Seperti yang selalu aku katakan, aku mengamatimu.
Aku bisa tertawa, tetapi bukan jenis tawa tulus yang bisa nyaman di dengar di telingamu. Aku menertawakan emosi yang berkecamuk di dalam dirimu, emosi yang terlalu tenang seperti air tanpa ombak tetapi sekalinya beriak mampu menghancurkan segalanya.
Emosimu begitu menarik, Krys, aku tidak ingin menguasainya karena sepertinya tidak bisa. Tetapi aku tertarik karena ingin mengetahui lebih, apa kau akan terus setenang ini atau kau akan terpengaruh dan menjadi lebih kuat lagi? Saat itu aku akan berada tepat di belakangmu, aku akan memberimu emosi yang lebih kuat, aku akan melepaskanmu dari jebakan emosimu sendiri.
Jadi, sampai saat itu terjadi, aku akan menceritakan seluruh rahasia yang harus kau ketahui.
-Monster in My Dream-
***
Dua hari kemudian, ketika aku akan pulang dan memastikan tidak ada lagi murid-murid yang masih berada di sekolah, aku bertemu dengannya. Dia berada di depan sekolah, tampak mempesona sambil bersandar di mobil putihnya.
Oleander Kai, kau sama sekali tidak terlihat seperti seorang dokter. Apa kau memiliki pekerjaan sampingan sebagai model Gucci atau semacamnya?
“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku, menghampirinya. “Tidak ada seorangpun murid yang masih di sekolah- ah, apa aku melewatkannya?”
“Aku datang untuk menemuimu,” katanya, menjawab kebingunganku. “Kau ada acara setelah ini?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak juga.”
Dia membukakan pintu mobilnya untukku dan aku mulai waspada. Kenapa dia tiba-tiba datang ke sekolah tempatku mengajar? Sejak dia mengantarku pulang, dia tidak menghubungiku sama sekali dan dua hari ini juga Oliver Kei tidak muncul dalam mimpiku jadi aku sama sekali tidak menduga ini.
“Aku tidak akan melukaimu, temani aku makan siang.”
Masih berdiri diam di tempatku, aku tidak tahu harus bagaimana. Jujur saja aku adalah orang yang sangat waspada, tetapi hatiku berkata bahwa Oleander Kai adalah orang yang mampu menjamin keamanan dan kenyamananku. Apa aku ikut saja dengannya?
“Krys?”
Melangkah maju, aku masuk ke dalam mobil dan Kai tersenyum sebelum menutup pintu. Dia memutari mobil dan duduk di kursi kemudi.
“Aku tidak akan makan steak siang ini karena aku ingin makan ayam,” katanya, memberi informasi. “Dan kali ini kau harus ikut makan.”
“Tidak ada jadwal operasi?” tanyaku. “Atau makan saja di sekitar rumah sakit, kau akan lebih cepat sampai jika ada pasien yang butuh ditangani segera.”
“Hari ini bukan tanggungjawabku, aku sudah berjaga di rumah sakit selama dua hari dan tidak pulang.”
“Kau kurang tidur, ya?” tebakku. “Kau bisa menyetir? Aku masih belum mau mati sekarang.”
Kai tertawa. “Aku sudah pulang dari rumah sakit pagi-pagi sekali dan langsung tidur, aku baru bangun satu jam yang lalu dan aku mengingatmu, karena itu aku datang ke tempat kerjamu.”
“Random sekali pikiranmu itu,” gumamku. Tiba-tiba aku merasa sedikit malu jadi aku diam saja di sepanjang perjalanan. Kai juga sepertinya sangat fokus menyetir dan dia tidak berusaha terus mengajakku bicara, maka dari itu situasi seperti ini nyaman untukku karena aku tidak arus mencari topik pembahasan, menjawab pertanyaan dan semacamnya.
Tidak butuh waktu lama, kami sampai di depan sebuah kafe kecil. Aku mengernyitkan keningku karena Kai bilang dia ingin makan ayam tetapi dia pergi ke tempat yang terkenal dengan mie ayamnya- ah, jangan-jangan ayam yang dia maksud.. mie ayam?
“Ayo!” ajaknya dengan senyum lebar, dia melepas sabuk tangannya dan turun, begitupun denganku. “Kau suka mie ayam?”
“Ya, begitulah,” aku mengangguk saja karena aku tidak memiliki alergi pada ayam seperti ibu. “Aku pikir kau ingin makan ayam goreng atau ayam bakar, tidak aku sangka yang kau maksud adalah mie ayam.”
Kai tertawa. “Seharusnya aku menjelaskan lebih rinci tadi.”
Aku tersenyum.
“Ayo masuk, di sini biasanya sangat ramai jadi kita harus cepat mengklaim tempat duduk.”
Dia masuk ke dalam lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang, Kai mengamati sekitar dan tersenyum ketika menemukan tempat duduk kosong di dekat jendela kaca besar. Dia menoleh padaku dan menunjuk kursi kosong itu, akhirnya kami berdua memutuskan untuk duduk di sana.
“Kau pernah makan di sini?” tanya Kai, dia tidak tersenyum tetapi sorot matanya sangat hangat dan hidup. “Makanan di sini enak, tetapi mie ayamnya sudah beda level.”
Aku mendengus geli mendengar perkataan Kai, dia ini bisa sangat lucu seperti ini belajar dari mana?
“Kau mau pesan es teh juga?” tawarnya padaku dan aku mengangguk.
Kai menatapku dan aku mengalihkan pandanganku, memperhatikan suasana di luar kafe yang terlihat jelas melalui kaca besar di sebelah tempat duduk kami. Dia terus menatapku sampai sebuah tawa kecil terlepas dari mulutnya.
“Kenapa kau tertawa?” tanyaku.
“Maaf,” katanya. “Jangan tersinggung, aku hanya merasa lucu saja. Biasanya aku selalu makan siang sendiri karena sahabatku terlalu sibuk, jadi selain sarapan di kantin rumah sakit atau makan malam dengan dokter magang, aku selalu makan sendiri.”
“Apa ini pengakuan?”
“Anggap saja begitu.”
Aku tersenyum. “Lagipula bukankah kau suka makan sendiri?”
“Aku tidak keberatan memiliki teman makan,” katanya sambil tersenyum. “Aku hanya terbiasa karena sahabatku terlalu sibuk untuk menemaniku.”
“Sahabat? Perempuan?”
“Hm, tantenya Via. Dia juga dokter di rumah sakit, lebih tepatnya dokter anak. Akan aku perkenalkan kalian kapan-kapan.”
Mengangguk, aku mengiyakan saja. “Jika dia sahabatmu.. kalian sudah berteman sangat lama?”
“Hm, dari kecil.”
“Aku dengar tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya keterlibatan cinta,” aku memancing. “Kalian juga seperti itu?”
Kai menggeleng. “Selama ini aku dan April cukup nyaman dengan hubungan seperti ini, aku sangat menyayanginya sebagai adik. Ah, namanya April.”
“Aku pernah bertemu dengannya,” kataku.
“Oh ya?” Kai terlihat bersemangat. “Kapan?”
“Saat kau mengembalikan gelangku, kemudian dua hari yang lalu saat dia mengantar Via ke sekolah,” aku tersenyum. “Dia sangat cantik dan terlihat.. lembut? Auranya hampir mirip denganmu.”
“Apa kau membuka biro perjodohan?” Kai tertawa. “Kenapa malah menyamakan aura kamu berdua?
“Aku suka saja saat mengatakannya.”
“Kau sendiri,” tanyanya. “Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?”
“Selain kenyataan bahwa aku adalah seorang guru, aku tidak ingin mengatakan apapun,” aku tertawa pelan. “Maaf, tetapi kepribadianku sedikit.. hah, begitulah.”
“Aku mengerti, tidak perlu meminta maaf. Bagi sebagian orang menyampaikan pendapat atau berbicara tentang diri mereka tidak mudah dan itu merupakan hak yang tidak bisa dipaksakan oleh orang lain.”
Aku membalas perkataan Kai dengan anggukan kecil dan senyuman lebar.
“Tetapi aku ingin menanyakan satu hal, aku hanya sedikit penasaran tetapi jika kau tidak ingin menjawabnya tidak apa-apa.”
“Oh, kau membuatku penasaran dengan pertanyaanmu.”
Kai tersenyum. “Saat pesta pernikahan itu, kenapa kau kelihatan baik-baik saja meskipun sudah disiram seperti itu? maksudku.. kau terlihat senang.”
“Ah, aku benci pesta,” jawabku singkat.
“Jadi kau bisa pergi dengan alasan dressmu yang basah?” tebak Kai.
“Ya.”
Dia tertawa. “Kau luar biasa sekali.”
“Sudah aku bilang, aku menyukai pujian yang lebih panjang. Kau bilang kau akan memberiku pujian lebih panjang ketika kita bertemu lagi, tetapi kau selalu memberiku pujian singkat.”
“Bukankah ini lebih menyenangkan? Aku akan memberimu pujian-pujian kecil yang tidak pernah habis. Ini lebih baik dibandingkan satu pujian panjang.”
“Oh alasanmu,” aku mendengus geli. “Baiklah, aku tunggu pujian-pujianmu yang lain.”
Aku tidak tahu jika berbincang dengan Kai membuatku senang. Dia berhasil membuatku nyaman sehingga sifat asliku keluar. Aku mengikuti alurnya dan dia meringkasnya dengan sempurna, dia tahu bagaimana caranya mengajak orang berkomunikasi, oleh karena itu aku banyak tertawa hari ini.
“Aku yang mengajakmu makan, jadi aku yang harus bayar.”
“No,” aku menggeleng. “Aku tidak suka jika harus berhutang padamu, biar aku bayar biaya makanku sendiri.”
Kai menyerah. “Oke.”
Kami membayar makanan kami sendiri-sendiri, aku merasa kurang nyaman jika dia harus membayar makananku. Dua hari lalu saat dia membayar kopiku saja aku sudah merasa berhutang, jadi kali ini aku harus membayar makananku sendiri.
“Biar aku yang membayar biaya makanku sendiri, jika tidak, aku tidak akan pernah makan denganmu lagi.”
“Oke,” Kai mengangguk. “Kita bayar masing-masing.”
“Bagus.”
Kai tersenyum, kami sudah keluar dari kafe dan dia bilang dia akan mengantarku pulang. Seperti biasa, di sepanjang perjalanan nyaris tidak ada pembicaraan diantara kami sampai kemudian jalanan macet membuat aku bosan.
“Mau mendengarkan lagu?” tawarnya. “Aku tidak punya buku untuk dibaca di sini, jadi mau mendengarkan lagu?”
“Boleh,” aku tersenyum.
Satu menit setelah lagu diputar, aku tersenyum sambil menatap ke depan. Suara member One Direction memenuhi mobil dan tanpa sadar aku ikut bernyanyi.
“Get out, get out, get out of my head... and fall into my arms instead.. hm hm hm..”
Kai tidak berkomentar apapun dan aku juga tidak menoleh padanya, tetapi aku terus ikut bernyanyi sampai lagu itu berubah. Kali ini aku mendengar suara Kai, aku yang terkejut sampai menoleh dan ternyata dia ikut bernyanyi. Kembali menatap ke depan, aku tersenyum.
“Everyone else in the room can see it, everyone else but you..”
“Baby you light up my world like nobody else,” aku menoleh pada Kai, ikut bernyanyi bersamanya dan dia tersenyum lebar padaku. “The way that you flip your hair gets me overwhelmed, but when you smile at the ground it ain’t hard to tell, you don’t know.. you don’t know you’re beautiful..”
Ini pertama kalinya aku bisa sesenang ini bersama orang yang baru aku kenal dalam hitungan hari. Hah, rasanya melegakan. Ternyata seperti ini rasanya bersenang-senang bersama teman, ya?
***