Chapter 4

1512 Kata
Setelah makan siang di keluarga Jovian, Moti dan keluarga memutuskan untuk pulang ke rumah. Karena kondisi Moti yang tak boleh lelah, jadi keluarga Jovian mengerti. Yang penting keluarga Basri telah beritikad baik datang langsung untuk melamar anak perempuan mereka tanpa perantara pihak ketiga, ini merupakan suatu kehormatan bahwa keluarga mereka tak dipandang rendah di mata keluarga Basri. "Nisa, Tante Momok pulang yah, nanti besok main-main ke rumah kalau nggak ada kerjaan kantor," ujar Moti. Finisa mengangguk. "Baik, Tante. Hati-hati di jalan," balas Finisa. Moti mengangguk. Dia dinaikkan ke dalam mobil oleh sang suami sendiri, lalu sang suami menutup pintu mobil, sementara itu Alan melihat ke arah calon istrinya dan berkata, "Besok hari terakhir masuk kantor, aku pikir akhir pekan nanti datang ke rumahku untuk bermain bersama Bunda dan Chana adalah ide yang bagus." Finisa mengangguk. "Ok." "Aku pulang, dadah!" pamit Alan. Finisa mengangguk. "Om, Tante, saya dan keluarga sekali lagi mohon pamit pulang, yah," ujar Alan ke arah Derian dan Rina. Derian dan Rina mengangguk. "Baik Nak Alan. Hati-hati dalam perjalanan pulang," ujar Derian. Alan mengangguk mengerti. Dia masuk ke dalam jok depan dan bodyguard yang merangkap menjadi supir itu menginjak pedal gas perlahan dan keluar dari gerbang rumah Finisa. Di luar gerbang, ada dua buah mobil hitam yang berisikan masing-masing empat bodyguard di mobil itu. Mereka bertugas mengawal Tuan dan Nyonya Basri ketika bepergian. Di dalam mobil, Moti tak henti-hentinya tersenyum senang. "Ran," panggil Moti. "Ya?" sahut Randra. "Momok nggak sabar pengen atur ini itu untuk pernikahan Alan dan Nisa nanti, pasti sesibuk seperti Kak Agil dan Kak Riandri pas urus pernikahan Alamsyah dan Daimah," ujar Moti. Randra tersenyum dan menggenggam tangan sang istri. "Kamu harus banyak istirahat biar nggak mudah capek supaya bisa punya energi dan kekuatan untuk ngurus pernikahan Alan dan Nisa," balas Randra. Moti mengangguk, dia bahkan memeluk sang suami dan berkata, "Kalau gitu Momok tidur di pelukan Ran saja deh." Randra terkekeh senang, dia balas memeluk istrinya tanpa terganggu dengan dua nyamuk yang ada di depan mereka. Dua nyamuk yang dimaksud itu adalah Alan dan bodyguard. Alan hanya berusaha untuk menahan tawa senang, dari tadi dia hanya senyum-senyum saja. Dia senang bisa membuat sang ibu senang, bukankah menyenangkan hati orangtua itu dapat pahala? nah, mungkin saja malaikat pencatat amal baik di pundak kanan Alan sedang membuka buku dan menulis amalan baik dari Alan hari ini yaitu menyenangkan hati ayah dan ibu. Harus dua kali lebih banyak amalan yang didapat oleh Alan, sebab sang ibu terlihat sangat senang. …. Setelah sampai di rumah, senyum bahagia masih menghiasi bibir Moti bahkan sampai dia dan suami masuk ke kamar mereka dan tidur siang. Alan duduk di kursi ruang santai sambil melirik ke arah Liham yang sedang tidur siang bersama Chana. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Anak ini pasti bolos kuliah lagi," ujarnya. Ben keluar kamar, dia hendak memindahkan tubuh sang anak ke dalam kamar dia dan istri. Melihat seharian ini anaknya terus dikuasai oleh adik ipar, membuat Ben dongkol. "Bagaimana lamarannya?" tanya Ben. Popy ikut keluar kamar setelah mendengar suara Alan. "Sukses. Ayah memberi waktu beberapa hari untuk keluarga Nisa agar memikirkan mengenai seserahan dan uang pernikahan dan persyaratan lainnya," jawab Alan. Ben mengangguk mengerti, dia menyingkirkan tangan adik iparnya yang bernama Liham itu dari sang anak perempuan dan menggendong anaknya. Popy duduk di sofa santai dan berkata, "Jadi kamu nggak lama lagi bakal lepas masa bujang yah?" Alan terkekeh. "Melihat Kak Poko dan suami selalu menebar kemesraan, aku tidak tahan. Kalau tidak menikah, lama-lama bisa berbuat dosa dengan Nisa. Kami hampir kebablasan berkali-kali, beruntung aku selalu ingat Bunda yang berhati baik," balas Alan. Popy terkekeh setelah dia melotot ke arah adiknya. "Makanya dari itu, jangan menebar kemesraan di depan orang. Itu bahaya, bisa fatal," ujar Alan. Popy menggaruk kepalanya. "Maaf. Tapi yah begitulah, maklum, Poko dan Ben kan masih muda jadi masih enerjik." Popy terkekeh lagi. Alan ikut terkekeh, sementara Ben membawa anaknya masuk ke dalam kamar. "Satu lagi, pas lihat Chana, aku malah ingin agar segera punya anak dengan Nisa, siapa tahu aja bisa gantiin Liham main bareng Chana," ujar Alan. Popy tersenyum. "Semoga aja pas setelah nikah, kamu dan Nisa langsung dikasih anak sama Allah." Alan mengangguk. "Doa ini yang aku harapkan." Dua saudara kandung itu terlibat percakapan ringan seputar keluarga, lalu beberapa saat kemudian Popy masuk ke kamar dan tidur siang bersama anak dan suaminya. Ben berkata, "Aku sudah tahu dari suara Bunda yang terdengar senang tanpa bertanya pada Alan." Popy mengangguk. "Semoga semuanya dipermudah oleh Allah. Poko lihat Bunda yang senang banget, hati Poko juga ikut senang." Ben mengangguk. Beberapa saat kemudian, sore menjelang. Liham baru bangun dari tidur setelah dia meraba-raba di sisinya tak ada ponakan tersayang. Liham mengerutkan keningnya. Kosong. Tak ada orang. Tak ada tubuh anak kecil yang biasa ia *culik untuk bermain. Liham membuka mata, dan benar saja, tidak ada keponakannya. Bilal yang baru pulang dari kampus tertawa mengejek. "Tidur sampai tidak tahu diri. Begini-begini mau ambil Chana main, orang lain ngambil Chana dari samping kamu saja, kamu nggak tahu," ujar Bilal. Liham bangkit dari posisi tidur. "Chana di mana?" tanya Liham. Bilal tak menggubris adiknya. Liham terlihat mencebikkan bibirnya pada sang kakak. "Dasar es batu." Bilal melirik ke arah sang adik yang tukang mengejek. Liham berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu kamar Popy dan Ben. Dia mencibir, "Pasti si Ben kakak ipar itu yang seenak udelnya ngambil dedek Chana dariku pas sedang tidur. Dasar tidak punya hati memisahkan Om dan ponakan." Bilal melirik ke arah sang adik, "...." geleng-geleng kepala dan berkata, "Kalau mau main dengan anak kecil, sebaiknya kamu menikah saja biar bisa punya anak dan main bersama, nggak usah ambil anak orang lain dan berlagak seperti orang yang dirugikan padahal kamu sendiri yang merugikan orang lain." Liham melirik ke arah sang kakak lalu membalas cibiran, "Nggak senang dengan kesenangan orang. Iri? bilang bos!" Bilal terlihat dongkol dengan sang adik. Selalu saja membuat dia dongkol. … Hari baru telah tiba. Hari ini, jadwal kerja kantor tidak terlalu ketat seperti hari-hari sebelumnya, sebab ini hari Jumat. Alan dan Nibras yang telah selesai shalat Jumat itu janjian akan makan di Farikin's Seafood Restoran. Ini adalah restoran di bawah naungan Farikin's Seafood yang dipimpin oleh paman kandung Nibras yaitu Busran. Ternyata sudah ada dua kakak beradik kembar yang telah menunggu mereka. Siapa lagi kalau bukan Gaishan dan Ghifan. Alan dan Nibras tiba di meja restoran. Gaishan berkata, "Sebenarnya aku pengen langsung pesan makanan untuk kalian berdua, tapi takutnya nanti malah jadi makanan sianida, tau-tau pas setelah makan, ada busa yang keluar dari mulut kalian berdua dan aku dijadikan tersangka utama." Ghifan melirik ke arah sang kakak kembar dan dia membalas, "Gaishan, kamu terlalu hanyut dalam adegan film di studio film kamu. Jadi kebawa di sini kan." Gaishan terkekeh. "Masih untung aku yang bebas buat apa saja, dari pada kamu, setiap hari duduk tanam *p****t di kursi dan melotot di depan layar laptop jadi b***k korporasi," ujar Gaishan. Ghifan melirik ke arah Gaishan. Kembaran ini ngajak gelut! Gaishan terkekeh setelah berhasil membuat kembarannya kesal, begitulah dia, selalu menebar kekesalan di hati orang-orang. Malaikat pencatat amal mungkin setiap hari membuka buku catatan amal buruk lalu menulis amal Gaishan, sampai-sampai sudah lelah menulis. "Jangan ribut, kalian satu tempat nongkrong bersama, bergandengan tangan bersama di dalam rahim Tante Gea," ujar Nibras. "Bergandengan tangan apa? dia yang sering menjambak rambutku ketika masih di dalam rahim Mama," ujar Ghifan melirik ke arah Gaishan. "Masih untung kamu aku ajak main di dalam rahim Mama, coba kalau kamu aku cuekin? kesepian sampai keluar ke dunia. Cuma jambak rambut kamu aja, kamu udah kesel, untung bukan aku tendang kamu sampai terjedot di dinding rahim Mama," balas Gaishan. Ghifan ingin kejang-kejang setelah mendengar kalimat dari sang kembaran. "Gaishan, kamu memang yah!" "Pfthahaah!" Gaishan terbahak senang. Nibras dan Alan ikut tertawa geli. Nibras berkata, "Kalian terlalu sibuk dengan urusan masing-masing hingga tak tahukah kalian bahwa Alan kemarin baru saja memboyong Om Randra dan Tante Momok ke rumah Finisa untuk melamar Finisa langsung di depan Om Derian dan Tante Rina." "What?!" Gaishan dan Ghifan melotot ke arah Nibras, lalu mereka secara bersamaan melotot ke arah Alan yang sedang santai menulis menu makanan yang akan dimakan siang ini. Gaishan mendekatkan wajahnya ke tengah meja dan melihat ke arah Alan. Hal ini membuat *pelayan menahan tawa karena kelucuan dari Gaishan. "Alan, kamu benar-benar serius mau langkahin aku dan Ghifan?" Alan terkekeh. Dia tak mampu memasang wajah cool di depan sepupunya yang ini. "Udah aku dilangkahin si Poko, kini adiknya si Poko yang mau ikutan kakaknya, ngelangkahin aku nikah duluan!" seru Gaishan. *pelayan mati-matian menahan tawa saat Gaishan dengan tidak ada moral dan akhlaknya menggoyang-goyangkan badan Alan. "Hah?! jawab aku! jawab aku Roma! tidak terima aku kau beginikan Roma!" ujar Gaishan. Pada akhirnya pelayan tak mampu menahan tawa. Anak dari pemilik restoran ini benar-benar kocak. Gaishan selalu saja membuat perut orang-orang terkocok dan terbahak. "Jawab aku Roma! aaah!" seru Gaishan. Nibras tak mampu menahan tawa hingga sakit perut. "Gaishan, wajah kamu kayak sedang tersakiti," ujar Nibras. Dengan raut wajah tersakiti, Gaishan melirik ke arah Nibras. "Aku memang tersakiti, Ferguson." "Bhahahahaha!" orang-orang terbahak. °°°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN