. Dengan masih bergandengan tangan, mereka berdua melangkah menuju pintu belakang.
Terdengar suara seorang anak perempuan yang berlari-lari sambil membawa gunting kecil dan keranjang yang berlingkar di depan dadanya.
"Mana Tante Nisa?" tanya anak itu. Meskipun bicaranya kurang jelas karena masalah umur, Ben dan yang lainnya tahu apa yang dimaksudkan oleh Chana.
"Sebentar lagi sayang," jawab Popy.
"Halo," sapa Nisa.
Chana dan yang lainnya melirik ke arah Alan dan Nisa.
"Tante Nisaaa!" Chana berlarian ke arah Nisa dan minta digendong.
Finisa melepaskan rangkulan tangannya dari Alan dan membuka lebar tangannya agar Chana dapat masuk ke dalam pelukannya.
"Chana udah nunggu Tante Nisa lama yah?" tanya Nisa.
Chana mengangguk berulang-ulang tanpa menjawab. Finisa terlihat gemas dengan Chana dan dia mengecup pipi Chana yang tembem dan mulus.
Tak lama setelah datangnya Alan dan Nisa, muncul Cassilda.
"Tante Momok! ah, ada Chana di sini!" Cassilda terlihat bersemangat datang menjenguk Moti.
Moti melirik ke arah anak dari Aran Moch, yaitu pria yang dulu pernah ditemukan dompetnya oleh Moti.
"Cassy, halo. Wah, udah tiga minggu kamu nggak main ke sini, Tante Momok nggak lihat kamu," balas Moti, dia terlihat sangat senang dengan kedatangan semua orang yang dikenalnya.
"Tante Cassy!" sapa Chana, dia turun dari pelukan Nisa dan berlari memeluk lutut Cassilda. Chana kenal dan sudah menyukai Cassilda karena di setiap dia diculik oleh sang paman bungsu untuk jalan-jalan, selalu ada Cassilda yang ikut menemani. Cassilda dan paman bungsunya itu adalah teman baik satu kelas di kampus. Dulu sekelas dengan ibunya, tapi sekarang ibunya memilih untuk merawat Chana agar sedikit lebih besar baru memutuskan akan kuliah lagi.
"Oohoho! coba Tante Cassy lihat, ada apa di dalam keranjang ini," ujar Cassy sambil menggendong Chana.
"Oh gunting," ujar Cassilda sambil manggut-manggut. Kemudian dia melihat ke arah Moti dan berkata, "tiga minggu lalu Cassy lagi sibuk banget Tante. Lagi ngurus kuliah, kan tahun ini Cassy mau semester enam, lagi lihat-lihat judul apa yah yang mau diajukan setelah KKN nanti, biar cepet selesai kuliah gitu."
"Oh begitu," balas Moti sambil manggut-manggut mengerti, dia melirik ke anak bungsunya yang sedang mengupas kacang rebus dan berkata, "Liham udah lihat judul apa yang akan diajukan nanti?"
Liham yang sedang mengunyah kacang rebus itu menggelengkan kepalanya.
"Belum, Bun. Ini terlalu awal, tahun depan saja ah baru Liham lihat-lihat judul," jawab Liham.
Moti manggut-manggut mengerti.
Terdengar suara Bilal yang melangkah mendekat ke arah rumah kaca sambil berkata, "Gimana dia mau lihat judul awal-awal, Bun? kerjaannya sehari-hari cuma bolos kuliah doang."
"Jangan fitnah! ingat, fitnah lebih kejam dari pada *pembunuhan!" bantah Liham langsung. Dia melirik ke arah ibu dan berkata, "Bunda, jangan percaya mulut Kak Bilal, orang hukum tuh memang gitu, banyak bicara dan bual sana-sini, makanya mereka kerjaannya yah cuma debat-debat doang, cerocos sana-sini tanpa bukti macam Kak Bilal ini."
Kemudian Liham tersenyum ke arah sang ibu dan mendekat ke kaki ibunya lalu memeluk sayang lutut sang ibu sambil berkata, "Bunda, Liham anak baik kok. Liham nggak bolos, cuma nitip pesan buat Cassy aja untuk izin ke dosen kalau Liham ada urusan mendadak, kok. Ya kan Cassy?" Liham memberi kode senyum manis pada sang teman dan dia menaik turunkan keningnya.
Cassilda terkekeh dan dia mengangguk.
"Iya, Tante Momok."
Moti tertawa geli dan mengusap sayang kepala anak bungsunya.
"Bunda percaya kok kalau kamu izin kuliah bukan bolos kuliah," ujar Moti.
Liham tertawa senang sambil mengusap pipinya ke lutut sang ibu dan berkata, "Bunda yang paling pengertian dan sayang sama Liham, karena Liham anak bungsu dan imut dari Bunda Momok."
"Hahahaha!" Moti tertawa geli.
Bilal tak tahan dengan sandiwara adiknya, selalu saja bilang kalau Bunda mereka yang paling menyayangi dia karena dia adalah anak bungsu. Bual sana-sini agar tidak dimarahi oleh bunda mereka.
Di lain sisi, apa yang dikatakan oleh Liham itu memang benar, dia selalu menitipkan izin lewat Cassilda untuk meminta izin di dosen pengajar. Liham ini bolos secara halus, di lain sisi, Bilal juga tak bohong dengan kelakuan adik laki-lakinya.
"Manja," cebik Bilal.
Liham mendengkus, "Heum, iri? bilang bos!"
Alan dan Popy menahan tawa geli, sementara itu Randra hanya terkekeh geli melihat tingkah dua anaknya yang hanya berbeda dua tahun itu. Randra tahu, anak bungsunya itu memang paling mencari masalah dengan saudaranya yang lain, terutama anak laki-lakinya, Alan dan Bilal.
Sesaat setelah kedatangan Cassilda, keluarga Moti menikmati akhir pekan mereka.
"Nisa, Cassy, ternyata, buah stoberi Tante Momok udah bisa dipanen, itu Chana lagi mau panen tapi nunggu kalian datang," ujar Moti.
"Wah, kebetulan, kalau banyak Cassy mau buatkan makanan penutup aja, es krim," balas Cassilda.
"Ok, ayo kita panen!" perintah Moti.
Nisa sebagai calon menantu yang baik, dia bertugas mendorong kursi roda calon mertuanya memasuki rumah kaca yang cukup besar.
Benar saja, ada satu deret panjang yang ada pohon stroberi menghiasi deret itu dengan buah besar dan warna merah.
"Panen!" seru Chana.
Liham buru-buru menggendong sang ponakan dan mereka pergi memanen stroberi di ujung jauh dari Ben yang merasa bahwa dia sebagai ayah dari Chana benar-benar dirugikan oleh tingkah adik iparnya.
Keluarga itu dengan senang hati memanen stroberi.
Berikutnya, Nisa membantu Cassilda untuk membuat dessert yaitu es krim stroberi. Keseharian Finisa di rumah Alan berlangsung hingga malam hari, dimana Alan bersiap untuk mengantar pulang sang pacar kembali ke rumahnya setelah makan malam di keluarga Basri. Di tangan Finisa, dia membawa satu kotak kecil es krim stroberi yang mereka buat bersama di dapur.
"Dadah, Nisa! datang lagi yah!" Moti melambai ke arah Finisa.
Finisa membalas lambaian tangan Moti.
"Dadah Tante Momok! ok, pasti Nisa datang lagi!"
Finisa naik mobil Alan dan mereka menuju ke rumah Finisa.
°°°
Mobil Alan berhenti di depan rumah Finisa.
Finisa berkata, "Nggak apa-apa kamu nggak turun sapa Mama dan Papa."
Alan mengangguk mengerti, sebelum Finisa benar-benar turun dari mobil Alan, sesuatu terjadi.
"Ahmph!" suara Finisa tertahan dan kembali masuk ke dalam tenggorokannya saat Alan dengan cepat menutup bibir Finisa dengan bibirnya. Beberapa ciuman dan hisapan tak mereka duga bahwa ada mata yang melihat tingkah mereka di dalam mobil.
Setelah dirasa cukup, Finisa berkata pada Alan, "Aku masuk."
Alan mengangguk.
Pintu mobil terbuka, Finisa turun dan menunggu hingga mobil Alan pergi dari pekarangan rumahnya.
Setelah itu, Finisa masuk ke dalam rumah, namun pada langkah ketiga memasuki rumah, langkah kakinya berhenti dan dia melihat sepasang mata tajam yang menatap ke arahnya penuh dengan amarah yang membludak.
Dia melihat ada ayah dan ibunya di belakang sepasang mata itu.
"Batalkan lamaran Tuan Muda Basri itu dengan cucuku Nisa."
°°°