Addiction: 6

1008 Kata
            Emma tidak tahu harus berwajah seperti apa saat mendengar kalimat yang dilontarkan Nicholas barusan padanya. Jadi, yang ia lakukan adalah segera berbalik memunggungi Nicholas. Berlaku seolah-olah ia akan sangat sibuk untuk menyiapkan makanan, dan tidak bisa meneruskan percakapan yang mulai terdengar konyol dan berbahaya.             “So, my little Emma doesn’t like those kind of conversation.” Nicholas berjalan perlahan menuju kursinya. “Pastikan kau mengoleskan banyak selai coklat dan potongan kacang untuk rotiku.” Pria itu mengalihkan pembicaraan, dan rasa lega mulai mengaliri syaraf-syaraf Emma yang sempat menegang, membuat segalanya menjadi lebih mudah untuk Emma kerjakan. Seperti sihir, roti bakar untuk Nicholas selesai dalam waktu yang tidak lama.             Emma menaruh piring berisi dua lapis roti bakar di depan Nicholas, sambil menuangkan air dingin di gelas Nicholas yang sudah kosong.             “Kau tidak makan?” tanya Nicholas, sambil menjilati ibu jarinya yang terkena lelehan selai coklat.             Emma menggeleng. “Aku akan makan nanti kalau aku sudah lapar.”             Tentu saja Nicholas tidak menerima penolakan Emma. Pria itu menyodorkan satu lapis roti bakar yang belum ia sentuh pada Emma. “Aku tidak mau kau berubah menjadi kurus kering dan kekurangan tenaga untuk melindungiku.”             Emma menghela napas berat. “Nic, aku tidak mungkin berubah menjadi kurus kering hanya karena melewatkan cemilan malam, dan lagi...jangan sekali-kali kau meragukan kekuatanku.” Emma kira jawabannya akan membuat Nicholas menarik kembali tawarannya, tapi pria itu tetap menahan tangannya yang memegangi selapis roti bakar di depan wajah Emma. Emma memutar matanya frustrasi. “Ugh..baiklah, Nic.”             Nicholas tersenyum puas saat Emma mengambil roti bakar itu dari tangannya. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah mengamati wanita yang sedang mengunyah roti bakar dengan gigitan yang terbilang besar untuk ukuran bibirnya yang mungil. “Makanlah pelan-pelan, aku tidak akan mengambil roti itu lagi darimu,” kata Nicholas, terkekeh.             Emma menutup mulutnya yang mengembang penuh karena roti yang berada di dalam mulutnya belum selesai ia kunyah. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya ia menelan habis roti itu dengan bantuan beberapa tegukan air dari gelas Nicholas. Kemudian sambil menatap Nicholas dengan pandangan sedikit kesal, ia berkata, “Ugh...tenggorokanku terasa kering dan kesat karena selai coklat yang kelewat banyak.”             “Kau bisa menghabiskan minumanku. Tadi kau meminumnya tanpa ragu.”             “Tentu. Aku akan menghabiskannya dengan senang hati, tapi jangan menyuruhku mengisi ulang gelasmu.” Emma menyabet gelas Nicholas, lalu meneguk isinya sampai habis. Beberapa tetes air mengalir dari kedua sisi bibirnya, yang kemudian ia seka dengan punggung tangannya. “Aku akan mengantarmu sampai kamarmu, Nic.”             “Tidak perlu, Em. Kau bisa kembali ke kamarmu.”             “Jangan membuatku mangkir dari tugasku, Nic.”             “Baiklah kalau kau memaksa.” Nicholas menyeringai, dengan sebelah alisnya terangkat.             Emma selalu berpikir Nicholas terkadang terlalu berlebihan dalam menunjukkan pesonanya. Kalau pria itu mengira Emma akan terjatuh dalam pesonanya, maka Nicholas harus siap-siap menerima kenyataan kalau perkiraannya sungguh sangat salah. Dia harus bisa mengerti kalau tidak semua wanita terjerat dalam pesonanya. Tidak. Sebenarnya itu hanya alasan bagi Emma untuk melindungi dirinya sendiri...             Bukan sekali dua kali seorang Nicholas Wood menggodanya. Seakan-akan melewatkan sehari tanpa menggoda Emma akan membuatnya mati kelaparan. Sementara Emma harus mati-matian bersembunyi di balik perjanjian antara mereka berdua untuk tidak saling terlibat perasaan asmara, dan memang hanya itu yang hingga kini menguatkan hati dan akal sehat Emma untuk tidak keluar dari jalur amannya. Emma yakin, ia akan melewati semua ini dengan baik-baik saja. Bagaimanapun ia tidak ingin membiarkan Nicholas menikmati permainan yang ia mainkan dengan kuasanya kini.             Biasanya, ini akan sama dengan akhir cerita dari drama-drama hiperbola yang sering ditonton oleh Bibi Gracia saat hari Minggu. Seorang pria sempurna yang menyukai segala bentuk perhatian dan pemujaan wanita yang menyukainya, memutuskan untuk membuat seorang wanita yang sama sekali tidak menyukainya untuk jatuh cinta padanya, lalu kemudian meninggalkannya saat wanita itu menyerahkan dirinya sepenuhnya pada pria itu.             Emma tidak ingin menjadi wanita itu, dan ia tidak akan membiarkan Nicholas memainkan peran si Pria dengan sangat baik. Jadi, biarkan saja seorang Wood muda bersenang-senang dengan pikirannya sampai akhir dari kesenangannya menunjukkan diri. Emma tidak sabar melihat apa yang akan dirasakan Nicholas ketika ia mengetahui bahwa ada satu wanita yang tidak akan jatuh ke pelukannya seperti wanita-wanita lain, dan itu adalah dirinya sendiri.             “Kau sedang membayangkan sesuatu yang menyenangkan?” tanya Nicholas, saat mereka sedang menaiki tangga menuju kamar Nicholas.             Emma buru-buru menyembunyikan senyumnya. “Tidak. Kenapa?”             “Karena barusan kau tertawa kecil seperti hantu. Ini bangunan lama, jangan membuatku salah sangka dengan suara-suara yang kau buat.” Nicholas terdengar tidak bercanda.             “Kau...takut hantu?” tanya Emma tidak percaya.             “Jangan lancang Emma. Apa yang kukatakan barusan padamu, bukan berarti bisa kau artikan karena aku takut.”             Emma tersenyum licik. “Yeah, kau takut. Akui itu.” Emma menghentikan langkahnya, tepat saat kaki Nicholas lebih dulu mencapai puncak teratas tangga. “Kau tahu? Aku banyak mendengar rumor...”             “Hentikan, Emma.” Suara Nicholas terdengar sedikit bergetar.             “Kata beberapa algojomu, saat malam hari mereka sering mendengar suara—“             “EMMA!” Nicholas berteriak.             Emma terkikik. “Suara Frank yang sedang mengigau di malam hari.” Emma tertawa. “Nic, kau harus melihat bagaimana wajahmu sekarang—apa?” Emma menghentikan tawanya saat melihat ekspresi wajah Nicholas yang tiba-tiba tidak bisa ia tebak. “Kau marah? Maafkan aku, Nic. Aku hanya bercanda. Selama ini kau yang selalu menggodaku, tentunya kau tidak keberatan jika aku membalasmu, kan?”             Tapi Nicholas tetap diam, dan itu membuat Emma tidak nyaman. Jadi wanita itu memutuskan untuk tidak menunggu Nicholas sampai masuk ke kamarnya, dan langsung mengambil posisi akan segera menuruni tangga. “Baiklah. Aku akan ke kamarku. Selamat malam, Nic.”             “Siapa yang menyuruhmu pergi, Em?” Nicholas akhirnya bersuara. “Kau harus menemaniku sampai aku tertidur.”             “Ap-apa? Nic, kalau kau melakukan ini karena kau ketakutan—“             “Aku tidak takut, Em.”             “Oke—karena kau merasa kesal padaku, aku minta maaf. Tapi, tidak ada hal yang harus kau risaukan, Nic. Jadi—“             “Jadi kau harus tinggal di kamarku malam ini. Tidak ada tapi, Em. Kau yang memulainya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN