Addiction: 5

1932 Kata
            “Nic, jika dalam hitungan ketiga kau belum juga bangun, maka jangan salahkan aku jika kasurmu basah dan kau tidak bisa tidur di kamarmu malam ini.” Emma mulai mengangkat ember penuh berisi air tinggi-tinggi, dan ia arahkan pada Nicholas. “Satu....”             Nicholas masih bergelung di dalam selimutnya.             “Dua...”             Emma tidak melihat tanda-tanda Nicholas akan segera bangun.             “Aku tidak bercanda, Nic..., ti—“             “Argh! Fine! Im wake up now!”             Byur! “Ups...sorry, Nic. Ku kira kau benar-benar tidak akan bangun.” Emma nyengir, pura-pura merasa bersalah, tapi Nicholas jelas tahu wanita itu sengaja melakukannya. Dia memang sudah berencana menyiram dirinya pagi ini, tidak peduli Nicholas akan benar-benar bangun atau tidak karena ancamannya.                 “Aku akan membuatmu membayar ini, Em.” Nicholas menggeram kesal. Ia menghembuskan napas berat kemudian mengusap wajahnya yang basah kuyup, lalu membuka matanya, mendapati Emma sudah melarikan diri. “JANGAN LARI, EMMA!” Pria itu lalu berteriak, sambil melompat turun dari kasurnya, kemudian terpeleset ketika tubuhnya baru saja melewati ambang pintu.             “Astaga, Nic!” Emma menghentikan larinya, kemudian berbalik menuju Nicholas yang terbaring di lantai. Emma yakin ia mendengar suara bruk yang sangat keras, semoga itu bukan kepala Nicholas yang terbentur lebih dulu. “Nic, sadarlah, jangan bercanda.” Emma menepuk-nepuk kedua pipi Nicholas dengan panik. “Oh, Tuhan...apa yang sudah kulakukan?”             Wanita itu nyaris berteriak meminta tolong sebelum tiba-tiba Nicholas membuka mata, lalu menarik tangan Emma, membantingnya dan membalikkan posisi sehingga kini wanita itu berada tepat di bawahnya. “Kena kau!” Nicholas tertawa puas penuh kemenangan.             “AKU KIRA KAU SERIUS, NIC!”             “I am. Aku serius mengerjaimu.” Nicholas kembali menyeringai. “Jadi, mana ciuman selamat pagiku?”             “Aku punya yang lebih baik, Nic; tam-pa-ran.” Emma mendorong Nicholas hingga pria itu terjungkal ke samping, kemudian berdiri. “Cepat mandi, lalu turun ke bawah, Nic. Sarapanmu hampir dingin.”             Nicholas menyadari penampilan Emma sedikit berbeda dari biasanya. Wanita itu memoleskan riasan yang agak tebal di bibir dan mata. “Kau mau ke mana?”             “Aku harus ke suatu tempat, Nic. Itu bukan urusanmu.”             “Jadi, kau tidak menemaniku sarapan?”             “Salahkan dirimu sendiri yang tidak bisa bangun pagi dalam damai, Nic.” Emma mengulurkan tangan pada Nicholas, membantu pria itu berdiri. “Aku akan pulang sebelum jam tiga.”             “Tidak kuizinkan, Em. Kau harus melindungiku, bukan?” Nicholas mulai bertingkah menyebalkan.             “Ayolah, Nic.” Emma memutar bola matanya. “Sudah hampir dua minggu aku mengawalmu, dan kau sama sekali tidak memperbolehkanku keluar. Hari ini bibiku ulang tahun. Aku tidak akan lama.”             “Pergi dari jam sembilan pagi, lalu kembali jam tiga sore kau bilang tidak lama?”             “Sebelum, Nic. Se-be-lum. Dan aku berhak memintanya, ini menyalahi kontrak, Nic. Seharusnya aku diperbolehkan untuk pergi paling tidak sekali dalam seminggu, tapi kau melarangku.  Jangan lupa, gara-gara kau sahabatku marah karena aku tidak pergi ke pesta pertunangannya.”             “Kalau begitu akan kubuatkan kontrak yang baru, Em.”             “Tidak, Nic. Aku akan pergi sekarang, tidak peduli kau akan melakukan apa.”             “Oke, oke. Baiklah, aku mengizinkanmu pergi asalkan aku ikut denganmu.” ***             Emma berada di antara kerumunan para bibi dan sepupu-sepupunya yang sibuk bertanya karena penasaran dengan sosok Nicholas yang terasa begitu berbeda. Ia sudah duga, kehadiran Nicholas hanya akan membuat suasana yang biasa di dalam rumahnya menjadi luar biasa.             “Dia sungguh tampan. Lebih tampan dari foto majalah atau di TV.” Bibi Gracia berbisik dengan penuh semangat pada Emma, dan saudara-saudara Emma lainnya yang ikut berkumpul mengelilingi Emma. Emma sudah terbiasa dengan tingkah para Bibinya yang semuanya sudah menyandang status janda. Mereka akan bersikap layaknya remaja dan melupakan umur mereka saat melihat pria-pria tampan seperti Nicholas. Tapi tidakkah reaksi yang mereka timbulkan sedikit berlebihan di sini? Jarak antara mereka yang jelas-jelas berada hanya beberapa meter dari tempat Nicholas duduk, yang sedang menikmati teh s**u hangat dengan di kelilingi keponakan-keponakan kecil Emma, dan 2 ekor anak anjing pomeranian kecil berusia 2 bulan—resiko pria itu mendengar semua yang dibicarakan para Bibinya sangat besar. Apalagi,  sekumpulan wanita yang – sayangnya – harus diakui Emma sebagai kerabat paling dekat semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia itu, sama sekali tidak melepaskan pandangan mereka dari Nicholas. Dan Emma tahu hapal betul gerak-gerik Nicholas. Pria itu jelas menyadari ia sedang menjadi topik pembicaraan, tapi berpura-pura tidak tahu.             “Jadi, katakan pada kami, Em. Berapa persen kemungkinan kau akan menjadi Nyonya Wood?” Bibi Gracia, kembali memulai pembicaraan yang kelewat konyol dibanding semua topik pembicaraan yang pernah ia mulai untuk membicarakan Emma sebagai topik utamanya.             “Bibi, sudah berapa kali kubilang kalau kata-kata yang keluar dari mulutmu itu bisa berubah menjadi bom pancingan yang sangat menakutkan saat kau mengatakannya di situasi seperti ini?” Emma memijit-mijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing.             Ashley, kakak sepupunya yang sedang mengandung anak ke-tiganya lalu menyahuti, “Ada pepatah yang mengatakan kalau kata-kata yang kita ucapkan bisa menjadi doa. Tidak menutup kemungkinan, pertanyaan Bibi Gracia yang terkesan mengada-ada itu bisa menjadi anugerah untukmu, Em. Siapa yang akan menolak Nicholas Wood di dunia ini?” Ashley segera tertawa begitu Emma melotot kepadanya.             “Ash, kau menyebalkan.” Emma menunjukkan kepalan tangannya, dan berakting seolah-olah akan meninju wanita berambut pirang itu. “Aku tidak mengerti, kenapa Pete memilihmu menjadi istrinya.” Emma membicarakan suami Ashley, Pete. Kakak kelas Emma di SMA dulu, yang terkenal paling pintar dan memiliki latar belakang keluarga yang mengesankan. Belum lagi wajahnya adalah tipe wajah 11:12 dengan Nicholas—tipe kesukaan para wanita yang memiliki selera kelas atas.             “Aku tidak tahu. Tanyakan saja padanya, dia yang lebih dulu jatuh cinta padaku.” Ashley tertawa, menunjukkan kedua gigi gingsulnya yang membuatnya semakin terlihat manis. “Lebih baik kau segera menyelamatkan pria itu sebelum keponakanmu yang lain ikut mengerubungi dan menyusahkannya.”             Emma berdecak kesal. Ia menaruh cangkir teh susunya yang belum habis di atas meja, lalu meninggalkan kerumunan para Bibinya yang mengamati pergerakan Emma dari belakang saat wanita itu mulai mendekati Nicholas. Emma duduk di pinggiran dahan sofa di samping Nicholas. Pria itu segera mengalihkan perhatiannya pada Emma, di detik yang sama Emma menolehkan kepala padanya. “Maaf, kalau keponakanku terlalu berisik.”             “Berisik? Mereka menyenangkan, Em. Seharusnya kau ajak saja mereka bermain di mansion, ada banyak tempat menyenangkan bagi mereka di sana.”             Emma berdeham keras. Keponakan-keponakannya mengirimkan pandangan mata yang berbinar penuh pada Emma. “Jangan harap aku membawa kalian ke sana. Sekarang bersihkan sisa-sisa makanan kalian, atau aku tidak akan memberikan angpau.”             “Angpau?” Nicholas mengernyitkan dahinya.             “Aku memakai istilah itu karena memang terasa seperti angpau sungguhan. Setiap ada acara keluarga seperti ini, aku terbiasa memberikan uang saku kepada mereka.”             “Di luar dugaan, kau baik juga, Em.” Nicholas mulai menggoda Emma lagi, dan wanita itu benar-benar mudah dipancing olehnya.             “Jadi maksudmu, aku terlihat seperti seseorang yang jahat?” Emma melayangkan beberapa cubitan di lengan Nicholas, yang sontak mengaduh kesakitan memohon diselamatkan oleh siapapun yang melihat adegan itu.             Bibi Gracia tiba-tiba bergabung, lalu menghentikan aksi Emma. “Berhenti, Emma. Jangan sampai pengacaranya menuntutmu atas dugaan tindak kekerasan,” candanya, sambil menepuk-nepuk kepala Emma. “Maafkan dia. Tidak ada satupun dari kami yang tahan dengan cubitannya. Semoga itu tidak berbekas.”             “Jangan bicara seolah-olah kau lebih sayang pada Nicholas daripada aku, Bibi.” Emma memprotes, sambil menatap sinis Nicholas yang sedang mengunyah sekeping biskuit coklat yang dibawakan oleh Bibi Gracia. Wanita paruh baya itu membawakannya beberapa keping biskuit yang baru ia keluarkan dari oven.             “Bukan salahku kalau Bibimu yang cantik ini lebih sayang padaku, Em.” Nicholas menjulurkan lidahnya seperti anak kecil. “Ini enak. Aku akan berubah menjadi pria gemuk yang bahagia jika memilikimu sebagai istriku, Gracia.” Nicholas mengedipkan sebelah matanya pada Bibi Gracia, dan disambut gelak tawa Bibi Gracia dan bibi-bibi Emma yang lain.             Emma menunjukkan ekspresi wajah seolah ingin muntah. “Jangan terbawa rayuannya, Bi. Ini bukan kali pertama dia melakukan itu. Dia seorang perayu ulung.”             “Oh? Dan apakah keponakan kesayanganku ini salah satunya?” Bibi Gracia merangkul pundak Emma, sambil menatap penuh arti pada Nicholas.             “Keponakanmu pengecualian, Gracia. Aku bukan sekedar merayunya, tapi aku sungguh-sungguh—sayangnya, Emma tidak merasakan perasaan yang sama denganku.” Nicholas sukses mengatakan hal yang membuat kepala Emma mendadak sakit luar biasa seperti dipukul palu raksasa.             “Nic!” Emma membentak melalui bisikan dan tatapan matanya yang mengancam pada Nicholas. Tapi pria itu tampak menikmati reaksi yang ditunjukkan oleh keluarga Emma. “Kau akan mendapatkan masalah setelah ini,” desis Emma, ketika bibi-bibinya mulai bersorak-sorai di belakang punggungnya. ***             “Terima kasih sudah membawaku ke acara keluargamu, Em,” ujar Nicholas, bersamaan dengan Emma yang meletakkan segelas air putih dingin di hadapannya. Mereka baru saja sampai di mansion, dan langsung duduk bersama di dapur karena Nicholas yang tiba-tiba merasa lapar dan meminta Emma membuatkan pasta keju untuknya. Sekarang, Pria itu sedang duduk menunggu di sebuah meja bundar kecil yang diletakkan di samping jendela segi empat dari kayu, sementara Emma sedang mencari satu persatu bahan pasta di dalam kulkas.             Meskipun mansion ini sangat luas, dapurnya dirancang dengan desain layaknya dapur rumahan yang tidak terlalu besar namun memiliki peralatan memasak yang lengkap. Ini karena Ibu Nicholas sangat menyukai memasak. Jadi dapur yang semula memiliki luas hampir sama dengan kolam renang di hotel megah, di desain ulang dengan perabotan yang memisahkan satu ruangan menjadi dua ruangan yang terpisah; dapur dan deretan lemari yang berisi bermacam-macam bibit bunga tiap musim, dan bahan-bahan makanan berupa bumbu-bumbu atau bubuk teh dan kopi.             Dengan luas dapur ini, Nicholas dan keluarganya tidak membutuhkan banyak koki untuk dipekerjakan, dan Emma merasa seperti sedang memasak di rumah sendiri. Ia sudah terbiasa memasak di di sana.             “Sama-sama. Semoga kau tidak menyesal sudah datang ke sana. Bibi-bibiku tampak sangat menyukaimu, bahkan keponakan-keponakanku. Jangan heran kalau kau akan di undang di acara-acara keluarga selanjutnya jika saat itu aku masih bekerja padamu.”             “Aku akan dengan senang hati datang ke acara keluargamu, Em. Di keluargaku tidak ada rutinitas kumpul keluarga semenjak ayahku memutuskan lebih serius berkecimpung di dunia politik.”             Nicholas mengatakan itu dengan nada bicara yang mengesankan kalau ia sudah terbiasa dengan keadaan keluarganya seperti itu. Terlahir di antara uang yang bergelimang, sepertinya tidak menjamin seseorang mendapatkan semuanya. Saat mendengar perkataan Nicholas, Emma merasakan sedikit simpati untuk pria itu. Ia bisa membayangkan betapa besar rasa sepi yang dirasakan di dalam diri pria itu, dan mungkin saja sejak kecil pria itu harus membiasakan diri untuk meredam rasa kesepiannya.             “Kabar buruk. Kita kehabisan keju, Nic,” kata Emma, sekaligus mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana kalau aku memasakkan pasta tomat untukmu?”             “Pasta tanpa keju? Aku tidak mau. Bagaimana dengan roti bakar?”             “Biar kulihat...” Emma membuka lemari makanan tempat para koki di mansion menyimpan berbungkus-bungkus biskuit dan roti kering. Kedua mata abu-abunya berkilat seperti kucing saat melihat satu bungkus terakhir roti ditumpuk di atas susunan rak teratas lemari yang dipenuhi biskuit coklat. “Aku menemukannya.” Emma mulai berjinjit, berusaha meraih bungkusan roti itu sebelum Nicholas mengejutkannya dengan tiba-tiba berdiri tepat di belakangnya.             “Apakah tinggi badan tidak termasuk dalam syarat menjadi pasukan keamanan khusus?” tanya Nicholas, dengan nada mengejek, saat ia mengoper bungkusan roti yang ia ambil dengan mudah dari lemari ke tangan Emma. Mereka berdua berdiri berhadapan, dengan Emma yang harus mendongakkan kepalanya ke atas untuk bisa menatap Nicholas. “Kau tanpa sepatu but hak tinggimu itu, ternyata sangat—mungil.”             “Memangnya ada yang salah dengan itu?” sungut Emma.             “No. Your body is perfectly fit for me to lift you up and take you to my room easily.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN