FAMILY

1027 Kata
Apa yang membuatmu selalu percaya diri? Penampilan? Kesopanan?  Semua orang memanggilnya tampan, kepribadiannya juga baik. Sangat berbeda denganku yang dianggap sangat buruk. Aku disingkirkan dari ingatannya, aku dibuang agar dia tidak lagi merasa ada yang berbeda dengan dirinya, aku dianggap binasa padahal aku sudah menjelma menjadi makhluk yang tidak akan pernah bisa mereka gapai dengan tangan hampa.  Suatu ketika, aku melihatmu. Kau berjalan dengan angkuh, lalu senyummu mekar begitu saja ketika kau melihat seorang anak kecil yang menghampirimu dengan permen kapas di tangannya. Saat itu aku berkata: ah, aku harus mendapatkanmu agar aku bisa kembali merasakan memiliki tubuh sepenuhnya meskipun itu hanya akan berlangsung satu jam saja.  Halo, Krys.. lama tidak berjumpa. -Monster in My Dream- ***  Dengan novel di tangan dan segelas kopi yang menemani, aku duduk di dekat jendela seperti biasa. Hari ini suasana hatiku menjadi luar biasa baik, entah karena Oleander Kai itu atau karena sesuatu hal yang lain, aku tidak tahu.  Ah, dia memang meminta nomor ponselku dan aku memberikannya, tetapi setelah itu kami tidak berbicara lagi karena dia dipanggil pihak rumah sakit karena ada korban kecelakaan yang harus segera ditangani. Dia pamit begitu saja dan aku hanya sempat mengucapkan terimakasih.   Sejak tadi aku menunggu Oliver Kei datang, tetapi memang pada dasarnya itu itu menyebalkan dan sangat menakutkan di saat yang bersamaan, aku tidak akan berharap apapun darinya- tidak juga.  Aku menutup novel yang aku baca karena tidak bisa fokus, sebenarnya di luar juga ada tamu ibu tetapi aku hanya menyapa para tante itu dan kembali masuk ke dalam kamar. Aku bosan mendengar pertanyaan seperti ‘kapan menikah?’ atau ‘Krys, sepupu kamu sudah nikah, kamu bahkan belum tunangan. Sudah ada calon?’  Apa hidup terus-menerus tentang pernikahan dan cinta? Aku sedang tidak mengejar kehidupan seperti itu sekarang, aku akan melakukannya, aku akan menikah dan memiliki anak tetapi bukan sekarang. Kenapa orang-orang sangat penasaran terhadap hidup orang lain? lalu setelah aku menikah, apa ada jaminan mereka tidak akan bertanya lebih?  Krekk..  “Apa, bu?” tanyaku ketika melihat ibu masuk ke dalam kamarku.  “Kesal, ibu,” katanya. “Ibu bahkan tidak bertanya menantu mereka, atau anak mereka sudah hamil atau belum, tetapi kenapa mereka terus menanyakan kamu?”  Aku tersenyum. “Ayah sudah bilang sebelumnya kalau teman-teman ibu terlalu penasaran.”  “Ibu pikir karena ibu tidak pernah mengurusi anak-anak mereka, atau bahkan pekerjaan suami mereka, mereka akan melakukan hal yang sama pada ibu.”  “Siapa yang bisa mengontrol rasa penasaran orang lain?” aku mengusap bahu ibu. “Teman-teman ibu sudah pulang?”  Ibu duduk di atas kasurku. “Iya, masih kesal ibu. Mereka bahkan tanya tentang ayah kamu, gaji kamu dan segala macam. Ibu pusing.”  Aku tidak mengatakan apapun kecuali tersenyum. Ibu memang tidak begitu suka jika ada yang menanyakan tentang gaji dan privasi lainnya karena menurut ibu itu tidak pantas kecuali orang itu ingin kita mengetahuinya. Menurut ibu, menanyakan hal seperti itu hanya akan merusak suasana karena akan menimbulkan kecanggungan.  “Ah, ibu mau tanya, tadi kamu diantar siapa? Kenapa bukan pulang dengan taksi?”  “Oh itu,” aku duduk di kursi di dekat jendela. “Teman.”  “Teman?” tanya ibu lagi. “Sejak kapan kamu punya teman?”  Aku tertawa, pertanyaan ibu sama sekali tidak menyinggungku karena itu benar adanya. Aku jarang menyebut orang lain sebagai teman- kecuali Kinan, tetapi dia belum bisa belajar mengendarai mobil atau sepeda motor jadi ibu pasti menggugurkan Kinan dari daftar tersangka.  “Teman baru,” sahutku. “Kenapa? Ibu penasaran?”  “Hm,” jawabnya langsung. “Apa dia perempuan?”  “Tidak,” jawabku sambil menggeleng.  “Laki-laki?” kali ini ibu tertarik.  “Ya.”  “Terus berteman dengannya,” ibu berdiri. “Akhirnya kamu memiliki teman laki-laki, ibu sempat was-was kalau-kalau kamu tidak tertarik pada laki-laki sama sekali. Ah, ibu ingin sekali memiliki menantu seperti dokter yang menanganimu kemarin. Dia tampan, sopan dan ramah sekali.”  “Dia yang mengantarku tadi,” kataku dengan wajah tanpa dosa.   “Dokter itu?” ibu mendekatiku. “Dia mengantarmu ke sini?”  “Apa ada yang aneh?”  “Jelas,” ibu memukul lengan atasku. “Bukankah kemarin adalah kali pertama kalian bertemu?”  “Aku bertemu dengannya di pernikahan Alfi,” jawabku sesuai fakta. “Hari ini adalah ketiga kalinya.”  “Ini ketiga kalinya kamu bertemu seseorang dan dia sudah mengantarmu? Katakan pada ibu, apa ada sesuatu diantara kalian?”  Aku tertawa, ibu benar-benar lucu. Dia terlihat sangat-sangat bersemangat.  “Tidak ada apa-apa diantara kami, dia hanya kebetulan bertemu denganku dan dia mengantarku. Lagipula sepertinya dia sudah memiliki pasangan, bu, jadi jangan terlalu berharap.”  “Tapi kamu cantik.”  “Oh?” aku memicingkan mataku. “Kemarin ibu berkata kalau aku tidak bisa terus mengandalkan wajahku. Ibu lupa?”  “Hauh, pendendam.”  Ibu dan aku bisa menjadi anjing dan kucing di lain waktu, tetapi kita suka bisa saling melemparkan candaan seperti ini. Kedua orangtuaku cukup keras, aku juga memiliki watak yang sama tetapi kami mencoba berdamai dengan diri kami dan menjadi penengah jika ada dua orang diantara kami yang sedang terbakar.  “Dia memiliki pasangan, jadi jangan coba-coba merangkai rencana perjodohan,” ucapku memperingatkan. “Aku juga tidak mau dijodohkan dengan anak teman-teman ibu, bisa-bisa mereka selalu penasaran dengan kehidupan rumah tanggaku.”  “Ayahmu ingin memperkenalkanmu dengan anak temannya.”  Aku tercengang. “Lagi?”  “Temannya ingin memperkenalkan anaknya padamu dah ayahmu tidak bisa menolak. Mungkin besok atau lusa dia akan bermain ke rumah.”  “Ibu..”  “Ibu tahu, tapi temui saja. Bicara apapun asalkan tidak menyakiti perasaannya, jika kamu tidak mau, jangan beri harapan dan jelaskan alasanmu seperti dulu,” ibu menatapku. “Itu lebih baik, bukan?”  “Oke,” sahutku. “Jangan paksa aku.”  “Kapan ibu melakukan itu?”  “Ibu pasti sudah lupa dengan Nanda, jika ayah tahu ibu hampir menjodohkanku dengan seorang pemabuk-“  “Auh,” ibu menutup mulutku. “Ibu tidak sengaja, ibu tidak tahu dia seorang pemabuk karena dia terlihat normal dan baik-baik saja. Ibu juga yang akhirnya membuat dia tidak mengejarmu lagi, bukan?”  “Setelah berminggu-minggu aku tertekan karena dia terus menerorku. Aku tidak mengerti kenapa dia bisa marah-marah seperti itu padahal baru tiga menit aku tidak membalas pesannya. Dasar orang gila.”  “Ibu sudah meminta maaf padamu,” ibu menatapku, dia memukul lenganku sekali lagi. “Berhenti mengingatkan ibu tentang apa yang terjadi hari itu.”  “Jangan memukulku, atau ayah akan tahu.”  “Hauh anak ini,” ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bagaimana bisa kamu menyimpan dendam kepada ibumu sendiri?”  Setelah mengatakan itu, ibu pergi. Dia itu sebenarnya sangat lucu, terkadang.  Aku tersenyum, mataku melirik ke arah ponselku yang tidak bergeming sejak tadi. Aku hanya memiliki satu aplikasi untuk saling bertukar pesan dengan wali murid atau guru-guru yang lain. Aku tidak memiliki sosial media seperti f*******: atau i********: karena aku merasa itu hanya akan membebaniku.  Lagi-lagi aku melirik ponselku.  “Ada apa denganmu, Krys?” gumamku. “Dia sedang sibuk dan kalian tidak memiliki hubungan apapun.”  Kenapa harus berharap dihubungi lalu kesal karena ekspektasimu tidak terpenuhi? Menurut orang-orang, dia akan meluangkan waktu untukmu jika kau memegang peran yang cukup di hidupnya. Tetapi jika kalian bahkan belum memiliki hubungan, kenapa berharap? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN