Bukankah pikiranmu tidak tenang?
Aku melihatmu dari sini, semua kegelisahanmu ketika melihat mereka bersama. Aku menertawakan bagaimana kau bertarung dengan pikiranmu sendiri dan itu membuatku terhibur. Kau memikirkannya sepanjang hari bahkan kau masih menyebut namanya di sela-sela kefokusanmu membaca tumpukan cerita romansa itu.
Dia membuat jiwamu berkobar dari ketenangan itu, bukan? kau merasa seperti terancam padahal tanpa kau tahu, satu-satunya orang yang mengancam di sini adalah kau. Jadi tenanglah, Krys- ah, jangan, kau tidak boleh terlalu tenang atau badai dalam hatimu akan menghantam dengan sangat buruk.
-Monster in My Dream-
***
“Korban kekerasan,” suara Oliver Kei menggema. “Dia sangat tampan, tetapi tidak ada yang tahu bahwa banyak lebam di seluruh tubuhnya. Ingin aku perlihatkan?”
Aku melihat sebuah.. rekaman video? Aku awalnya tidak mengerti tetapi kemudian ruangan gelap dan dingin ini berubah menjadi terang benderang dan video itu diputar.
“Oleander Kai,” katanya. “Aku ada di sini karena kejadian gila ini.”
Sama sekali tidak bergerak, aku hanya terus menatap layar lebar yang memperlihatkan seorang anak laki-laki berlari ketakutan. Keningku mengernyit ketika melihat anak kecil itu memegang pecahan kacadi tangan kanannya.
Apa yang akan dia lakukan?
“Dia akan menyayat lehernya sendiri,” jawab Kei. “Tetapi aku menghentikannya.”
Video itu berganti, tiba-tiba saja langkah anak kecil itu berhenti dan dia malah berbalik. Aku bisa melihat seorang perempuan membawa tongkat kayu, aku tidak bisa melihat matanya karena di sana hanya ditampilkan bagian mulut ke bawah.
Aku menutup mataku, terkejut melihat tongkat kayu itu diayunkan ke arah anak laki-laki itu. Apa dia benar-benar Oleander Kai?
“Menurutmu.. bagaimana jika aku tampilkan ini di dalam mimpi Kai?” tanyanya padaku. “Bukankah ini akan menjadi lebih menyenangkan?”
“Berhenti bermain-main,” sahutku. “Apa yang terjadi berikutnya?”
Oliver Kei mendekat dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di hadapanku. “Aku hadir,” jawabnya.
“Kau alter ego yang tersesat, ya?”
Oliver tertawa, keras sekali sampai seluruh ruangan yang kembali gelap itu bergetar. “Aku tidak berada di dalam tubuh yang sama dengannya. Dia hanya melihatku dua kali.”
Aku.. tidak mengerti.
“Tidak ada yang tahu dia tertidur di dalam kamar dan aku membuat keberadaannya menjadi tidak terlihat, dia mengharapkan ada seseorang yang akan menolongnya dan aku hadir karena eemosi-emosi yang berkecamuk itu. Rasa putus asa, ketakutan dan sakit,” Kei menatapku tajam. “Bukankah tragis karena anak yang biasanya masih bermain tanpa beban bersama teman-temannya malah memikirkan bagaimana caranya untuk mengakhiri hidupnya?”
“Apa dia.. kau?” tanyaku. “Kau dan Oleander Kai.. apa kalian berbagi sakit yang sama?”
“Aku tidak mengerti sakitnya, tetapi aku memiliki dendam dan putus asanya,” Oliver mengelilingiku. “Aku menyuruhnya lari, terus lari, sampai akhirnya dia jatuh pingsan di sebelah mobil orangtua angkatnya sekarang.”
“Lalu orangtua kandungnya?” tanyaku.
“Mati,” jawab Oliver Kei singkat. “Aku membuat mereka dihantui ketakutan dan rasa bersalah sampai akhirnya mereka berdua memukul-mukul kepala mereka sendiri sampai tewas.”
“Dia.. tahu?”
“Dia akan segera tahu,” jawab Kei acuh tak acuh. “Sudah waktunya dia tahu. Bukankah dia mengatakan padamu bahwa cita-citanya menjadi dokter adalah karena orang pertama yang dia lihat berprofesi sebagai dokter? Orangtua angkatnya yang tahu jika Kai adalah korban kekerasan langsung mencari tahu siapa keluarganya, tetapi siapa yang menyangka bahwa saat polisi datang ke rumah dua orang jahannam itu, mereka berdua sudah mati?”
“Kau akan membuka jahitan luka lamanya?”
“Dia harus tahu, Krys, atau dia akan merasa tertipu selamanya.”
“Tetapi semuanya akan menjadi lebih baik jika dia tidak tahu.”
“Itu takdirnya,” Oliver Kei menyentuh wajahku. “Dan kau akan turut andil dalam membantunya melewati masa sulit yang akan segera dihadapinya.”
***
Kopiku masih panas, aku memperhatikan asap yang keluar dan mengambang di udara. Pikiranku terus mengulang-ulang apa yang dikatakan Oliver Kei dalam mimpiku. Aku tidak mengerti bagaimana makhluk itu bisa membuat dirinya tidak melupakan satu hal saja dalam mimpi semalam.
Suara dering telpon membuatku menoleh. Siapa yang menelponku pagi-pagi buta seperti sekarang?
“Yuna?”
Yuna adalah salah satu muridku. Dia anak yatim dan Ibunya sedang berada di luar kota, jadi dia tinggal bersama kakek dan neneknya untuk sementara waktu.
“Halo?” sapaku.
“Halo, Ibu?”
Aku langsung berdiri begitu mendengar muridku itu menangis. “Ada apa, Yuna?”
“Kakek.. kakek jatuh, Ibu,” katanya diiringi tangisan.
“Nenek kamu kemana?” tanyaku, sekarang aku mengambil jaket. Aku melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi.
“Nenek sakit,” dia menangis lagi. “Yuna sudah telpon Mama, tapi tidak diangkat.”
“Ibu ke sana, ya,” kataku, menenangkannya. “Yuna, Kakek pingsan atau-“
“Kakek tidak bergerak, Ibu.”
“Yuna minta tolong tetangga dulu, ya,” ucapku lagi, kali ini aku kelar dari dalam kamar dan mengambil kunci mobil Ayah yang digantung di depan pintu kamarnya. “Yuna bisa minta tolong tetangga dulu, kan, sayang?”
“Iya,” sahut muridku itu dengan suara serak.
Aku membuka pintu mobil dan segera menyalakan alat transportasi milik Ayahku itu. Tidak mungkin aku membawa sepeda motor karena hujan sedang turun. Aku mengemudikan mobilku dengan kecepatan sedang, jarak rumahku ke rumah Yuna mungkin membutuhkan waktu setengah jam tetapi sekarang sedang darurat dan aku berhasil tiba di tempat tujuan hanya dalam waktu dua puluh menit.
“Ibu!” teriak Yuna saat melihatku. Dia berlari ke arahku dan aku membawanya ke dalam gendonganku.
Ternyata Yuna berhasil mengumpulkan tetangganya. Banyak orang berkumpul di sini dan sebagian dari mereka menatapku.
“Maaf, tapi mbak ini siapa, ya?"
“Saya gurunya,” jawabku dan mereka mengangguk. “Bagaimana keadaan Kakek?”
Mereka menatapku dan menggelengkan kepala. “Sepertinya Pak Yanto terkena serangan jantung lalu jatuh, kami sudah memanggil dokter yang tinggal di komplek sebelah dan dia menyatakan bahwa Pak Yanto sudah meninggal karena serangan jantungnya.”
Aku menutup telinga Yuna. “Lalu bagaimana dengan Nenek Yuna?” tanyaku lagi.
“Dokter sudah menanganinya.”
Mengangguk paham, aku pamit untuk masuk ke dalam dengan Yuna yang menangis digendonganku. Aku melihat beberapa bapak-bapak maupun ibu-ibu sedang duduk melingkar dengan jenazah Kakek Yuna di tengah-tengah, mereka semua mengaji.
“Maaf, tapi kamar Nenek Jannah di mana, ya?” tanyaku pada seorang ibu-ibu.
“Oh, di sana, mbak!” tunjuknya pada sebuah kamar dengan pintu yang sedikit terbuka. “Mbak siapa, ya?”
“Saya gurunya Yuna,” jawabku. “Terimakasih, saya permisi dulu.”
Melangkah pelan di belakang orang-orang yang sedang mengaji, aku harus menenangkan Yuna dan bertemu dengan Nenek.
“Apa Yanti masih belum bisa dihubungi?”
Aku membuka pintu semakin lebar dan melihat empat orang sedang berada di dalam kamar Nenek. Tiga orang lainnya sepertinya tetangga dan satu orang dokter yang aku kenal.
Kenapa aku selalu bertemu dengan Oleander Kai akhir-akhir ini?
“Siapa, ya?"
Tersenyum kecil, aku menganggukkan kepalaku sebagai sapaan. “Saya gurunya Yuna.”
“Oh iya, silahkan duduk, mbak.”
Kai menatapku, dia sepertinya juga terkejut melihat kedatanganku.
“Bagaimana kondisi Nenek?” tanyaku langsung.
“Sedikit syok, tetapi karena Nenek juga sedang sakit, aku memberinya obat,” Kai melirik Yuna yang berada digendonganku. “Dia baik-baik saja?”
“Syok,” jawabku. Aku terus mengusap-usap punggung Yuna dengan pelan, berharap dia tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi hari ini.
“Anu.. Ibu guru..” ucap salah satu ibu-ibu itu.
“Ya?” sahutku.
“Ibunya Yuna belum bisa dihubungi, apa Ibu mungkin tahu nomor lainnya?”
“Oh,” aku meraba-raba kantong celanaku dan ternyata Kai cukup tanggap karena dia langsung mengambil alih Yuna ke dalam gendongannya. Meskipun sedikit terkejut, aku masih sadar dan mengeluarkan ponselku. “Saya dengan Ibu Yuna hanya pergi ke Bandung, jadi dia bisa cepat kembali.”
Aku membuka kontakku, mencari nama Ibu Yuna dan menghubunginya. Ini adalah nomor bisnis yang Ibu Yuna berikan padaku, mungkin saja dia akan mengangkatnya.
“Ya.. halo?” sapa seseorang di seberang sana dengan suara mengantuk. Sepertinya dia baru saja bangun.
“Oh? Halo?” sapaku balik. “Ibu Yuna?”
“Ya, siapa?”
“Saya Krystal, guru Yuna di sekolah.”
“Ah, ya. Ibu Krys, ada apa?”
“Sebentar, Bu,” ucapku dan memberikan ponselku kepada ibu-ibu tetangga yang berada di dalam kamar.
Melirik ke arah Kai yang tampak baik-baik saja dengan Yuna yang tertidur di gendongannya, aku menghela napas lega. “Sini!” aku mengulurkan tanganku untuk mengambil Yuna tetapi Kai menggelengkan kepalanya.
“Ibu kamu sakit, kami tidak bisa mengambil keputusan apapun jadi cepatlah kembali. Urus pekerjaanmu setelah semua ini selesai, Ibu dan anakmu sangat membutuhkanmu jadi pulang sekarang!”
Aku duduk di atas kasur dan meraih tangan Nenek lalu memijitnya. Kembali melirik ke arah Yuna, aku tidak bisa membayangkan berada di posisi gadis kecil itu.
“Ini, mbak, terima kasih.”
“Ah,” aku mengambil kembali ponselku. “Sama-sama.”
“Kami bertiga akan keluar dulu untuk menyiapkan makanan dan minuman, apa Ibu guru dan dokter tidak keberatan menjaga Bu Jannah sebentar?”
“Ya,” aku mengangguk.
“Terima kasih.”
Setelah itu mereka buru-buru keluar dari kamar Nenek. Hah, beruntung tetangga-tetangga di sini baik dan mau membantu.
“Apa Kakek Yuna memang sudah meninggal sebelum kau tiba di sini?” tanyaku pada Kai, sedikit berbisik.
“Ya, tetangga bilang almarhum memiliki riwayat sakit jantung. Kemungkinan besar penyakitnya kambuh dan karena tidak tahan dengan sakitnya, almarhum jatuh dan meninggal.”
“Oh Tuhan,” aku memejamkan mata.
“Siapa yang mengabarimu? Rumahmu cukup jauh dari sini, kenapa kau bisa tahu?”
“Yuna menelponku, sepertinya dia panik dan karena Ibunya tidak mengangkat telponnya, dia menelponku.”
Kai mengangguk, dia menatapku dengan tatapan lembutnya dan tersenyum. Aku yang tidak mengerti apa maksud dari senyum dan tatapannya itu hanya diam.
Baiklah, sekarang aku penasaran. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?
***