Emma tidak bisa melepaskan pandangannya dari kedua tangannya yang digenggam oleh Nicholas. Mereka berdua sedang berbaring di atas kasur yang sama, saling berhadapan dengan hanya dibatasi sebuah guling, dan kedua tangan mereka saling menjalin jemari satu sama lain.
Nicholas. Deru napas pria itu terdengar pelan dengan tarikan yang teratur. Wajahnya yang sering terlihat menyebalkan di mata Emma, berubah menjadi sosok seorang Nicholas yang tak jauh berbeda dengan anak-anak kecil polos yang belum mengerti dosa.
“Nic?” Emma mencoba memanggil Nicholas. Tidak ada jawaban. Tapi ia tidak yakin pria itu sudah benar-benar tertidur. “Nicholas?” Ia mencoba memanggilnya sekali lagi, dan reaksi Nicholas tetap sama.
Antara yakin dan tidak yakin, Emma menarik tangannya perlahan keluar dari genggaman tangan Nicholas. Ia melakukannya sepelan mungkin agar pria itu tidak terbangun tiba-tiba dan menahannya lebih lama lagi di kamarnya.
Ketika kedua tangannya berhasil terbebas dari kungkungan jemari Nicholas, Emma segera bangkit dari pembaringannya, kemudian menurunkan kakinya yang telanjang menyentuh lantai yang dingin. Ia sedikit menggigil saat merasakan dinginnya lantai. Bibirnya mengeluarkan desisan tertahan yang kemudian berubah menjadi sebuah pekikan saat tubuhnya tiba-tiba ditarik ke belakang dengan kuat.
Nicholas menarik tubuh Emma kembali berbaring di kasurnya—di bawah tubuhnya—dan pria itu sedang mengurung wanita itu dengan kedua tangannya sendiri. Menatap Emma dengan tatapan yang seolah mengatakan kalau ia sedang memegang kendali saat ini, dan Emma bagaikan kelinci yang tidak berdaya di bawah cengkraman serigala yang siap memangsanya.
“Kau mau ke mana?” tanya Nicholas.
“Kembali ke kamarku, Nic.”
“Kau tidak boleh meninggalkan kamar ini, Em,” ujar Nicholas, seraya bergeser dari atas tubuh Emma, dan kembali ke posisinya semula. “Tetap di sini.”
Emma melirik ke ujung bajunya yang digenggam erat oleh Nicholas. “Apa-apaan ini?” tanyanya. “Sikapmu lebih kekanakan dari keponakan-keponakanku, Nic. Bajuku bisa kusut.”
“Bajumu memang sudah kusut, Em.”
“Ini salahmu yang menyuruhku menemanimu tidur.”
“Ini salahmu yang menakut-nakutiku.” Nicholas membalas. Pria itu memang tidak pernah kehabisan kata-kata untuk membalas Emma.
“Tidurlah, Nic. Semakin cepat kau tidur, semakin cepat aku bisa tidur juga.” Emma terdengar menyerah dengan keinginannya yang ingin tidur di kamarnya sendiri, dan itu membuat Nicholas mengembangkan senyum penuh kemenangan yang di mata Emma terlihat sangat menyebalkan dan membuatnya ingin meninju Nicholas.
Pria itu akhirnya memejamkan matanya. Dan Emma, tidak melakukan apa-apa selain menatap langit-langit tempat tidur Nicholas yang merupakan sebuah kelambu biru tua. Frank baru menggantinya tadi pagi.
Merasakan Nicholas sama sekali tidak mengendurkan genggaman tangannya terhadap ujung bajunya, Emma menolehkan kepalanya ke samping, sementara tubuhnya masih menghadap ke atas. Nicholas sama sekali tidak bergerak, bahkan ketika Emma mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Nicholas, pria itu tetap bergeming. Tapi, Emma tidak mau tertipu lagi. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu beberapa menit sampai ia benar-benar yakin Nicholas sudah terlelap.
Selama sepuluh menit Emma tidak bergerak, dan hanya mengamati wajah Nicholas yang tampak damai. Anehnya, wanita itu sama sekali tidak merasakan pegal di lehernya, atau bagian tubuhnya yang lain. Yang lebih aneh lagi, tiba-tiba saja terbesit di benaknya kalau Emma mengakui bahwa Nicholas benar-benar sosok adam yang...mempesona.
Emma menelan ludah hingga berbunyi. Apa yang baru saja ia pikirkan? Seharusnya ini tidak boleh! Terpesona akan Nicholas, hanya akan membuatnya membuka jalan bagi perasaan-perasaan asing yang seharusnya tidak boleh menguasai hatinya.
Ini gawat....
Bahkan saat ia menyadari kalau hal ini tidak boleh ia lakukan... Emma tidak bisa berhenti mengagumi Nicholas!
Emma meringis. Sifatnya yang satu itu memang belum berubah. Naif dan ceroboh. Tapi, bagaimanapun pekerjaannya ini memang penuh resiko. Menghabiskan hampir setiap menit di hari-harinya bersama seorang pria yang tidak pernah lepas dari pengawasannya, bercengkrama satu sama lain, apalagi jika pria itu tidak berhenti menggodamu, seharusnya Emma tahu dirinya tidak sehebat itu untuk mengendalikan perasaannya sendiri.
“Kau memikirkan sesuatu?”
Emma tersentak mendengar suara Nicholas. Pria itu lagi-lagi mengelabuinya.
“Apakah wajahku sangat menyenangkan untuk dilihat? Tatapan matamu terasa sangat panas, kau tahu?” Nicholas membuka matanya. “Aku tidak bisa tidur, Em.”
“Cobalah untuk tidur.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau pikirkan?”
“Aku sedang memikirkan apakah kau sudah tidur atau belum, dan pertanyaanku sudah terjawab.” Emma melepaskan tangan Nicholas yang masih menggenngam ujung bajunya. “Aku lelah, dan aku tidak bisa tidur di sini, Nic. Jadi, ku mohon padamu, biarkan aku kembali ke kamarku. Aku akan membangunkan Frank untuk menemanimu.”
“Benar hanya itu yang kau pikirkan? Wajahmu mengatakan ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku.” Nicholas memegangi tangan Emma. “Aku tidak ingin Frank. Aku mau kau yang menemaniku.” Nicholas tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi lebih manja dan pemaksa.
“Itu tidak mempan untukku, Nic.” Emma tertawa. “Jangan matikan lampumu, dan semuanya tidak akan berubah menjadi menakutkan. Lagipula di bawah sana, rekan-rekanku yang lain tetap membuka matanya sampai pagi untuk menjagamu jadi kau bisa saling berteriak dengan mereka dari atas sini.”
“Emma aku ti—“ Nicholas menjulurkan tangannya dan tanpa sengaja menyentuh d**a Emma. Ia terpaku menatap tangannya sendiri, kemudian beralih menatap Emma yang juga sama-sama mematung.
Bibir Emma mulai bergetar. Nicholas kira wanita itu akan segera menangis, dan terkutuklah otak dan syaraf-syaraf tubuhnya yang tiba-tiba terasa lumpuh.
Detik selanjutnya yang terjadi adalah suara tamparan keras yang mengudara tepat di saat Nicholas baru saja akan membuka mulutnya untuk mengucapkan kata ‘maaf’.
***
“Emma, kau masih marah?”
Emma melirik Nicholas sesaat sebelum melengos, membuang muka ke arah lain. Ia benar-benar mengabaikan Nicholas seharian ini, dan Nicholas sudah kehabisan kesabaran. Jadi, ia pun menarik lengan Emma dengan paksa, menyuruh wanita itu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap dirinya. “Emma...” panggil Nicholas, lirih.
“Ah...aku tidak bisa, Nic.”
“Apa maksudmu tidak bisa? kau tidak bisa memaafkanku? Sudah berapa kali kujelaskan aku tidak sengaja!” Nada bicara Nicholas semakin meninggi di akhir kalimat.
“Aku tahu, Nic. Aku sudah memaafkanmu. Hanya saja, setiap aku melihatmu rasanya aku...”
“Malu?”
“Ingin memukulmu,” jawab Emma, sukses membuat Nicholas hampir tersedak ludahnya sendiri karena tidak bisa menahan tawa.
“Kau boleh memukulku kalau itu bisa membuatmu puas, Emma. Aku akan lakukan apapun untukmu.”
“Jangan berbicara seperti itu, Nic. Kalau aku adalah salah satu wanita yang mudah tergoda oleh pria sepertimu, maka sekarang aku sudah jatuh cinta padamu.”
Nicholas mengulas seringainya, lalu dengan tatapan menggoda, tangannya perlahan naik dan memegangi dagu Emma dengan lembut. “Kenapa kau menggolongkan dirimu menjadi salah satu wanita yang tidak mudah tergoda oleh pria sepertiku?”
“Aku tidak tertarik memiliki urusan hati dengan pria sepertimu. Merepotkan.” Emma menepis tangan Nicholas dari dagunya, tapi pria itu justru menangkap tangan Emma.
“Aku memperingatkanmu, Em—jangan berpura-pura,” kata Nicholas. “Sikapmu yang seperti ini hanya akan membuat segalanya menjadi lebih mudah dan menarik untuk pria sepertiku, Em.”
“Kau mengancam, atau menggoda?” Emma berusaha menarik tangannya dari Nicholas, tapi pria itu justru menarik tubuhnya menjadi lebih dekat, kemudian menyudutkan tubuhnya yang seolah kehilangan tenaga ke tembok.
Emma melihat ke kanan dan ke kiri. Ke mana semua orang pergi? Bukankah barusan ada banyak orang yang berkumpul di ruang tengah ini?
“Kau terlalu sibuk dengan aksi diammu padaku, Em. Sampai-sampai kau tidak menyadari kalau aku sudah menyuruh mereka untuk menunggu di luar sampai aku selesai bicara denganmu.”
“Baiklah, bukankah seharusnya urusan kita sudah selesai? Aku sudah memaafkanmu, dan cepat lepaskan aku sebelum keinginanku untuk memukulmu muncul kembali.”
“Pukul aku, Em.” Nicholas terdengar menantang Emma.
Emma menaikkan sebelah alisnya. “Baiklah, kau yang meminta.” Ia pun mengepalkan tangannya yang bebas dari genggaman Nicholas, kemudian mengarahkan tinjunya ke wajah pria itu. Tapi, gerakan itu dengan lemahnya berhenti begitu saja sebelum mengenai sasarannya.
Nicholas. Pria itu tiba-tiba mengecup pipi Emma, mengalirkan rasa kejut yang mampu membuat seluruh tubuh wanita itu kehilangan kendali, dan semua syarafnya mati rasa. Bahkan ketika pria itu melemparkan pandangan puas dengan seringaiannya yang seolah mengatakan: kena kau.