9. Di Rumah

2509 Kata
Membuka pintu rumahnya sepelan mungkin, Bianca berusaha agar tidak mengeluarkan suara sedikitpun, termasuk decitan pintu. Setelah pintu tertutup dengan baik, Bianca hendak berbalik sebelum suara berat menahan pergerakannya. "Habis dari mana?" Mampus. Itu ayah. Ayah Bianca adalah ayah yang baik, pengertian, dan penyayang. Namun tetap saja, beliau adalah orang yang sangat disiplin dan protektif. Bianca adalah anak bungsu, yang paling dijaga, tapi sekarang gadis itu justru pulang larut tanpa memberi kabar. "Kenapa pulang? Masih inget rumah kamu?" Ayah sudah masuk mode tegas dan wajahnya nampak sangat tidak mengenakan. Bianca menunduk menahan air matanya agar tidak keluar. Bilang bahwa dia cengeng, ia akui itu. Tapi aura mengintimidasi dari ayah benar-benar sekuat itu. "A-anu, ma-maaf, yah. Tadi Bianca main dulu ke rumah Va-vanesh." Sekali lagi, Bianca berbohong hari ini. Sejujurnya Bianca merasa sangat berdosa telah berbohong kepada dua orang terpenting dalam hidupnya hari ini. Bu Jelita guru sejarahnya, dan ayah. Bianca lahir sebagai anak bungsu dikeluarganya. Ia berasal dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kedisiplinan. Bianca hidup dalam keluarga berpendidikan tinggi. Itu sebabnya ia masih terlihat sangat polos dibandingkan anak seusianya. Ditambah dengan perannya sebagai anak bungsu, tentu saja ia sangat disayang dan dilindungi terutama oleh ayahnya, membuat Bianca harus terus mengabari dan dalam pengawasannya, mereka cukup posesif. Bianca selalu diajarkan untuk tidak berbohong dan selalu terbuka pada siapapun terutama keluarga. Namun sekarang ia sudah dua kali melanggar ajaran yang ditetapkan keluarganya. Bianca tidak pernah berbohong dari kecil, hanya semenjak masuk SMA ia mulai nakal, berbohong pun ia takut. "Vanesha? Kenapa ngga bilang dulu ke ayah atau bunda? Kakak kamu? Abang? Kalo kamu ngga mau ngabarin ayah bunda setidaknya kamu kabarin kakak dan abangmu. Jangan bikin rumah heboh." Ayah dulu bercita-cita menjadi seorang jendral sebelum akhirnya banting stir menjadi pebisnis sukses. Makanya ayah selalu bersikap tegas dan menanam kedisiplinan dalam jiwa anak-anaknya. Itu dilakukan agar semua anaknya bisa sukses dan berhasil menjalani hidup mereka masing-masing. Ditambah dengan julukan keluarga berpendidikan tinggi membuat ayah semakin menjaga tingkah laku semua anaknya baik diluar atau di di dalam rumah. Sulit memang, dan terkadang Bianca juga muak dengan semua peraturan di rumahnya. Tapi, iya bisa apa? Toh semua itu dilakukan demi kebaikannya. "I-iya, tadi Anca kira ngga bakal lama, tau-taunya kebablasan." Wahh, Bianca sudah cocok jadi pakar pembohong ini. Ia mahir dalam berbohong. Lihat saja, ayah bahkan tidak curiga sedikitpun dan hanya menghela napas kasar. "BIANCA?! Ya ampun anak bunda. Kamu kemana aja? Kenapa baru pulang jam segini? Kamu gapapa kan?" Bunda datang dari arah dapur dan langsung memeluk erat anak gadisnya sebelum memutar badan Bianca memastikan anak itu baik-baik saja bersih tanpa luka. Syukurlah bunda muncul, jadi Bianca tidak terkena omelan tajam ayah. Bianca tersenyum manis melihat bunda sebegitu paniknya. "Ngga papa bunda. I'm good. Look, there's no wound. Everything is fine." Bunda menghela napas lega, "Oh, thank good, kamu pulang dengan selamat. Lain kali jangan pulang selarut ini ya, Nca. Kamu tau sepanik apa ayah sama bunda tadi?" Bianca terkekeh pelan. "Iya bunda. Bianca ngga akan gitu lagi, i promise." Tersenyum lembut, bunda kembali memeluk Bianca, memberi kehangatannya pada gadis bungsu ini. Ayah hanya tersenyum melihat ibu anak yang sangat lengket itu. Bianca bersyukur ia terlahir dalam keluarga ini. Hidupnya baik, hampir sempurna dan jauh dari kata broken home. Walau terkadang Bianca juga merasa terbebani atas sikap posesif keluarganya terutama ayah dan bunda, Bianca bahagia karena itu tandanya mereka sangat menyayanginya. Memang terkadang menyebalkan, ia tidak bisa bebas kemanapun yang ia mau, tapi ia senang karena keluarga bisa membuatnya nyaman berada di rumah seharian. Keluarganya masih utuh, lengkap. Ayah yang tegas namun penyayang, bunda yang lembut dan penuh kasih sayang, kakak yang cerewet namun selalu menjadi tempat curhat terbaik baginya, dan Abang yang sangat menyebalkan dengan sifat usilnya namun sangat menjaga dan melindungi Bianca, memberi apapun yang adiknya itu inginkan, sangat menjaga Bianca dari cowo-cowo tidak baik diluar sana. Bianca bersyukur keluarganya bisa sepeduli ini dengannya. Hanya sifat posesif merekalah masalahnya. Bianca tidak begitu bisa menikmati dunia luar karena mereka, namun itu tidak membuat Bianca ketinggalan zaman atau kudet. Bianca sangat populer di sosial media, tapi pastinya dengan pengawasan orang tuanya. Keluarga mana sih yang sempurna? Tidak ada. Dan kekurangan keluarga Bianca hanya itu, posesif. Selebihnya, tidak ada, itu semua kelebihan. Bunda melepas pelukannya dan mengusap pipi Bianca lembut. "Naik gih, bunda ada hadiah buat kamu di kamar." Dengan mata berbinar dan perasaan bahagia, Bianca segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Hadiah yang diberikan orang tuanya selalu tidak terduga. Memegang kenop pintu sambil mengatur napasnya. Menetralkan jantung dan mengontrol mimik wajahnya, Bianca mendorong pintu itu dan masuk ke dalam kamarnya. Betapa kagetnya Bianca mendapati seorang perempuan sedang berdiri sambil melihat-lihat figuran di meja belajarnya dengan senyum manis menghiasi wajahnya yang cantik dan dewasa. Menyadari kehadiran Bianca, senyum perempuan itu semakin merekah. Segera ia meletakan figuran berwarna biru itu pada tempatnya dan mendatangi Bianca yang masih diam di depan pintu. "Surprise..." Dengan cepat perempuan itu menarik Bianca ke dalam pelukannya. Mengelus rambutnya pelan dan lembut. Bianca lahir dalam keluarga penuh lemah lembut. "Be-bella? Bella kan ini?" Melepas pelukannya, cewe yang disebut Bella itu menjitak kepala Bianca kencang. "Ya menurut Lo aja anjir. Siapa lagi yang bisa ngangetin Lo selain Bella hm?" Bianca terkekeh pelan dan balas menjitak kepala Bella, "najis. Masih aja kepedean Lo." Kedua gadis itu tertawa dan kembali berpelukan, saling menyampaikan kerinduan masing-masing. "Kangen banget gua sama Lo, Nca. Gila aja gua tiga tahun ngga ketemu sama Lo, denger suara Lo pun ngga." "Gua juga kangen sama Lo, kak." Bellaria Beatrice Garcia. Kakak kandung Bianca, anak pertama dalam keluarga Garcia. Wanita tangguh kebanggaan ayah. Bella sengaja diberi nama Bellaria karena ibu sangat menginginkannya menjadi penari balet, dan itu berhasil terwujud, Bella adalah seorang ballerina yang cukup sukses. Ia memulai karirnya dari masih sangat kecil, dan mulai ikut perlombaan diusia enam tahun. Bella tidak tinggal bersama keluarga Garcia lagi selama delapan tahun terakhir, namun ia selalu menyempatkan diri datang setidaknya dua sampai tiga kali dalam sebulan, hanya saja tiga tahun lalu Bella harus pergi keluar negeri dan menetap disana selama beberapa tahun. Sekarang mungkin sedang libur, karena setau Bianca kakaknya itu akan menghabiskan sepuluh tahun mengelilingi dunia demi penampilannya. Bella adalah gadis pertama yang mampu membuat ayah dan bunda menitikan air mata bahagia. Bella adalah anak pertama yang membuat ayah dan bunda bangga. Perawakan Bella tidak beda jauh dari Bianca. Hanya saja gadis itu terlihat lebih dewasa dan sangat anggun, warna rambutnya pun hitam pekat. Bella adalah jiplakannya ayah, namun sifatnya tidak setegas ayah. Bella juga tidak selembut Bianca, hanya saja kakaknya itu terlalu anggun dalam menghadapi perkelahian atau masalah lainnya. Bella gadis yang tenang. Ia hanya akan diam saat diejek atau dihina, namun ia bisa menutup lawan bicaranya hanya dengan perkataan yang setajam silet, membuat lawannya merasa malu hingga ada yang pergi jauh keluar negeri. Bella tenang, anggun, cerdik, dan menakutkan. Gayanya yang seperti itu membuatnya sangat disegani. Tapi, Bella terlalu ketat dalam menjaga Bianca. Selisih usia mereka sepuluh tahun, dan Bella bisa menjadi bunda kedua saat Bianca sedang membutuhkannya. Bella terlalu keibuan. Melepas pelukan penuh kerinduan itu, Bella yang adalah kakak kandung Bianca terlebih dahulu membaringkan badannya di kasur Bianca yang berukuran sedang. "Lo gua telponin ngga diangkat anjir, sombong banget." Bianca ikut menduduki dirinya di samping sang kakak. "Gua ganti nomer kak. Soalnya hp yang lama ilang ngga tau kemana." Bella menatap adiknya penuh tanda tanya, setahunya Bianca itu teliti, ia tidak mungkin menghilangkan ponselnya begitu saja. "Masa? Bohong kali Lo ah, ko bisa hilang?" "Beneran deh. Hp gua ilang pas keluar bareng bunda, ga tau juga kenapa bisa ilang. Gua sama bunda lagi makan, terus bunda ke kamar mandi cuci tangan, pas bunda masih disono, pesanan kita dipanggil jadi gua langsung ngambil. Eh balik-balik hp udah lenyap." Bella menggelengkan kepala tak habis pikir. Ia lupa bahwa adik bungsunya itu sangat ceroboh. "Lain kali hp nya dibawa. Kalo gitu mulu mah ilang terus hp Lo." Terkekeh pelan, Bianca menatap Bella mengejek. "Lo lupa? Lo selalu ganti hp tiap tahun. Tiap ada keluaran terbaru Lo pasti selalu beli. Lagian disitu posisinya gua mau bawa makanan, yakali magang-megang hp?" "Terserah. Udah ah sono mandi, Lo bau banget buset." Bella ngga bohong, bau bayi dalam diri Bianca agak memudar, dan napasnya bau sambal. Jadi, Bianca langsung ke kamar mandi sambil membanting pintu. Emang kakak kurang ajar, dateng-dateng malah ngatain. *** "Habis dari mana aja kamu?" Seorang pria paruh baya berucap dengan nada dinginnya sambil membaca sebuah buku. Tangannya sesekali mengambil kopi disebelahnya dan diminum sedikit demi sedikit. Merasa tidak mendapat jawaban, pria dengan kaca mata orang tua itu menatap sang anak dingin. "Baru pulang?" "Ngga, aku masih di sekolah. Ya menurut papa?" Mendengar kalimat sarkastik dari mulut anaknya, paruh baya yang diperkirakan sudah berkepala empat itu hanya mengangguk dan kembali meminum kopinya. Matanya tidak menatap sang anak sama sekali, hanya fokus pada bacaan di tangannya. "Udah kan? Aku mau naik, permisi." Pergerakan anak laki-laki itu terhenti saat suara sang ayah kembali menggema diseluruh ruang tamu. "Kenapa pulang? Kenapa ngga tinggal aja kamu di tongkrongan kamu itu? Masih inget punya rumah disini?" Hening. Merasa tidak akan mendapat jawaban, pria paruh baya itu menutup bukunya kencang dan berdiri menatap anaknya nyalang. "Jawab Jonathan. Kamu punya mulut untuk jawab pertanyaan papa." Jonathan, anak dari pria yang sedang marah itu menghela napas lelah. "Kenapa papa peduli? Biasa juga papa bodo amat sama aku kan? Aku pulang atau ngga papa ngga ngurusin. Kenapa tiba-tiba?" "Kalau gitu sekarang papa peduli. Kamu tinggal jawab aja apa susahnya sih?" Jonathan menatap sang ayah kesal lalu berjalan naik menuju kamarnya tanpa peduli apa yang akan terjadi pada ayahnya itu. Sejujurnya hubungan Jonathan dengan sang papa tidak seburuk itu. Jonathan juga hampir sama dengan Bianca, keluarganya cukup harmonis. Hanya saja, Jonathan terlalu muak berada dalam rumah karena papanya terlalu menyuruh-nyuruh. Jonathan anak tunggal, dan yang akan melanjutkan perusahaan papanya ya sudah pasti dirinya. Jonathan suka berbisnis, hanya saja tekanan dari sang ayah membuatnya terlalu malas dan muak. Papa dan Jonathan memang seperti ini, kalau Jonathan melakukan kesalahan, maka bukan hukuman yang di dapat, melainkan beberapa aset pentingnya akan disita. Ayah dan anak itu memang kerap berbicara kasar satu sama lain, sehingga jika ada yang mendengar maka akan mengira mereka tidak dekat atau bermusuhan. Tapi tenang, tidak kok. Papa dan Jonathan baik-baik saja. Papa tidak memiliki masalah apa-apa sama anaknya itu, ia juga tidak begitu memaksa kalau Jonathan memang tidak ingin melanjutkan perusahaannya. Berbeda dengan papa, Jonathan memang memiliki sedikit rahasia. Membanting pintu kamarnya sedikit keras, Jonathan langsung menjatuhkan badan diatas kasur berukuran raksasa yang terdapat di kamarnya. "Baru pulang?" "Anjing." Latah Jonathan saat suara yang sangat familiar muncul tiba-tiba. Membuat Jonathan menatap sang pelaku kesal dan kembali menidurkan badannya sambil sesekali memijat pangkal hidungnya. Kamar Jonathan sedang gelap, hanya lampu tidur yang menyala. Dengan suara yang tiba-tiba muncul seperti tadi tentu saja Jonathan kaget. Christian –orang yang sudah berada di kamar Jonathan bahkan dari lelaki itu belum pulang– menatap sahabatnya itu bingung. Banyak sekali pertanyaan yang ingin keluar dari mulutnya, namun ia tahan karena sempat mendengar pertengkaran ringan dari bawah. "Lo kenapa dah? Baru pulang? Abis dari mana aja Lo?" "Ck, brisik ah. Cape gua." Mengernyitkan dahi, Christian tidak puas jika pertanyaannya tidak dijawab, ia pun kembali bertanya dengan sedikit paksaan. "Cape kenapa dah? Lo ngga ada di basecamp tadi, arena juga ngga. Abis ngapain Lo? Ke club? Tapi Lo ngga bau alkohol." Merasa kesal karena terus ditanyai, Jonathan segera bangkit dan duduk menatap Christian tajam. "Nganterin cewe tadi pulang." Kerutan di dahi Christian semakin nampak. Mengantar seorang gadis pulang? Bukan Jonathan sekali. "Lo ngapain nganterin dia pulang? Ko bisa kenal? Lo ngapain nolongin dia dari anak buah gua? Ampe rela bonyok gitu. Lo ada hubungan cewe sinting itu?" Jonathan semakin memijat pangkal hidungnya cukup keras. Pertanyaan bertubi-tubi yang diberikan Christian membuatnya pening. Ia sangat lelah sekarang, tapi tidak bisa langsung mengistirahatkan badannya ia justru dihadapi pertanyaan aneh dari Christian. "Ck, Lo bacot banget sumpah. Charger-in hp gua nih, mati." Christian tidak menerima ponsel Jonathan melainkan melemparkannya powerbank hitam dengan asal hingga hampir mengenai sudut bibir cowo itu yang sudah luka. "Lo belom jawab pertanyaan gua. Hubungan Lo sama dia apa?" "Ngga ada apa-apa. Gua cuman ngga sengaja ketemu aja di jalan, gua ngga kenal anak buah Lo yang itu, jadi gua tolongin. Karena anaknya rese, gua anter dia ampe rumah." Christian mengangguk paham. Netranya menatap luka lebam di wajah Jonathan yang hampir kering. "Itu muka Lo ngga diobatin apa?" "Oh?" Jonathan memegang ujung bibirnya singkat, rasanya tidak sakit, hanya sedikit perih. "Ngga. Dia juga ngga ada niatan ngobatin tadi. Lagian luka beginian doang didiemin seminggu juga beres." Kembali menganggukan kepalanya, Christian justru dibuat semakin bingung dengan temannya yang asik menatap layar ponsel sedangkan tangannya tidak bergerak. Jonathan cuman ngeliatin ponselnya. "Lo ngeliatin apaan sih?" "Nunggu." "Nunggu? Nunggu apaan dah? Kalo ngomong yang jelas, gua pites juga Lo." Geram, tentu saja. Dari tadi hanya Christian yang mengoceh, sedangkan Jonathan hanya menjawab seadanya. "Nunggu chat dari cewe tadi. Harusnya sih gua udah dapet chatnya dari beberapa jam lalu." Christian melongo. Jonathan benar-benar sudah gila. * *** * "Lo ngapain masuk? Sono pergi, gua ngga butuh bantuan Lo disini." Bianca hampir terlelap, tapi terganggu karena Jonathan yang tiba-tiba menarik kursi di samping ranjangnya. "Emang ngga boleh? Ini UKS, gua bebas mau keluar masuk disini. Lo butuh atau ngga, ya gua ga peduli." Bianca jengkel setengah mati saat Jonathan melipat tangannya di depan d**a angkuh dan memberinya senyum remeh. "Keluar. Lo menggangu banget." Semakin menarik sudut bibirnya membentuk senyuman miring, Jonathan hanya menatap Bianca yang sudah tidur membelakanginya. "Kalo ngomong biasain ngeliat lawan bicaranya ya, nyonya. Lo ngga sopan." Bianca berbalik dan menatap tajam Jonathan, ia tidur miring menghadap langsung ke lelaki itu, membuat Jonathan semakin menyungging senyum melihat bibir mengerucut Bianca dan pipinya tertekan sebelah. "Gua ngga perlu sopan sama Lo." Jonathan langsung pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Itu membuat Bianca bersyukur. Ia menatap langit-langit UKS yang putih bersih dan mengerutkan hidungnya saat bau obat sedikit tercium. Namun selang beberapa menit, Jonathan kembali lagi dengan membawa dua tas berbeda warna. Salah satunya tas Bianca. "Heh ngapain Lo?" Segera pemilik tas itu berdiri dan merebut tasnya dari tangan Jonathan. Apa-apaan laki-laki ini. "Mau nyuri Lo ya?" Jonathan mendecak malas mendengar tuduhan tak beralasan Bianca. Dia sudah hidup mewah sejak kecil, bahkan pemilik sekolah ini adalah kakeknya, kenapa ia mencuri? "Gausah gila." Merampas lagi tas Bianca, Jonathan mengeluarkan sagu buku Bianca yang berwarna warni lalu merobeknya. "Lo ngapain gila?" Tanpa mendengarkan Omelan Bianca, Jonathan segera mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu disana, lalu memasukkan robekan kertas itu di kotak pencil Bianca. "Jangan lupa telpon." Berdiri dan pergi meninggalkan Bianca yang diam karena kaget, Jonathan kembali masuk dan mengelus puncak kepala Bianca pelan, "jangan bengong. Gua pergi sekarang, tidur yang nyenyak, Bianca." Sungguh Bianca merinding saat namanya disebut dengan lengkap oleh Jonathan dengan nada yang sangat menyeramkan. Cowo itu sudah pergi entah kemana, meninggalkan Bianca dengan segara pikiran buruknya. 'Apa hari-hari tenang gua di sekolah ini, bakalan... Selesai?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN