Setelah makan di stan Pecel Lele, Jonathan dan Bianca melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Hari mulai gelap, itu membuat Bianca takut. Jonathan yang sadar ketakutan gadis itu segera menarik tangannya dan melingkarkan tangan putih Bianca di pinggangnya.
Bianca? Tentu saja kaget. Ia ingin menarik kembali tangannya sebelum suara Jonathan membuatnya berhenti. "Udah diem aja, Lo takut kan? Gua ngga akan macem-macem, santai."
Bianca cukup tenang mendengar penuturan Jonathan. Entah kenapa sekarang ia mulai bisa percaya pada lelaki itu.
"Rumah Lo dimana? Deket dari sini?" Tanya Jonathan. Mereka sudah berada di jalan raya dan cukup ramai. Mungkin karena malam ini adalah malam yang indah, dihiasi bintang langit, dan udaranya dingin. Sangat pas untuk berkencan atau sekadar jalan-jalan keluar menikmati hawa malam.
Bianca menggeleng pelan, tapi Jonathan bisa merasakan pergerakan kepala gadis itu di pundaknya. "Ngga, gua gatau daerah sini. Makanya gua takut sama Lo tadi, heheh."
Jonathan menoleh ke arah spion, memperlihatkan Bianca yang sedang terkekeh tidak jelas sambil melihat spion juga, melihat dirinya. Dan entah kenapa, Jonathan terlalu larut melihat senyum Bianca mengembang indah di wajahnya. Membuat lelaki itu hilang fokus pada jalanan dan oleng, untung ia adalah pemotor yang handal, jadi mereka tidak sampai jatuh.
"Lo hati-hati dong! Kalo kita jatoh gimana, hah?" Marah Bianca, merasa masih belum puas memarahi Jonathan, Bianca mencubit kencang pinggang lelaki itu hingga ia mengaduh sakit. "Sakit anjing!"
"Heh! Mulutnya." Bianca ngga kaget lagi mendengar ucapan kasar itu meluncur bebas dari mulut seorang Jonathan Alexander. Tapi Bianca tidak biasa nendengar perkataan kasar seperti itu ditujukan langsung ke dirinya, maka dari itu ia menegur Jonathan, setidaknya laki-laki ini ngga akan berbicara kasar padanya.
Jonathan memutar bola matanya malas. Ngomong anjing doang padahal. "Ck, iya-iya. Jadi ini gimana? Gua juga ngga tau ini dimana."
"Lah Lo ngapain bawa gua kesini dong? Lo gimana si ah? Harusnya jangan asal bawa-bawa anak orang pergi, udah ngga tau lagi ini dimana, gila Lo ya?!" Kesal, pasti. Bianca kesal sekaligus takut, takut kalau mereka sudah pergi terlalu jauh, takut keluarganya khawatir mencari dirinya.
Sekarang sudah sangat malam dan dingin. Bianca kedinginan.
Jonathan sempat menoleh ke spion kala gadis itu menarik tangannya lepas dari pinggang dan melihat Bianca yang memeluk dirinya sendiri sambil mengusap lengan atasnya sibuk memberi kehangatan pada dirinya. Dan untunglah Jonathan itu peka, ia segera menepikan motornya disebelah taman dan turun, membuat Bianca menatapnya dengan pandangan bertanya dan sayu. Sepertinya gadis itu sudah lelah, padahal dia baru saja bangun dan makan.
"Kenapa? Ko berhenti? Ini dimana deh? Jangan bilang Lo mau ninggalin gua disini terus kabur? Lo ngga mau buang gua kan? Atau Lo mau apa-apain gua lagi? Heeh?"
"Berisik, gua ngga akan ninggalin Lo atau ngapa-ngapain Lo, tenang aja. Gua juga ngga napsu sama badan Lo ini, kerempeng."
Benci. Bianca paling tidak suka badannya dihina. Jadi ia memutuskan diam dengan pandangan datar melihat Jonathan yang mulai melepas jaket denimnya.
Bianca hampir saja berteriak saat Jonathan mulai mendekat, namun untungnya laki-laki itu lebih cepat menutup mulutnya.
"Ga usah takut, bentar." Jonathan kembali mendekat, memasangkan jaket denimnya ke belakang tubuh gadis cantik itu. Bianca hanya diam dan membiarkan Jonathan bertindak semaunya, toh sekarang dia percaya Jonathan benar-benar tidak napsu dengan badannya.
Setelah jaket denimnya terpasang dengan baik di pundak Bianca, bukannya langsung menjauh Jonathan justru tetap pada posisinya memperhatikan wajah Bianca dari dekat. Kulit putih mulus seperti s**u yang sedikit orang Indonesia punya, mata besar yang berkilau, bulu mata hitam yang lentik membuat matanya semakin mempesona, hidung mancung yang mungil dan bibir dengan warna merah alami sedikit tipis dan mungil pastinya.
Cantik. Jonathan terpesona.
Dilihat dari dekat seperti ini, Bianca justru terlihat semakin cantik bagi Jonathan, ia memiliki aura anak kecil yang positif dan ceria, badannya yang serba mungil namun tidak pendek memberi daya tarik tersendiri.
Bianca susah bernapas sedari tadi, ia merasa gugup dan jantungnya berpacu cepat. Posisi mereka terlalu dekat, ini tidak bagus, tapi Bianca juga tidak bisa menjauh seolah ada sesuatu yang menahannya. Bahkan napas hangat Jonathan menerpa wajahnya dengan halus. Jonathan juga bisa merasakan hangatnya napas Bianca, hal itu membuatnya semakin mendekatkan diri.
Sama halnya dengan Jonathan, gadis mungil itu mulai memperhatikan wajah Jonathan dengan kagum. Mata yang tajam namun lembut, hidung mancung tapi tidak mekar, bibir tebal menggoda namun sayang sering mengeluarkan kata-kata tidak patut, dan rahang yang tegas. Pahatan-pahatan pada wajahnya sangat sempurna, laki-laki di hadapannya ini tidak seperti manusia, ia lebih terlihat seperti karakter manga yang keluar dari komik. Jonathan adalah definisi sempurna yang sesungguhnya.
Bagi Bianca, Jonathan terlihat tidak nyata, begitupun dengan Jonathan. Bagi Bianca, Jonathan terlalu sempurna, seperti karakter-karakter di dunia fiksi, sedangkan bagi Jonathan, Bianca benar-benar seperti gadis yang ada dalam imajinasinya, terlalu mustahil jika ada di dunia nyata.
Hening, dua manusia beda kelamin itu masih sibuk mengagumi wajah satu sama lain. Udara semakin dingin namun suasana antara mereka berdua menghangat. Rambut Bianca yang memang tergerai dan berterbangan tertiup angin menambah kesan imut pada dirinya, tatapan lembut yang keluar dari mata Jonathan menambah kesan seksi.
Tangan Jonathan terulur menyingkirkan helaian-helaian rambut Bianca yang menutupi wajah cantiknya. Dan hal itu sontak membuat Bianca menahan napas. Beberapa senti lagi hidup mereka akan bersentuhan, namun tak ada satupun dari mereka yang berniat berhenti atau menjauhkan diri. Mereka sama-sama menikmati wajah masing-masing.
"Kak, bola aku tolong ambilin dong."
Seorang anak kecil datang sambil berteriak, membuat dua sejoli itu tersadar dan mulai menjauhkan diri. Sama-sama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mereka canggung.
"Oh? E-eh, ini bola kamu." Bianca mengambil bola berwarna hitam-putih yang tepat berada di kakinya. Menyamakan dirinya agar sejajar dengan anak laki-laki itu, Bianca menumpukan dirinya pada lutut, lalu memberikan bola itu padanya.
"Makasih ya kak." Ucap anak itu. Bianca tersenyum manis dan mengangguk, mengusap pipi anak itu lembut, "nama kamu siapa?"
Anak kecil itu mengedipkan matanya dengan cepat, terkejut, mungkin juga takut. Bianca terkekeh pelan lalu mencubit lembut pipi gembul anak itu. "Kakak orang baik ko, tenang aja. Nama kakak Bianca, nama kamu siapa?" Bianca mengulurkan tangannya masih dengan senyum yang mengembang.
Melihat tangan dan wajah Bianca secara bergantian, anak itu mulai tersenyum dan membalas uluran tangan Bianca. "Aku Andre, kak." Jawabnya riang, membuat Bianca semakin gemas.
"Kamu ngapain disini? Udah malem lho. Orang tua kamu mana?"
"Aku bareng temen-temen aku, kak. Main bola. Tadi kesini bareng papa, terus papa ngobrol sama temennya. Itu mereka disana." Andre menunjukan dimana ada beberapa anak laki-laki sedang menunggunya dan beberapa bapak-bapak yang lagi asik mengobrol.
Bianca tersenyum manis, ia kembali mengusap kepala Andre penuh sayang, ia sangat menyukai anak kecil, apa lagi yang menggemaskan dan pintar seperti Andre ini. "Lain kali mainnya agak ke-tengahan ya, nanti kalo bolanya ke jalan raya gimana? Kan bahaya."
Andre menunduk, mungkin menyesal atau justru takut, tapi anak itu tidak menangis dan tidak membantah, ia hanya mengangguk dengan kepala menunduk.
Tertawa pelan, Bianca mengusap puncak kepala Andre dengan sayang. "Yaudah main lagi sana, kasian tuh temennya udah pada nungguin."
Dengan cepat Andre mendongak dan menatap Bianca, senyum di wajahnya mengembang dan matanya berbinar, entah karena apa. Dan tanpa aba-aba, anak kecil itu tiba-tiba memeluk Bianca, mengalungkan tangannya pada leher jenjang Bianca.
"Kenapa, Andre? Kamu lagi berantem? Kamu ada masalah?" Tanya Bianca khawatir. Ia kaget dengan aksi Andre yang tida-tiba begitu. Namun untung lah gelengan kepala anak itu langsung bisa menenangkan hati Bianca.
"Engga kak, Andre udah lama ga denger ucapan kaya gitu semenjak mama meninggal. Kakak jadi bikin Andre inget sama mama lagi." Tidak menangis memang, tapi Bianca bisa mendengar kesedihan dalam nada bicara anak itu. Kalimat yang sangat memilukan.
Bianca mengelus belakang kepala Andre dan menepuk-nepuk punggung anak itu, berusaha menenangkannya. Namun, semakin ditenangkan, Andre justru menangis. Ia tidak sesegukan, tapi Bianca bisa merasakan basah dibagian pundaknya.
"Lho, Andre kenapa hm? Ko nangis? Aku ada salah ngomong?" Bianca kembali bertanya dengan lembut. Suaranya yang memang sangat sangat lembut dan halus membuatnya terdengar sangat penuh kasih sayang.
Andre menggeleng, lalu melepas pelukannya dan mengusap pipinya kasar. Dengan cepat Bianca menghentikan aksi anak itu dan menghapus air matanya dengan tangannya sendiri. "Andre, hiks, nangis, papa juga nangis nanti, hiks."
"Jangan digosok gitu, nanti pipinya sakit. Sini aku aja." Setelah menghapus dan memastikan air mata Andre tidak keluar lagi, Bianca memegang bahu Andre dan menatapnya lembut namun dalam.
"Jangan nangis, oke? Kan masih ada papa. Nanti kalo Andre sedih papa juga ikutan sedih. Kalo Andre sedih, pengen banget nangis, Andre berdoa aja sama Tuhan ditempat yang sepi, biar lega. Pasti abis itu Andre bakal seneng lagi, nanti Andre gantian yang hibur papa. Okay? Andre harus kuat, biar mama bangga sama Andre di atas sana."
Jonathan tertegun mendengar penuturan Bianca, bukan untuk dirinya, tapi perkataan gadis itu barusan sangat kena ke hatinya. Walau keluarganya masih lengkap, ia bisa merasakan kesedihan anak itu hanya karena ucapan Bianca. Sedangkan Andre hanya mengangguk dan tersenyum, sangat lucu.
"Yaudah, main lagi sana. Mainnya baik-baik, jangan berantem. Andre jangan nangis lagi oke? Sedih boleh, nangis juga boleh, tapi jangan berlarut sama kesedihan itu, ya? Sana, nanti papa khawatir lho."
Andre mangangguk, kembali memeluk Bianca sebagai tanda perpisahan, sebelum anak itu benar-benar lari dan kembali bermain bola bersama teman-temannya. Ia juga sempat melambaikan tangan pada Bianca, yang tentu saja dibalas oleh gadis itu.
Bianca berdiri dan mengusap pipinya pelan, ia merasa empati pada Andre, anak sekecil itu sudah merasakan hal semenyakitkan itu, Bianca bisa merasakan apa yang dirasakan Andre, hingga gadis itu juga ikut mengeluarkan air matanya, walau sedikit dan tidak disadari.
"Lo nangis?" Melihat Bianca yang terus menunduk dan sesekali mengusap wajahnya, Jonathan bisa menyimpulkan bahwa gadis itu menangis, pasti menangis.
Bianca menggeleng pelan, "engga, engga nangis ko, pipi gua gatel banget." Bohong. Siapa saja tau Bianca sedang berbohong. Cewe baik-baik seperti Bianca tidak terbiasa berbohong, dan sekalinya bohong pasti akan sangat terlihat.
Jonathan mengangguk pelan lalu mengelus surai halus Bianca, "jangan nangis, cengeng banget."
Bianca hanya menatap tajam pada laki-laki dihadapannya itu, sebelum memberikan tonjokan pelan pada perutnya, yang pasti tidak ada rasa dibandikan dengan perut kotak-kotak Jonathan. Justru tangan Bianca yang kesakitan.
"Sakit kan. Makanya jangan sok-sokan mau nonjok gua, bisa-bisa tangan Lo yang retak." Jonathan mengelus perutnya sambil tertawa kecil, benar-benar tidak terasa sakit, justru geli.
Tengil.
Bianca langsung bisa memastikan bahwa Jonathan adalah anak yang tengil dengan segudang gaya.
"Udah gece naik. Mau pulang kan Lo?" Baru saja Bianca ingin naik, Jonathan lebih dulu menghentikannya membuat gadis itu ingin meledak. "Apa lagi sih ah?"
Menarik senyum simpul, Jonathan mengulurkan tangannya, membuat dahi mulus Bianca berkerut heran. "Hp Lo, kita buka maps aja, hp gua lowbat makanya dari tadi ngga gua pake."
Bianca mencibir pelan lalu mengeluarkan ponselnya dari saku rok. "Nih, makanya lain kali kalo makan jangan buka hp, kalo keluar jangan main game, atau bawa powerbank gitu, ngerepotin aja. Jangan sampe abis batre."
Jonathan hanya mengangguk tidak peduli, lalu naik ke motor ninja milik Christian. "Lo aja yang megang, ntar kasih tunjuk arahnya sampe deket halte. Kalo udah disitu Lo kasih tau alamat rumah Lo aja, gausah make maps lagi juga bisa."
Lagi-lagi Bianca mencibir sebelum akhirnya mengikuti Jonathan naik ke motornya, masih seperti tadi, Bianca masih berusaha jaga jarak walau akhirnya tetap merosot juga karena jok motor yang memang menurun dan licin.
"Nanti lurus baru ke kanan." Setelah mengucapkan itu, Jonathan menarik gasnya secara tiba-tiba, membuat gadis dibelakangnya terlonjak kaget dan memegang pinggangnya erat. "Pelan-pelan anjir! Yang Lo bawa ini anak orang, bukan karung beras apa lagi manekin!"
Tersenyum simpul, Jonathan semakin menarik gasnya hingga kecepatan mereka benar-benar diluar batas, ini sudah seperti balapan liar.
Bianca yang masih kaget dibuat semakin kaget dengan aksi Jonathan barusan dan langsung aja dia melingkarkan tangannya di pinggang cowo ini, Bianca benar-benar memeluknya sangat erat. Matanya tertutup rapat hingga kerutan muncul disekitarnya, ia sangat takut sekarang, ia sangat jarang naik motor, apa lagi dengan kecepatan seperti ini, malam-malam pula. Rasanya Jonathan sedang mengajaknya bertemu dengan Tuhan.
Dari sini Jonathan tau, Bianca adalah gadis dengan hati yang sangat lembut, gadis terlembut yang ia temui sampai hari ini.
Bianca pintar menenangkan orang dengan kalimat dan suaranya yang halus. Suara Bianca mampu membuat siapa saja merasa tenang dan damai, karena memang sehalus dan selembut itu suara Bianca. Walau galak, suaranya tetap lembut, tidak cempreng atau keras. Tipikal cewe anggun yang sensitif.
***
Jam sudah menunjukan pukul 20.20 teng. Sudah terlalu larut untuk Bianca pulang sekolah tanpa izin.
"Heh, turun. Ini rumah Lo kan?" Jonathan mengguncang tubuhnya membuat Bianca tersadar namun ia masih belum beranjak turun dari motor Jonathan.
"Lo ngapain sih? Kenapa bengong? Turun gece ah, gua cape ini seharian muter-muter." Sungut Jonathan. Ia memutar badannya dan mendorong Bianca memaksa gadis itu agar segera turun dari motor dan dirinya yang bisa langsung pulang lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ah, ia jadi sangat merindukan kasur empuknya.
Bianca turun dengan sangat terpaksa, namun bukannya masuk gadis itu hanya diam sambil menatap rumahnya diam. Matanya memancarkan ke-khawatiran.
"Lo kenapa deh? Ada yang salah? Ini beneran rumah Lo kan? Apa bukan?"
Bianca menggeleng kemudian menatap Jonathan sambil memaksakan bibirnya agar tersenyum. "Ngga pa-pa ko. Ini bener rumah gua. Lo pulang aja, pasti cape banget kan? Gih dah, pulang sana."
Alis Jonathan terangkat satu, heran dengan gerak-gerik Bianca. "Lo, ngusir gua nih ceritanya? Kasiin air dulu kek, aus banget nih."
Bianca menggeleng heboh, rambutnya bahkan sampai ikut bergoyang ke kanan-kiri. "Nggaa! Lo pulang aja lah, baru abis itu minum yang banyak di rumah, segalon sekalian."
"Kenapa sih? Ngga sopan banget, gua udah nganterin Lo ya."
"Ck, bukannya ngga sopan, udah ah sana pulang."
Jonathan memegang bahu Bianca memaksa gadis itu agar menatap mata tajamnya. "Kenapa? Lo takut mau masuk rumah?"
Bianca menatap mata Jonathan dalam dan diam, menghela napas pelan sebelum mengangguk dan kembali menunduk. "Gua takut kena omel sama mama atau papa, soalnya gua ngga ada ngabarin mereka sama sekali."
Jonathan tersenyum lembut saat tau alasan mengapa gadis ini ragu memasuki rumahnya. Menyingkap rambut Bianca ke belakang, Jonathan berucap, "udah masuk. Lo ngga ngabarin ortu Lo, pasti mereka panik. Tenang aja, mereka ngga akan marah sama Lo, percaya sama gua. Masuk, mandi, tidur. Cepet."
Mengangguk pelan, Bianca kembali menatap Jonathan lekat. "Makasih." Setelah itu ia masuk dengan langkah yakin, membuka pagar hitam dan berdiri di dalam menunggu Jonathan pergi.
"Kenapa? Masuk cepetan, gua nungguin Lo masuk."
"Ck, iya-iya. Hati-hati Lo di jalan, jangan ngebut, makasih untuk hari ini." Dan setelahnya, gadis bersurai cokelat memasuki rumahnya meninggalkan Jonathan yang terdiam mendengar kalimat barusan.
Tersenyum, Jonathan memakai helmnya, menyalakan motor dan pergi dari rumah Bianca.
"Thanks, too."