TALK

1257 Kata
Memberi pilihan adalah pekerjaanku, tetapi mengarahkanmu merupakan tugas utama dari semuanya. Aku cukup bersenang-senang saat melihatnmu, bukan karena sebuah perasaan konyol yang kau sebut cinta maupun kasih sayang, aku hanya senang melihat senyuman dari orang-orang yang aku pilih. Aku mengerti keraguanmu, Krys, sangat mengerti. tetapi pada akhirnya kau tetap melakukannya, bukan? Ah, seandainya dia tidak menderita, kita bertiga tidak akan dipertemukan dengan cara seperti ini- maksudku, itu mungkin untuk kalian berdua tetapi tidak denganku. Sosokku bisa membekukanmu, aku mampu membuat siapapun membuka. Berbanding terbalik dengan dia yang selalu bisa membuatmu hangat, tetapi selalu ingat, dia juga bisa membuatmu terbakar. Mendekatinya, dapat merasakanku, itu artinya kau terpilih karena kau bisa melewati resikonya; hidup tenangmu akan berakhir dalam hitungan jari. -Monster in My Dream- *** Taksi yang aku tumpangi berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah, aku turun setelah selesai membayar dan mengamati sekitar sebelum mataku menemukan mobil putih yang aku lihat tadi. Jadi Oleander Kai benar-benar ada di dalam restoran ini, ya? Tanpa ragu aku melangkah masuk, seorang pelayan langsung menghampiriku dan aku hampir mempermalukan diriku sendiri karena ternyata restoran ini menerapkan sistem reservasi. Tetapi beruntunglah aku karena saat itu Kai lewat dan dia mengatakan kepada pelayan itu kalau aku memiliki janji dengannya. Sial, Oliver Kei! Kau sengaja, ya? “Duduk!” Kai tersenyum padaku. Aku bertanya-tanya apakai bibirnya tidak sakit jika dia terus tersenyum seperti itu? “Kita bertemu lagi,” katanya ramah. Aku mengangguk, sedikit merasa canggung- lebih tepatnya malu. “Maaf, sepertinya temanku mencoba membodohiku atau dia belum sempat reservasi aku tidak tahu,” aku mencari alasan yang paling tepat. “Sekali lagi, maaf.” “Tidak apa-apa,” Kai memanggil pelayan, menambah pesanan. “Lagipula aku hanya sendiri di sini.” “Sendiri?” tanyaku terkejut. “Kau.. benar-benar hanya sendiri?” Kai tertawa pelan. “Aneh, ya?” Aku menggeleng. “Tidak juga, aku juga sering melakukannya. Maksudku, beberapa orang ada yang lebih suka makan sendiri.” Kenapa aku tiba-tiba menyebutkan kebiasaanku? Aku bukan tipe orang yang suka membicarakan diriku sendiri, malah aku sering menghindari pertanyaan terkait dengan diriku sendiri. Aneh, kenapa aku begitu lancar berbicara di depannya? “Beberapa orang menyebutku aneh, bahkan sahabatku sendiri,” katanya, dia menatapku. “Makan sendiri tidak cocok dengan kepribadianku yang lebih terlihat seperti seorang ekstrovert. Kau tidak berpikir begitu? Menarik.” Aku hanya tersenyum sebagai respon. “Ah, tadi aku bertanya tentang kepalamu. Apa kau merasakan pusing atau sakit?” “Oh, aku baik-baik saja. Aku ingin menjawabnya tetapi aku tidak tahu harus bagaimana tadi.” Kai mengangguk-angguk, dia tersenyum lagi. “Syukurlah.” Pelayan datang membawa ice americano ke meja kami, itu minuman yang aku pesan tadi. Hah, jika bukan karena Oliver Kei dan rasa penasaranku, sekarang aku sudah berguling-guling di atas kasur. Aku sedikit menyesal. “Kau tidak memesan makanan?” tanya Kai. “Pesan saja.” “Aku harus segera pergi,” kataku. “Atau kau tidak akan bisa makan dengan tenang.” “Terkadang aku juga butuh teman makan, jadi pesanlah makanan. Akan menjadi lebih canggung jika hanya aku yang makan dan kau hanya meminum kopimu.” Aku tetap menggelengkan kepalaku, menolak memesan makanan. “Jika kau butuh teman makan, maka aku akan menemanimu. Tetapi.. apa kau terbiasa dengan steak siang-siang seperti ini?” Kai mengangguk dengan semangat. “Hm, jika aku memakan steak di malam hari maka pencernaanku akan terganggu. Waktu tepat untuk makan daging itu memang di siang hari. Ah, aku sarankan jika kau ingin makan steak pastikan kau juga memadukannya dengan fresh mix salad, itu akan membantu menetralisir lemak di dalam tubuh sehingga akan lebih mudah dicerna.” Paham, aku tersenyum. “Pasti menyenangkan, apalagi saat ini matahari sedang bersinar sangat cerah.” “Kau ini belum tahu saja kalau aku pernah makan steak di pagi hari,” katanya. “Apa?” aku terkejut. “Wah, aku baru mendengar ada orang yang menjadikan steak sebagai sarapan.” “Reaksimu menghibur sekali,” ucapnya lagi sambil tersenyum, dia memotong daging steaknya. “Ah, saat sedang memakan steak, kau lebih suka tingkat kematangan yang seperti apa?” “Medium well,” jawabku, aku melirik piring berisi steak di hadapan Kai. “Kau lebih suka medium, ya?” Tunggu, kenapa kami jadi membahas steak? “Ah, di SD mana kau mengajar?” tanya Kai. “Aku ingin menanyakan itu kemarin, tetapi ternyata kau sudah pulang dan aku tidak bisa menemuimu karena ada pasien yang harus aku urus.” Aku menyebut nama sekolah tempatku mengajar dan mengatakan padanya kalau kemarin bukan masalah karena pasien adalah yang utama. Munafik sekali, padahal kemarin aku mencarinya. “Kalau begitu kau tahu Via? Aku lupa dia berada di kelas berapa sekarang, tetapi kulitnya kuning langsat, matanya sedikit sipit dan senyumnya manis sekali. Kau kenal dia?” Via? Gadis kecil yang diantar dokter perempuan yang pernah aku lihat bersama Oleander Kai di pernikahaan Alfi, kan? “Via.. anak bu Gia?” tanyaku, memastikan. “Ya, dia!” Kai tampak terkejut. “Kau mengenalnya?” “Kenapa kau terkejut begitu?” aku tertawa melihat reaksinya. “Entah, rasanya seperti dunia ini memang sempit sekali. Bagaimana bisa orang yang baru aku kenal sudah mengenal orang di sekelilingku sejak lama. Bukankah itu menakjubkan?” Ah, aku tidak ingin mengatakan ini selain kepada Kinan dan anak kecil, tetapi dia lucu sekali. Bagaimana bisa reaksinya bergitu lucu sampai membuatku terkejut? Dia seorang dokter di rumah sakit besar, sedang makan steak di restoran mewah dan terkejut karena hal seperti tadi? Lucu sekali. “Oh iya, Krys, kemarin kau bertanya padaku tentang Oliver Kei, ya?” Kali ini aku yang terkejut. “Ya..” jawabku ragu. “Kau mengenalnya?” “Tidak, tetapi aku pernah mendengar namanya di jurnal kesehatan. Kau tahu penyakit Xeroderma Pigmentosum? Kelainan kulit yang menyebabkan penderitanya tidak bisa terkena cahaya matahari. Aku baru ingat kalau ada anak kecil yang mengidap penyakit itu dan namanya adalah Oliver Kei.” Ah.. aku pikir dia mengenal Oliver Kei yang aku maksud. “Bukan dia yang aku maksud,” aku tersenyum. “Ada.. orang lain.” Kai tersenyum. “Benar, kan? Aku juga berpikir bahwa tidak mungkin kau akan menanyakan anak itu padaku.” Pembicaraan ini semakin random tetapi aku bisa menikmatinya. “Kau suka kopi, Krys?” tanyanya. “Ini sudah gelas keduamu.” “Begitulah.” “Minum kopi, membaca novel romansa, mempelajari tentang seni, duduk diam sendiri,” Kai menatapku. “Kau seperti itu?” “Ya, bagaimana kau bisa tahu?” aku mengernyitkan keningku. “Kenapa kau bisa sampai memiliki pikiran seperti itu?” “Aku melihatmu di pesta itu.” Aku berdehem. “Saat aku disiram?” “Kau terlihat senang saat perempuan itu menyirammu, seakan-akan kau memang menunggu hal itu terjadi.” Aku meminum kopiku. “Jika tidak begitu, aku tidak akan bisa keluar dari pesta yang penuh dengan orang-orang asing.” “Aku heran, bagaimana bisa kau menanggapi perempuan itu dengan sangat tenang? Biasanya perempuan tidak setenang itu, apalagi jika harga diri mereka sedang dipertaruhkan.” “Aku tidak merasa sedang mempertaruhkan harga diriku,” jawabku tenang. “Dia yang mempertaruhkan harga dirinya dengan menyebutkan kelebihan-kelebihanku, kau tahu orang iri tidak akan pernah ada habisnya.” Kai terkekeh. “Benar juga.’ Siang itu, cukup lama aku berbincang-bincang bersama Kai dan dia bahkan mengantarku pulang ke rumah meskipun aku sudah menolaknya berkali-kali. Dia ternyata cukup keras kepala sampai akhirnya aku menyerah dan dia banyak bercerita tentang kegiatan-kegiatan yang dijalaninya. Di perjalanan aku juga bertanya tentang alasan kenapa dia menjadi dokter dan dia bilang itu terjadi karena kenangan pertamanya adalah bertemu dengan seorang dokter. Aku tidak bertanya lebih lanjut karena itu privasinya dan mungkin dia tidak ingin membicarakan itu dengan perempuan yang baru dia kenal kurang dari empat puluh delapan jam. “Sudah sampai, “ aku melepas sabuk pengamanku. “Terimakasih.” “Oh, Krys, ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan,” katanya. “Silahkan.” “Apa kau membenci perempuan itu?” “Perempuan.. yang menyiramku?” Kai mengangguk. “Apa kau membencinya?” “Untuk apa?” aku tertawa pelan. “Tidak berguna, emosiku terlalu berharga untuk mengurus hal-hal semacam itu.” “Boleh aku memberimu pujian?” “Aku suka pujian,” sahutku. “Kau hebat.” Aku tersenyum lebar. “Aku mengharapkan pujian yang lebih panjang.” Kai tertawa. “Baiklah, nona, akan aku berikan pujian yang lebih panjang di pertemuan kita selanjutnya.” “Kau yakin kita bisa bertemu lagi?” candaku. “Pasti,” Kai mengeluarkan ponselnya. “Karena aku akan selalu menghubungimu setelah ini.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN