THE BEGINNING

1527 Kata
Sepertinya kau cukup bersenang-senang. Apa memiliki teman memang menyenangkan?   Aku ingin bicara denganmu sekarang, apa kasih sayang itu diperlukan? Aku tumbuh dengan kekerasan dan meskipun merasa tidak adil karena dia melupakan dirinya yang dulu, aku juga baik-baik saja karena aku juga tidak memiliki perasaan sedih seperti dirimu dan dirinya. Aku beruntung karena aku dilahirkan dengan bentuk seperti ini dan aku bersenang-senang.  Tetapi bagaimanapun aku ada untuk melindunginya, aku tercipta karena keinginannya. Jadi meskipun harus hancur dan kembali terluka, aku akan melakukan itu untuknya. Oleander Kai, sebisa mungkin nikmatilah hidupmu ketika kau masih tidak mengingat kejadian di masa lalu. -Monster in My Dream- ***  Sebenarnya tidak ada yang berbeda- atau, ada? Aku tidak begitu tahu di mana letak perbedaannya karena aku masih penikmat kopi dan selalu mencari-cari pengetahuan tentang seni. Tetapi menurut Kinan atau Ibu, aku sekarang sudah lebih ceria dari sebelum-sebelumnya.   Ah, seharian ini aku juga tidak mendengar suara Oliver Kei, jadi dia benar-benar menghilang selama tiga hari setelah berjanji padaku bahwa dia akan menceritakan semuanya. Aish, pembohong itu benar-benar.  “Bukankah kau menyukai buah-buahan ini, Bu Krys?” ucap Bu Ida, dia meletakkan keranjang berisi buah apel yang cukup banyak di mejaku. “Kepala sekolah kita mengatakan dia ingin bertemu dengan Ibu di kantornya- ah, tetapi di sana juga ada istri dari kepala sekolah kita. Saran saya, hati-hati.”  Aku tersenyum, aku tahu dia sengaja mengucapkan kalimat itu dengan suara nyaring karena ingin satu ruang guru mendengar.  “Ya, terima kasih, Bu,” kataku sebelum kemudian berdiri. “Dan satu hal lagi, saya lupa mengatakan bahwa kepala sekolah kita adalah kakak sepupu saya dan istrinya adalah kakak ipar saya, jadi terima kasih karena sudah mengkhawatirkan dan menyebarkan rumor tidak berdasar tentang saya setiap hari. Kalau begitu, saya permisi.”  Dengan langkah ringan dan senyum yang mengembang lebar di wajahku, aku melenggang pergi dari ruang guru menuju ruangan kepala sekolah. Aku tidak peduli dengan wajah terkejut semua guru yang ada di sini, aku sudah menahannya cukup lama dan karena sekarang aku sedang berada dalam mood yang sangat baik untuk bertengkar, akan aku lakukan.  “Kau datang?”   Aku duduk dengan wajah datarku di depan kedua pasangan suami-istri itu. “Lain kali jangan meminta Bu Ida untuk memberitahu ini dan itu kepadaku, kalian berdua memiliki nomor ponselku, gunakan itu dengan baik.”  Kak Hani, kakak iparku itu tertawa pelan. Tanpa perlu dijelaskan, mereka berdua pasti sudah mengerti apa yang terjadi.  “Dia masih menuduhmu berselingkuh dengan Karan?”  “Itu karena kau yang tidak memberitahu mereka siapa dirimu,” Kak Karan menggeser minuman. “Lagipula kenapa kau selalu mengungsi ke sini dan bukannya bersosialisasi dengan guru-guru lainnya?”  “Kau pikir melakukan komunikasi semudah itu?” sanggah Kak Hani pada suaminya, aku mengangguk dan bersandar sambil mengeluarkan ear-phone dari saku seragamku.   “Kenapa kau selalu membelanya?” Kak Karan menatap istrinya, wajahnya yang selalu terlihat bijaksana itu berubah karena dia memanyunkan bibirnya.  Hah, romansa suami istri ini. Ck.  “Karena kau selalu menyuruhnya untuk berkomunikasi dengan guru-guru di sini, kau sendiri tahu bagaimana dia sering dibicarakan tetapi kau selalu diam. Dia adikmu, seharusnya kau lebih membantunya. Biar saja dia di sini dan menikmati waktu istirahatnya.”  Aku bertepuk tangan dan mengacungkan jempol pada Kak Hani.  “Dia yang tidak mau dibela, sayang. Dia selalu bilang kalau dia bisa mengatasinya sendiri dan aku tidak harus melakukan apapun.”  “Tetapi kau harus bertindak tegas kepada guru-guru itu.”  Kak Karan merajuk. “Dia yang tidak mau, bukan aku yang tidak ingin membantunya.”  Sementara aku hanya duduk sambil mendengarkan lagu. Jika kalian penasaran apa yang selalu aku lakukan di ruangan kepala sekolah, maka akan aku jawab sekarang. Aku memiliki satu kepentingan yaitu ketenangan.  Tetapi ketenangan itu tidak akan tercapai karena Kak Hani juga berada di sini. mereka berdua akan sibuk berdebat atau bermesraan. Memang mendengarkan lagu lebih baik sekarang.  “Krys?”  Sial. Aku langsung melepaskan ear-phone ku dengan tergesa sampai kedua Kakakku itu berhenti beradu pendapat.  “Kenapa?” tanya Kak Hani.  “Ah,” aku menggeleng. “Sepertinya aku salah memencet tombol, aku tidak sengaja mengeraskan volumenya.”  “Kakak kira ada apa,” Kak Hani mengangguk-angguk, kemudian dia kembali melirik suaminya yang diam saja. Lalu tanpa aba-aba mereka berdua berciuman di depan mataku.  “Kau juga akan melakukan itu bersama Oleander nantinya.”  Apa sekarang makhluk ini datang hanya untuk mengejekku? Setelah menghilang selama tiga hari dan membiarkanku bertanya-tanya, sekarang dia datang tanpa aba-aba. Hah, saat pertama kalinya dia juga muncul dan membuatku berakhir di rumah sakit. Benar, seharusnya aku tidak perlu terkejut.  “Kau tahu, dokter bernama April yang dia sebutkan saat kalian makan kemarin? Kau akan berurusan dengannya, segera.”  Hah, kenapa akhir-akhir ini aku harus berurusan dengan orang baru? Lagipula kenapa harus April si dokter itu?   “Kau sudah mendekati tenda yang dikelilingi dengan api. Kau merasa nyaman di dalam tenda itu tanpa mengetahui jika api yang mengelilinginya semakin berkobar dan semakin dekat. Ada resiko yang harus ditanggung setiap kali kita merasakan kenyamanan.”  Aku menghela napas dan berdiri.  “Mau ke mana?” tanya Kak Karan. “Minumanmu belum habis.”  Tersenyum, aku menunjuk ke arah jam dinding. “Untuk kepala sekolah kita yang terhormat, tiga menit lagi bel masuk akan segera berbunyi dan guru ini harus mengajar. Kalau begitu, permisi.”  Membuka pintu, aku mendengar suara tawa Kak Hani dan gerutuan Kak Karan. Diantara banyaknya sepupuku, mereka berdua adalah yang paling dekat, mungkin karena aku juga bertemu Kak Karan hampir setiap hari.  Berjalan cepat, aku masuk ke dalam ruang guru yang hari ini tidak terlihat adanya perkumpulan. Mereka semua tampaknya tertampar oleh kata-kataku sebelum meninggalkan ruangan ini dan ada Kinan yang tertawa tanpa suara sambil mengacungkan jempolnya padaku. Hah, orang-orang ini.  Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi, semuanya dengan cepat berpencar untuk masuk ke dalam kelas atau setidaknya menghindariku. Hanya Kinan satu-satunya orang yang tetap tertawa puas dan menyenggolku.  “Mbak, mereka semua sampai lihat data mbak lho saking penasarannya.”  “Data?” tanyaku.  “Hm, data diri. Mereka langsung terkejut begitu menemukan kemiripan nama mbak dan semua keturunan Pak Dion.”  “Kemiripan nama?” tanyaku lagi, bingung sendiri.  “Iya, jika laki-laki pasti ditengah-tengah namanya ada ‘Al’, kalau perempuan ada ‘El’.”  “Oh,” aku tertawa. “Itu hanya kebtulan. Tidak semuanya memiliki kata itu, hanya sebagian.”  “Lalu Bu Ida diam saja setelah mengetahui fakta itu, dia tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Wah, seharusnya mbak mengatakannya dari awal.”  “Kau tidak terkejut?” tanyaku.  “Terkejut, tetapi aku pernah melihat mbak bicara dengan istri kepala sekolah kita beberapa minggu lalu. Jadi aku tidak sampai syok berat.”  Aku tersenyum saja sebagai balasan dan Kinan juga sampai di kelasnya. Hah, sebenarnya aku tidak memiliki kelas setelah istirahat tetapi aku akan mencari tempat yang lebih tenang.  Lalu tanpa sengaja aku melihat seorang anak kecil sedang berada di luar pagar, dari pakaiannya aku sudah tahu jika dia bukan anak dari sekolah ini, dia terlihat melihat ke dalam sekolah melalui celah pagar dan aku segera menghampirinya.  “Hei..” sapaku ramah, aku bahkan tersenyum secara otomatis.  Dia hendak berlari tetapi aku menahan tangannya. “Sedang apa?” tanyaku.  Tetapi dia tidak menjawab.  “Kamu lapar?” tanyaku lagi. “Mau makan sama tante?”  Lalu ada seorang ibu-ibu yang berlari ke arah kami, sepertinya dia baru datang memulung di sekitar sini karena dia membawa plastik besar berisi botal-botol bekas di tangan kanannya.  “Aduh maaf, mbak,” katanya. “Anak saya masuk ke dalam atau-“  “Oh,” aku menggeleng-gelengkan kepalaku. “Tidak, Bu. Tidak ada yang perlu dimaafkan juga karena anak Ibu tidak melakukan apapun.”  Ibu itu tersenyum padaku dan mengusap-usap kepala anaknya.  “Ibu sudah makan?” tanyaku.  “Oh tidak apa-apa, Ibu-“  “Kita belum makan, Bapak di rumah juga belum makan,” kata anak kecil itu dengan polos.  “Bapak di rumah?” ulangku. “Bapak kamu sakit?”  Dia mengangguk.  Aku meraba kantongku dan menemukan uang seratus ribu, dengan senyuman tulus aku mengulurkan uang itu kepada anak kecil tadi.  “Tidak perlu, mbak,” tolak Ibu. “Tidak apa-apa.”  “Buat obat Bapak, Bu,” kataku.   “Jangan, mbak.”  “Buat adik saja kalau begitu,” aku langsung memasukkan uang itu ke dalam kantong anak kecil tadi sebelum pamit pergi untuk kembali masuk ke dalam sekolah.   Hah, membantu orang lain memang benar-benar pengobat hati. Apalagi ketika melihat anak kecil itu tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku, itu membuat langkahku menjadi lebih ringan.  “Krys?”  Aku langsung tertegun ketika ingin menutup pagar dan melihat Oleander Kai turun dari mobilnya, tidak lama kemudian seorang perempuan juga keluar dari mobil yang sama. April, dokter itu.. hah, Oliver Kei sialan, jadi ini maksudnya?  Mereka berdua berjalan ke arahku jadi aku kembali membuka pagar. Aku tidak tahu satpam sekolah ini sedang pergi ke mana dan aku baru sadar jika dia tidak ada di poskonya.  “Ada yang bisa dibantu?” tanyaku ramah.  “Bisa saya tahu di mana ruang kepala sekolah?” tanya April.  “Ya, akan saya antar. Mari!”  Dengan langkah sedikit terburu, aku mengantarkan mereka sampai ruang kepala sekolah. Aku mengetuk pintu dua kali dan ketika ada suara menyahut dari dalam, aku membuka pintu dan mempersilahkan mereka berdua masuk.  “Terimakasih,” kata April padaku dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.  Aku pikir mereka berdua akan masuk bersama tetapi ternyata hanya April yang melangkah masuk sementara Kai di luar bersamaku.  “Ada apa?” tanyaku padanya.  “Ah, kita ingin menjemput Via karena sakit neneknya bertambah parah di rumah sakit.”  “Ah..” aku mengangguk paham.  Tidak lama kemudian April keluar bersama Kak Karan, mereka berdua tampaknya menuju ruang kelas Via.  “Kenapa kau tidak ikut?” tanyaku pada Kai. “Kenapa berdiri di sini?”  “Tantenya saja sudah cukup,” katanya.  Aku mengedikkan bahuku, merasa tidak perlu ikut campur dan diam saja. Merasa diamati, aku menoleh dan menemukan Kak Hani sedang menatapku, dia memicingkan matanya curiga.  “Kalau begitu aku permisi dulu,” kataku pada Kai.   “Krys!”  Dia memanggilku tepat sebelum langkah ketigaku. Aku berhenti dan menoleh.  “Ya?”  “Sampai jumpa lagi.”  Mengenyitkan kening karena tidak mengerti, aku hanya menatap wajah Kai. Tidak lama kemudian Kak Karan kembali datang, mereka juga membawa Via yang langsung berlari ke arah Kai. Laki-laki itu memberi senyuman sebelum membawa Via ke dalam gendongannya.  Aku mengamati mereka bertiga, bagaimana interaksi mereka terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Memilih tidak peduli, aku kembali meneruskan langkahku yang sempat tertunda.   “Bukankah itu menyebalkan, Dearni?”  Hah, lebih menyebalkan makhluk yang datang tiba-tiba seperti ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN