bc

Jurnalis Insiden Gelap

book_age18+
20
IKUTI
1K
BACA
spy/agent
stalker
dark
bxg
mystery
ambitious
city
secrets
crime
brothers
like
intro-logo
Uraian

Sekte sesat penyembah iblis, sindikat pencurian organ dalam, insiden guru yang menyuntikan darah penderita HIV ke puluhan muridnya, dan puluhan fakta gelap lainnya akan kuselidiki, akan kusampaikan kepada orang-orang.

Jika ditanya, "Ini novel tentang apa?" Maka jawabannya adalah tentang— kebahagian.

"Memangnya apa sih kebahagian?"

Berani menjadi diri sendiri, dan bebas melakukan banyak hal tanpa sedikitpun keraguan. Menurutku itulah arti penting dari yang namanya—kebahagian.

Menjadi seorang jurnalis yang mencari fakta-fakta aneh, menyelidiki hal-hal gelap, hingga mewawancarai seorang pembunuh. Itulah yang akan aku ceritakan di sini. Itulah kebahagiaan.

chap-preview
Pratinjau gratis
001 - Sindikat Sewa Menyewa Tubuh
Sindikat sewa menyewa tubuh, Insiden guru yang menyuntikan darah penderita HIV ke puluhan muridnya, kasus pencurian organ dalam, insiden bunuh diri, dan puluhan fakta gelap lainnya akan kusampaikan kepada orang-orang. Jika ditanya, "Ini novel tentang apa?" Maka jawabannya adalah tentang—kebahagian. "Memangnya apa sih kebahagian?" Menjadi kaya, dikelilingi wanita, berkuasa, dan memamerkan harta? Tidak! Itu mah kebahagian yang mungkin didambakan oleh sebagian orang. Berani menjadi diri sendiri, dan bebas melakukan banyak hal tanpa sedikit pun keraguan. Menurutku itulah arti penting dari yang namanya—kebahagian. Menjadi seorang jurnalis yang mencari fakta-fakta aneh, menyelidiki hal-hal gelap, hingga mewawancarai seorang pembunuh. Itulah yang akan aku lakukan di sini. Selasa, 07 Januari 2025. "Kak, hari ini kita nyelidikin apa?" tanya seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kebelakang, jika dilihat dari seragam putih abunya dia adalah seorang gadis SMK. Di depan layar komputer sedang asik memanjakan jari-jemari untuk bermain game berjudul Kill Family. Game di mana karakter utamanya adalah seorang nenek yang harus membunuh keluarganya sendiri dengan gunting rumput. Benar, game yang sangat bertemakan keluarga sekali. Dia yang sedang duduk di kursi gaming berbalik badan, dan menatapku dengan mata sipitnya. "Kak, jawab! Hari ini kita ambil topik apa?" Seraya memasukan kamera, perekam suara, buku catatan, dan pena tentunya ke dalam tas hitam, aku menjawab, "Yang ringan-ringan aja. Malam ini kita cari fakta tentang tempat ilegal yang terselip di Bogor—tempat di mana transaksi harga diri terjadi." Mendengarnya membuat gadis di depanku memasang wajah bingung, memijat bibir bawah dengan ekspresi heran. "Maksudnya prostitusi offline?" "Ya, Kepolisian Bogor minta kakak buat nyelidikin tentang tempat itu," jawabku. Dan gadis itu bertanya lagi, "Rin penasaran sih sama itu. Tapi, nanti kita wawancara'in satu PSK, dan satu cowok yang merupakan pelanggan dari sana, 'kan?" "Iya, kakak juga penasaran sama apa yang dirasain, alasan cewek kenapa dirinya jadi PSK. Terus kepo juga sih sama sudut pandang cowok yang jadi pelanggan di sana," ucapku seraya memakai tas selempang berwarna hitam. "Ayo, Rin!" "Eh! Tunggu, Kak! Kakak!" Rin langsung kalang kabut, gerabak-grubuk mematikan monitor, mesin komputer dan sebagainya. 23:55 WIB. Malam yang gelap, langit benar-benar hitam, tak ada bintang, rembulan tak tampak, di atas sana secercah cahaya hanya terlihat dari pesawat lewat. Di bawah sini pun sepi, hening membelenggu hati, jalan raya hanya seperti aspal tak ada guna—tak ada kendaraan yang melesat, bahkan di atas trotoar hanya ada aku yang sedang berjalan dengan gadis berseragam putih abu di sampingku. Namanya Rin—bocah SMK kelas dua—adik kandungku. Kita berdua akan menyelidiki dan mencari fakta tentang prostitusi offline. Prostitusi offline. Bagiku prostitusi offline merupakan sebuah transaksi ilegal atau transaksi terlarang yang dilakukan dengan cara bertemu secara langsung, di mana wanita-wanita menyewakan tubuhnya kepada pria hanya untuk segelintir uang. Kita berdua akan riset langsung ke tempat prostitusi offline yang terselip di kota ini—kota Bogor. Sebenarnya para penyidik dan polisi sudah sering kali memberantas, namun entah mengapa prostitusi offline selalu tumbuh baru, berkembang dan menjamur. Alasanku ingin datang ke sana karena costumer-ku—polisi yang memintaku untuk menyelidiki tempat tersebut. Tapi alasan utamanya bukan itu. Mungkin karena jiwa jurnalisku meronta-ronta, penasaran, otak seperti meminta-minta untuk mencari tau tentang sindikat prostitusi offline. "Udah jam nol, nol, nol, nol, Kak. Selamat ulang tahun," ujar Rin seraya memotretku dengan kamera berwarna hitam milik dia. Itu artinya sekarang sudah tanggal 08 Januari 2025. Umur bertambah satu. Kini umurku jadi 24 tahun. "Tanggal kelahiran itu artinya tanggal pertama seseorang dilahirkan. Bisa jadi tanggal itu juga adalah tanggal terakhir orang tersebut hidup," kata Rin dengan teori asal ceplas dan ceplosnya. Aku langsung menyentil kening Rin. "Kamu dapet teori sesat kayak gitu dari mana?" Rin mencueki, kedua tangan sibuk mengoperasikan kamera, dan tatapannya fokus menatap layar LCD kamera. Dia sedang melihat fotoku yang tadi baru saja ia potret. "Menurut Rin: kakak ini kayak makanan berformalin yang lagi nyamar jadi malam." "Hah, maksudnya?" Aku bingung dengan frasa kata Rin yang kadang sulit untuk dipahami. "Ya gitu. Kulit kakak putih kayak zat borak, terus pakainnya selalu serba hitam kayak perampok ayam orang." "Ngaco." Kutarik pelan rambut panjangnya yang dikuncir itu. Dia hanya meledek dengan cara tertawa dengan ngakak. "Tapi, lumayan gantenglah, keren. Nanti di sana jadi PSK aja, Kak." Ya, saran yang benar-benar sesat dari Rin. Tiba-tiba Rin berhenti, merentangkan tangan kanan untuk menjegal. "Kenapa, Rin?" Rin menunjuk ke depan, tepat ke bawah tiang lampu trotoar. "Liat, Kak! Kasian banget, ada kakek-kakek yang jam segini masih dagang korek." Setelah mengutarakan itu dia berlari kecil untuk menghampiri, lalu berjongkok di depan kakek penjual korek. "Halo, Kek. Kakek jual apaan?" Basa-basi yang sangat bagus. Padahal terlihat dengan jelas, di depan kakek itu berjejer puluhan korek gas. "Korek, Cu." "Harganya berapa?" tanya Rin. "Ada yang tiga ribu, lima ribu, juga delapan ribu," jawab kakek itu seraya menunjuk satu-satu dari yang paling kecil hingga korek paling besar. "Jualan dari jam berapa, Kek?" Rin terus bertanya, namun lebih seperti mewawancara. Sepertinya Rin sudah tertular denganku. Tapi karena menurutku ini adalah seru dan hobiku. Aku keluarkan buku catatan dan pena, sembari mendengarkan akan kucatat semua dialog mereka. Kakek penjual korek tetap meladeni, "Kakek jualan dari siang, Cu." "Udah kejual berapa, Kek?" "Baru empat." Siapun yang mendengarnya, pasti rasa empati serasa terundang di dalam hati. Kasian sekali. Dari siang hingga kini baru terjual segitu. "Berarti Kakek udah dapet berapa duit?" "Dua belas ribu." Miris. Jangankan ucapannya, penampilan kakek itu pun lusuh, rambut yang sudah memutih nampak urak-urakan, wajah pucat, mungkin debu yang berdesir dari jalanan menerpa kakek itu. Lantaran baju putihnya kotor tak karuan. Posisi juga mengharukan, terduduk sila seraya bersandar di tiang, dengan telapak tangan kiri meremas perut kelaparan. "Kalo semua koreknya aku beli, boleh enggak?" tanya Rin. Padahal tak perlu ditanyakan, di dunia ini mana ada pedagang yang tidak memperbolehkan dagangannya untuk dibeli oleh pelanggan. Jika memang ada, mungkin hanya segelintir. Kakek itu hanya mengangguk. "Oke, Kek. Rin beli semua korek Kakek. Tapi ini korek kalo dinyalahin keluarnya api, 'kan?" Ya, lagi-lagi Rin bertanya dengan pertanyaan aneh. Dan itu membuat si kakek tertawa kecil. "Iya, Cu." Seraya menghitung harga, satu persatu Kakek memasukan korek ke plastik hitam. Setelah kakek selesai. Rin bertanya lagi, "Jadi berapa duit, Kek?" "Seratus satu ribu." "Bayarnya bisa pake kartu debit enggak?" Lagi-lagi Rin melontarkan pertanyaan yang kemungkinannya sangatlah kecil. "Kakek enggak punya, Cu. Boro-boro punya begituan, duit buat makan aja susah." "Hehe, Rin becanda, Kek. Duit hasil dagang: selain buat makan, biasanya buat apa?" Rin terus bertanya. "Yah enggak beli apa-apa lagi, cuma buat makan kakek aja." "Tapi, Kakek pernah enggak nyewa PS-" "Rin!" Aku langsung menekan kepala Rin dengan telapak tangan kanan, pasalnya agar Rin tak meneruskan ucapan. Padahal hanya tinggal satu huruf lagi, yaitu huruf K. "PS? PS apa, Cu?" "Enggak, Pak. Bukan apa-apa." Aku yang jawab itu. Lalu Rin berdiri lagi, menatapku dan menjulurkan telapak tangan kiri. "Minjem dompet, Kak," pinta Rin. Kurogoh saku celana dan memberikan dompetku ke tukang palak itu. Delapan lembar uang berwarna biru Rin keluarkan. Dia jongkok lagi. "Nih, Kek duitnya." Kakek bingung dengan uang yang diberikan Rin. "Ke-kebanyakan, Cu." "Iya dong harus kebanyakan. Udah, Kakek ambil aja duitnya, santai, tenang, lagian itu bukan duit aku kok," ujar Rin. "Ma-makasih, Cu. Terimakasih banyak. Kakek doain biar kamu makin sehat, makin banyak rezeki, dilancarin semua urus—" Kakek itu belum selesai bicara. Tapi dipotong oleh Rin, "Heh, kenapa malah berdoa, Kek? Emangnya doa itu berguna, ya?" "Rin!" Lagi-lagi spontan telapak tanganku menekan kepala Rin. Perihal pertanyaannya begitu tabu. Kenapa Rin bertanya begitu? Ya, karena Rin menganggap bahwa doa hanyalah aktifitas sia-sia, tak ada guna dan tak ada manfaatnya. Perihal Rin ini tidak percaya dengan adanya Sang Pencipta. Karena kutakut Rin bertanya yang aneh-aneh lagi ke penjual korek. Kugenggam pergelangan tangan kanannya, kuajak berdiri. "Yaudah makasih ya, Pak," kataku sebelum pergi meninggalkan kakek pedagang korek. Kenapa Rin tidak percaya Tuhan? Entahlah aku pun belum tau dan masih dalam tahap penyelidikan. Ibu dan ayah belum tau tentang ini, jika tau mungkin Rin akan dibuang ke hutan. Dengan artian hanya aku yang tau kalau adik bernama Rin ini begini. Namun, bagiku itu tak masalah. Itu hak Rin untuk berpendapat, berpendirian, dan berkeyakinan. Sepanjang jalan berbicang dengan Rin, dan setelah tujuh belas menit berjalan akhirnya sampai ke tempat tujuan—tempat di mana prostitusi offline diselenggarakan. Dari samping rel kita berdua meratapi sebrang rel. Di sana ada sebuah gang besar, banyak tenda-tenda seperti tenda orang kemah di pegunungan, tapi bedanya di sini tenda tersebut digunakan untuk melakukan hal terlarang. Dari sini saja sudah nampak jelas bahwa di gang besar sana begitu remang-remang, ramai. Di depan tenda-tenda yang masih terbuka berdiri para wanita berpakaian seksi. Banyak juga pengunjung laki-laki yang berlalu-lalang, tengok kanan-kiri mencari tipe wanita yang cocok, untuk mereka bayar, sewa dan gunakan. Dari kejauhan kita berdua mengeluarkan kamera masing-masing, mengarahkannya ke sebrang, memeramkan mata kanan, dan mata kiri kami gunakan untuk mengeker kamera. Potretan demi potretan kami potret. Walau dari kejauhan foto yang kita ambil tidaklah buruk. Justru bagus dan lumayan. Jangan meremehkan kami: aku sudah menyukai kamera dari belasan tahun lalu—dari SD kelas 5, sedangkan Rin dari dua tahun lalu—pas SMP kelas dua. Beberapa foto sudah di dapat, karena kita takut mati, takut dipukuli oleh preman pelindung daerah sini. Kamera kita simpan lagi di tas masing-masing. Sembari mengalungkan tasku ke Rin. Kuberbicara, "Sekarang kakak mau meluncur ke TKP." "Kakak mau nyewa PSK ya?" "Ngaco!" Spontan Rin benar-benar meledek dengan tawa ngakaknya. Seorang diri aku melangkah. Namun, karena digelimpangi rasa khawatir, aku berhenti, berbalik badan menatap Rin. "Nunggu sendirian di situ kamu mah enggak takut, 'kan?" Sembari menepuk-nepuk kedua saku rok sekolahnya, dia menjawab, "Tenang, Rin bawa pisau sama stun gun." Untuk menjaga diri Rin memang selalu membawa pisau dan stun gun. Pisau? Ya, untuk gadis SMK yang hobinya keluar malam untuk menyelidiki tempat-tempat beginian, pisau sangatlah dibutuhkan. Ditambah lagi dia membawa stun gun. Stun gun? Ituloh alat seukuran seperti smartphone namun bertenaga listrik tinggi. Jika digunakan untuk menyerang penjahat, maka penjahat itu akan kesetrum, gelojotan hingga pingsan. Karena tau bahwa Rin membawa kedua barang itu. Rasa khawatir pun sedikit padam, aku berbalik badan lagi dan menyeberangi rel—menuju lokasi. Tak lupa mengeluarkan kacamata dari saku jaket, kupakai kacamata itu. Ini bukan kacamata sembarangan. Di ujung kedua gagang kacamata terdapat lensa kamera kecil—dengan artian adalah kamera rahasia, ibarat mesin gagang kacamata ini juga dilengkapi alat perekam suara. Benar, sangat cocok untuk merekam hal-hal bagus di TKP. Barang seperti ini juga bisa meminimalkan resiko kematian. Mati? Ya, sudah banyak sekali jurnalis yang mati dibunuh oleh pelaku-pelaku yang sedang mereka selidiki. Kenapa? Karena untuk merekam diam-diam, para jurnalis biasanya menyembunyikan kamera di balik jaket, di balik tas atau semacamnya. Jika itu ketauan, habis sudah. Kacamata yang kupakai ini sangat direkomendasikan untuk dipakai oleh jurnalis. Siapa pencipta kacamata ini? Ini adalah ciptaan Rin. Akhirnya aku sampai di sana, di gang besar yang pencahayaanya remang-remang, kiri-kanan berjejer banyak sekali tenda, wanita-wanita berprofesi PSK berjejer di sana, berdiri memamerkan tubuh seksi, agar para pengunjung terpikat untuk menyewanya dan bermain di dalam tenda. "Pelan-pelan, Om." "Lebih kenceng, Om" Setelah sampai di sana ucapan-ucapan tak senonoh dan desahan-desahan yang tak perlu dideskripsikan terdengar di telinga. Suara tak bermoral itu keluar dari tenda-tenda yang tertutup. Bahkan bayangan laki-laki dan wanita PSK di dalam tenda terlihat dengan jelas, mereka melakukan praktek persetubuhan. Tak perlu aku deskripsikan apa lagi narasikan. Sepanjang jalan, mata ini melirik kiri-kanan, melihat wanita-wanita seksi dengan dandanan berlebihan, wangi farfum yang bercampur aduk juga tercium. Melihat mereka bukan untuk menyegarkan mata, melainkan agar kamera di kacamata bisa merekamnya. Diri ini berhenti di ramainya laki-laki yang sedang berjalan memilah-memilih wanita PSK yang sesuai tipe mereka. Aku menatap seorang gadis muda yang sedang berbincang dengan seorang bapak-bapak di depan tenda warna kuning yang masih terbuka. Aku simak obrolan mereka. "Iya, Om. Satu kali main cuma delapan puluh ribu, Kok." Sial, mendengarnya secara langsung, benar-benar penuh kejutan. Delapan puluh ribu? Menyewakan tubuh kepada pria dengan harga segitu, Ini benar-benar harga yang keterlaluan. Dan parahnya bapak-bapak itu masih berusaha untuk bernego. "Aduh, lima puluh ribu deh." "Enggak bisa, Om. Tujuh puluh lima rebu deh." "Om maunya lima puluh ribu. Biar sehabis main sama kamu, om bisa nyewa dan main sama cewek lainnya."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Marriage Aggreement

read
81.5K
bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.6K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.7K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.4K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.5K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.6K
bc

Scandal Para Ipar

read
695.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook