Tania Bab 7

1170 Kata
Suara bell kembali terdengar nyaring, sudah dua kali bell itu berbunyi. Tapi Tania hanya mengintip di balik pintu. Dia memang tak pernah mengizinkan Delon untuk masuk ke apartemennya.  Bell kembali ditekan berulang kali. Sepertinya pria itu kesal dan berniat merusak bell apartemen Tania.  Tania masih ogah membukakan pintu. Dia malah tertawa mengintip dari lubang kecil.  Dia benar-benar membuat darah Delon mendidih. Delon segera mendial nomor Tania.  Tania mengangkatnya, hanya saja dia tidak berbicara malah menjauhkan ponsel dari telinganya. Senang sekali gadis itu bisa mempermainkan berandal seperti Delon. “Astaga. Tania buka pintunya, atau kalau tidak aku akan dobrak,” teriaknya.  Tania lelah. Dia akan mengalah dan membukakan pintu untuk Delon. “Apa? Tamu kok yo maksa,” ucapnya.  Delon mendengkus, dia menatap nyalang wanita itu. Tapi kemudian dia membungkuk dan  merengkuh tubuh Tania lalu mendaratkan bibir membelai lembut bibir Tania.  Tania mematung. Jantungnya berdemtum tak karuan, apa yang sedang Delon lakukan. Satu kenakalan Tania akan dibalas seperti ini oleh Delon. Tania mendorong tubuh Delon sekuat tenaga. Tapi gagal, tubuh kecilnya tak kuat tenaga untuk melawan tubuh besar Delon. Delon mengisapnya dengan serakah membuat Tania hanya pasrah. Pagutan demi pagutan yang Delon berikan membuat sesuatu menggelenyar di bagian perut bawah Tania  Namun, tiba-tiba suara deheman Mami Inne membuat Delon menghentikan aksinya. Setidaknya Tania selamat dari keserakahan Delon. Delon merangkul pinggul Tania, tangannya masuk kedalam kaos longgar gadis itu, hingga jari jemarinya bermain nakal di perut rata Tania. Merasa tidak nyaman. Tania ingin menjauh, tapi Delon malah semakin merekatkan rangkulannya.   “Delon, ikut Mami!”  “Iya, Mi.” Mau tak mau Delon harus melepaskan Tania. Dia menoleh dan mengerlingkan mata. “Tunggu aku, Honey.”  Tania bergidik ngeri. Dia membiarkan Delon dibawa pergi oleh ibunya. Dia membanting pintu. “Kurang ajar, makin ke sini Delon makin berani,” gerutunya. Tania seperti kehilangan harga dirinya.  Tania segera bersiap untuk pergi ke kafe agar bisa menghindari Delon.  *** Turun dari taksi. Dia melihat seorang pria berpenampilan aneh, kumis dan jenggot yang tebal melebihi Delon,  perut buncitnya membuat Tania bergidik, pria itu sedang duduk di kursi pengunjung. Kaca mata bertengger menyembunyikan bola mata yang suka bermain nakal menatap para wanita.  Tania tahu model-model begitu adalah jenis p****************g. Dia menunduk berjalan melewatinya. Lalu, Tania segera memanggil Gea. Wanita berambut panjang terikat itu menghampirinya.  “Iya, Bu?”  Wangi biji kopi menyeruak menusuk hidung memanjakan penikmatnya. Tapi Tania tetap fokus pada pria yang hanya duduk seorang diri dan merupakan pelanggan pertama yang datang saat kafe baru saja dibuka.  “Dia siapa?” tanya Tania pelan. “Pelanggan kafe, Bu.” terang Gea sembari mengangguk ramah. “Oh.” Tania hanya takut orang semalam masih mencoba mendekatinya. “Pak Delon mana, Bu?”  Tania menatap Gea. Buat apa Gea menanyakan Delon? Jangan-jangan dia tertarik pada pria m***m seperti Delon. Tania mendengkus. “Lagi di introgasi sama Maminya.”  Selang setengah jam. Pria yang baru dikenalnya hampir empat bulan itu datang. Dari kejauhan dia sudah membuat keributan meneriaki Tania dengan panggilan sayangnya. Para pengunjung mengarahkan mata mereka pada pria berpenampilan biasa tapi memikat hati itu.  Penampilan Delon memang tidak begitu buruk. Dia cukup tampan, pennampilan menariknya memikat kaum hawa.  “Honey. Kamu pergi sendiri? Kan aku bilang, kamu tunggu aku.”  “Kamu gila, Delon. Aku takut di makan.” Delon tertawa. Cuma Tania yang secara terang-terangan berani menyebutnya gila.   Pria yang setengah jam lalu sejak kafe di buka, masih betah duduk sendiri itu  memperhatikan kedekatan Tania dengan Delon.  “Kamu kenapa sih, nggak pernah izinkan aku masuk apartemen kamu? Sementara kamu bebas keluar masuk apartemen aku?”  Tania mencebik. Tak akan, Tania tak akan izinkan siapapun masuk ke apartemennya termasuk Delon. Sepasang mata Wawan kembali membuntuti mereka. Tania yang sadar akan hal itu langsung, memeluk Delon. “Nggak gitu, Sayang. Kemarin aku lagi males aja.”  Satu cubitan mendarat di perut Delon. “Ada Wawan,” desisnya tanpa menggerakkan bibir dan tetap pura-pura tersenyum.  Delon menahan cubitan manja dari Tania. Sejauh ini memang akting mereka sebagai sepasang kekasih berhasil mengelabui semua orang.  Delon mengajak Tania untuk duduk di sofa kafe. Mereka bercanda dan tertawa bersama. Ada banyak hal yang membuat mereka cocok satu sama lain. Delon menjadikan Tania berbeda dan membuatnya istimewa dengan cara Delon sendiri. Memang setiap orang memiliki cara masing-masing untuk membuat seseorang istimewa di hatinya. Tapi, saat bersama Delon, Tania merasa berbeda, entah karena mereka seumuran, jadi Tania merasa memiliki sahabat laki-laki yang gila. Cukup gila. Berbeda dari semua pria yang sempat dekat dengannya.  Pria itu tak bosan memperhatikan Tania dengan Delon.  Dia melambaikan tangan memanggil pelayan kafe.  “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”  Pria itu mengangguk. Dia membisikan sesuatu pada pelayan wanita itu.  “Oh itu ibu Tania sama Pak Delon. Mereka berdua pemilik kafe ini,” ucapnya pelan.  Pria itu mengangguk paham. “Lalu Klub malam itu?” “Itu milik pak Delon, Pak.”  Seringai pria itu sedikit mengejek saat di sebut pemilik klub adalah Delon.  “Terimakasih infonya, Mbak.” “Iya sama-sama.” Pria itu meletakan bill pembayaran di atas meja. Pelayan kafe mengambilnya dan meminta si pria untuk menunggu.  ***  Waktu menunjukan pukul 11 malam. Tania terlalu kaku untuk menggerakkan tubuh di lantai dansa, mengikuti alunan musik disjoki yang menampilkan kemeriahan.  “Ayolah, Honey.” Delon menarik tangan Tania.  Seumur-umur Tania tidak pernah menari di tempat seperti ini. Tipe anak baik-baik melekat dalam dirinya. Yang di sukai Rega dan Reza dari Tania adalah karena dia gadis yang tidak pernah macam-macam. “Aku nggak bisa.”  “Aku ajarin.” Delon menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik. Empat bulan lebih mengenal Tania belum pernah dia lihat Tania turun ke lantai dansa, lantas untuk apa gadis itu datang dan hampir setiap hari menemaninya di sini. “No.” Tania mundur menabrak seorang pria yang sama, pria yang sejak tadi siang memperhatikannya di kafe dan sejak kemarin malam. Pria itu memang selalu memperhatikan Tania.  “Hey, hey hati-hati, Sayang.” Pria itu menangkap tubuh Tania, mata mereka bersirobok. Jantung Tania mencelus kala mata mereka bersirobok.  Tak terima, Delon segera menarik tangan Tania dan memeluknya.  “Honey, di sini kamu hanya boleh meraih tanganku jika kamu jatuh,” ucap Delon sembari mengajak Tania kembali ke sofa tak lupa dia sengaja menabrak pria misterius itu.  Tania terperangah. Dia mengerti maksud Delon. Di tempat seperti itu sulit baginya membedakan pria yang hanya datang untuk mabuk, atau untuk menikmati disko, atau untuk menikmati kupu-kupu malam yang ada di sini. Semuanya tampak sama.  Pria itu mengikuti Delon.  Sadar diikuti, Delon segera menoleh. "Apa?" Pria itu tersenyum miring. “Aku butuh perempuan, untuk malam ini,” bisiknya tepat di telinga Delon.  Delon menatapnya dari atas ke bawah. “Itu bukan bagian saya, kamu minta sama Wawan.” Delon memberi jeda, dia mengedarkan pandangan mencari tangan kanan ibunya. “Wan,” Delon melambaikan tangan pada Wawan yang selalu standby, sebagai wadah para wanita penjaja kenikmatan.  Pria kurus itu segera berlari dan mendekat ke arahnya. “Iya, Pak.” Mengangguk seramah apapun Wawan tetap menyeramkan.  “Pelanggan.” Delon menunjuk pria yang pernah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN