Hari mulai sore, sudah dua jam lebih Jonathan hanya berputar-putar dengan motor Christian sambil membawa manusia yang tertidur manis di belakangnya.
Capek, pasti. Tapi tidak tega juga, setiap kali berhenti dan berusaha untuk membangunkan Bianca, Jonathan justru merasa bersalah, merasa tidak enak menganggu tidur nyaman gadis itu. Alhasil ia hanya diam memperhatikan wajah tenang Bianca melalui kaca spion sambil sesekali minum kopi s**u, membiarkan tangan Bianca bergerak halus di perutnya, lalu kembali menjalankan motor entah kemana.
Merasa sudah terlalu lelah, Jonathan menghentikan motor besar Christian di depan halte bus. Hampir semua pasang mata menatap Jonathan kala ia membuka helm full face nya. Wajahnya yang tampan bak pangeran mengundang semua perhatian orang-orang yang sedang menunggu. Tidak terlalu ramai karena jam kerja belum selesai, dan tidak sepi juga karena sekarang sudah sore, dan banyak anak-anak seusianya yang keluar sekadar mencari udara segar atau berjalan-jalan ke tempat hiburan.
Bianca masih terlelap dalam tidurnya, entah apa yang diimpikan sampai gadis itu tidak membuka matanya sedikitpun selama dua jam lebih. Mungkin sangat menyenangkan sampai-sampai Bianca tidak terganggu saat Jonathan sengaja menjalankan motornya di jalanan berbatu tadi.
Sebenarnya Jonathan bisa saja meninggalkannya di halte ini atau di tempat lain, Bianca tidak akan sadar, lagi pula bukan urusannya kalau Bianca kenapa-napa. Tapi Jonathan bukan laki-laki yang seperti itu. Walau nakal, Jonathan adalah tipikal cowok yang bertanggung jawab. Ia tidak akan meninggalkan Bianca karena dia sendiri yang ingin mengantar gadis itu pulang. Kalau memang tidak berniat, Jonathan tidak akan menolong Bianca saat ia diganggu para preman tadi. Jonathan juga tidak akan mengantar Bianca seperti sekarang. Tapi karena itu sudah terjadi, dan memang keinginannya sendiri, maka Jonathan akan bertanggung jawab mengantar Bianca selamat sampai rumahnya.
"Woy, bangun, heh." Jonathan mengguncang pelan tangan Bianca yang masih setia memeluk pinggangnya, menggerakkan badannya, berusaha untuk menganggu tidur gadis itu.
Bianca menggeliat pelan, namun kemudian kembali menutup matanya untuk melanjutkan mimpinya. Tapi kali ini Jonathan tidak akan tinggal diam, ia tidak akan merasa bersalah atau kasihan sekarang, bahu dan badannya sudah sangat pegal. Kali ini Jonathan memaju-mundurkan badannya, mengakibatkan tubuh Bianca terhuyung ke belakang kalau saja tangannya tidak di tahan oleh Jonathan.
"Bunda? Hoam... Ini dimana?" Sambil mengucek-ucek matanya, Bianca menguap dan menatap sekitar. Dahinya berkerut bingung merasa asing pada tempatnya sekarang.
"Bangun. Badan gua pegel." Mendengar ucapan sarkas dari bibir Jonathan, kesadaran Bianca kembali sepenuhnya. Mata Bianca terbelalak melihat tangan kirinya memeluk pinggang Jonathan dan dirinya yang duduk begitu dekat, bahkan menempel, pada Jonathan.
"Huaaaaa!"
Teriakan Bianca membuat semua orang disitu terkejut. Ada yang menepuk dadanya karena kaget, ada juga yang menatap Bianca tajam, malahan ada yang dengan terang-terangan mengutuk Bianca karena membuat mereka kaget. Bahkan Jonathan 'pun sama terkejutnya seperti orang-orang itu, ia justru jauh lebih terkejut karena Bianca berteriak tepat di belakangnya sambil mendorong bahunya menjauh.
Tapi Bianca tidak peduli, yang terpenting sekarang, mengapa ia bisa berada di motor Jonathan? Kenapa Bianca bisa bersama Jonathan di tempat yang tidak dikenalinya seperti ini? Apa yang terjadi? Apa yang sudah dilakukan Jonathan padanya? Pikiran-pikiran buruk mulai muncul dan bercabang di otak Bianca. Tidak bisa ditepis. Walau berusaha untuk menenangkan dirinya bahwa tidak terjadi apa-apa, tapi tetap saja, Jonathan ini berandal! Apa saja bisa dilakukan olehnya. Kesan pertama yang buruk membuat Bianca semakin berpikiran negatif.
Dengan gerakan tergesa-gesa, Bianca turun dari motor besar Jonathan. (Read: Christian).
"Lo! Lo! Apa yang udah Lo lakuin ke gua, hah?!" Berteriak. Pertanyaan atau lebih tepatnya tuduhan Bianca mampu menarik perhatian semua orang di halte bus itu. Sekarang, tatapan yang diberikan pada Jonathan mulai berbeda, jika tadi mereka menatapnya kagum dan terpesona, maka sekarang orang-orang menatapnya curiga dan penuh selidik. Ia seperti seorang penjahat sekarang.
Jonathan memperhatikan sekeliling, memberi senyum canggung lalu menatap Bianca tajam. Ia ingin sekali membekap mulut gadis itu, tapi kalau ia melakukannya sekarang, maka orang-orang akan benar-benar menganggapnya penjahat. Jadi yang bisa dilakukan hanya memberi tatapan mematikan berharap agar Bianca mengerti maksudnya.
Tapi ia salah. Seharunya Jonathan sadar bahwa di hadapannya ini bukanlah gadis biasa. Buktinya saja, sekarang gadis itu justru balik menatapnya lebih tajam. "Apa Lo liat-liat? Gua tusuk mata Lo itu ya!"
Jonathan memutar bola matanya malas. Bianca benar-benar sangat tidak peka, dan gadis itu tidak memahami situasi sekarang. Karena ucapannya semakin banyak orang yang memperhatikan mereka, lebih tepatnya gerak-gerik Jonathan.
"Diem dulu, Bianca. Lo tadi ketiduran di motor, terus gua ngga tau rumah Lo dimana, ya jadi gua anter ke halte bus."
"Heh? Lo tau dari mana nama gua?! Gua 'kan ngga ada ngasih tau?!"
Jonathan berdecak malas mendengar Bianca lagi-lagi menuduhnya seperti itu. Oke, Bianca memang sepatutnya bingung karena Jonathan yang mengetahui namanya, tapi tidak sekarang. Bisa 'kan dia bertanya dan menuduhnya nanti-nanti saja? Karena suara nyaring gadis itu semakin menarik perhatian. Bahkan banyak yang mulai terang-terangan mengamati mereka, beberapa orang berdiri di dekat mereka, mungkin ingin memastikan Jonathan tidak akan berbuat macam-macam.
"Ck, diem dulu, okay? Lo bikin orang-orang salah paham, bodoh!" Bisik Jonathan gemas. Ia sedikit mendekatkan wajahnya agar Bianca bisa mendengar suaranya. Tapi respon gadis itu benar-benar tak dapat di tebak.
"Ngapain Lo deket-deket?" Oke, Jonathan benar-benar kesal saat Bianca kembali berteriak kencang. Sekarang beberapa pria mengelilingi mereka, dan bisikan-bisikan tidak mengenakan mulai terdengar.
"Eh, itu cowoknya mau ngapain ya? Sampai si cewek teriak-teriak gitu."
"Ngga tau, orang jahat kali. Liat aja tuh, ceweknya kaya risih gitu sama si cowok."
"Wah, sayang ya, mukanya ganteng tapi suka nyulik perawan."
"Duh, tampangnya orang baik-baik padahal, emang kita ga boleh menilai orang dari covernya."
"Yaah, padahal pengen saya nikahin ke anak saya, jeng. Ngga jadi deh, ntar anak saya kena KDRT atau malah diselingkuhin."
Yang benar saja? Jonathan bahkan masih memakai seragam sekolah yang sama dan persis dengan milik Bianca, kenapa orang-orang masih menganggapnya penjahat? Apa mereka tidak berpikir dulu sebelumnya?
"Ck, Lo diem deh. Ngga liat itu udah pada gosipin kita?"
"Menjauh Lo, menjauh!" Jonathan menggenggam tangan Bianca lumayan kuat, hingga gadis itu semakin histeris. "Maaf ya maaf, ini pacar saya, dia lagi ngambek, heheh."
"Hah? Pacar?! Kenal Lo aja gua, nggak! Jonathan lepas, ih!" Siapa juga yang mau mengaku sebagai pacarnya Bianca? Ini hanya keterpaksaan. Dan untung saja Bianca menyebutkan namanya tadi, jadi pikiran orang-orang yang mengira Jonathan adalah penjahat menghilang, dan para pria yang tadi sempat mengelilinginya pun berpencar. Mereka benar-benar menganggap Bianca adalah pacarnya yang sedang merajuk.
"Naik cepet, gua anter Lo pulang."
Bianca menggeleng keras, bagaimana bisa ia percaya pada Jonathan padahal Jonathan sedang melakukan tindak kekerasan padanya? Pergelangan tangannya bisa patah kalau Jonathan terus menggenggamnya seperti ini. "Ngga, ngga. Lepas! Lepas!"
Jonathan menggeleng dan semakin menguatkan genggamannya, atau lebih tepat cengkraman tangannya. Ia menatap Bianca seperti siap untuk menguliti gadis itu, Bianca bahkan sampai merinding melihatnya. "Naik, atau gua lindes Lo disini?"
Awalnya Bianca tidak percaya, tidak mungkin bukan Jonathan mampu melindasnya di tempat umum seperti ini? Tapi melihat salah satu tangan Jonathan memutar kunci, menghidupkan motor dan mulai memegang stang-nya, Bianca buru-buru mengangguk sebelum Jonathan benar-benar menabrak dan melindasnya.
"Iya-iya gua naik! Lepas ih!" Mau tidak mau Bianca menuruti perintah Jonathan. Ia juga tidak tahu ini dimana, tidak mungkin ia membiarkan Jonathan pergi dan meninggalkannya disini. Bisa-bisa ia hilang.
Niat awalnya Jonathan ingin meninggalkan Bianca di halte dan menyuruh gadis itu untuk pulang sendiri. Tapi karena kejadian barusan tidak memungkinkan Jonathan untuk melakukannya. Kalau ia pergi dan meninggalkan Bianca disini, bagaimana jika gadis itu menangis? Lalu menuduhnya yang tidak-tidak seperti tadi? Apa lagi Bianca masih mengenakan seragam sekolah, dan pasti mudah untuk memulangkannya. Jonathan bisa dipenjara kalau begitu.
"Rumah Lo dimana?" Tanya Jonathan, sudah menjalankan motornya meninggalkan area halte bus.
Bianca tidak menjawab, Jonathan pikir gadis di belakangnya ini masih kesal, ia tidak akan memaksa gadis itu untuk menjawab sekarang. Tapi masalahnya, kalau mereka terus jalan tanpa tau dimana rumah Bianca dan justru semakin jauh, bisa-bisa mereka nyasar.
"Rumah Lo dimana?" Jonathan kembali bertanya dengan nada lebih ketus. Namun karena tak kunjung mendapat jawaban, Jonathan menghentikan motornya mendadak, berniat untuk memarahi Bianca.
"Aduh! Pelan-pelan dong woy! Sengaja ya Lo? Biar gua nempel-nempel sama Lo." Ujar Bianca. Tadi ia sedang memperhatikan sesuatu di sebelah kiri, alhasil wajah bagian kanannya terantuk helm full face Jonathan. Sakit.
"Lo kalau ditanya itu, jawab! Gua ga ngomong sama tembok ya. Kalo Lo mau gua anter, jaga sikap Lo!" Jonathan benar-benar gondok sekarang. Tidak pernah ada satupun cewek yang berani menuduhnya sembarangan, apa lagi sampai harus menanggung malu. Dan Bianca berhasil melakukannya, bahkan pada Christian sekalipun.
Masih tidak mendapat jawaban, Jonathan terpaksa melepas helmnya dan mengesampingkan badan melihat apa yang dilakukan Bianca. Namun, yang Jonathan dapatkan justru wajah gadis itu yang terlihat sangat mupeng(?) Sambil menatap salah satu penjual kaki lima. Fyi, mereka berhenti daerah yang banyak penjual kaki limanya. Semacam tempat yang akan digunakan untuk pasar malam, tapi belum ramai.
"Lo mau?" Bianca hampir loncat karena kaget dengan suara Jonathan yang tiba-tiba. "Hah?"
"Lo mau itu 'kan?" Jonathan menunjuk ke beberapa penjual kaki lima yang menjual kebab, martabak, dan cemilan berat lainnya, "ayo beli."
Bianca mengedipkan matanya bingung. "Ngga usah. Kita langsung pulang aja."
Jonathan menggelengkan kepalanya pelan, gadis itu pasti kelaparan, terlihat dari wajahnya yang lemas dan tatapan matanya yang benar-benar menginginkan jajanan itu.
Kriiuuk...
Senyum simpul terbit di wajah tampan Jonathan saat mendengar suara perut Bianca. Bahkan gadis itu sampai menunduk memegangi perutnya, rambutnya yang setengah dikuncir juga menutupi sebagian wajah Bianca. Jonathan semakin dibuat geli.
"Turun, kita makan dulu."
Bianca menuruti perintah Jonathan untuk turun dari motor dan berjalan beriringan menuju stan makanan yang sedikit besar, tepat di sebelah pedagang kaki lima yang menjual martabak. Toh, lagi pula dia memang sangat kelaparan. Dari pulang sekolah Bianca tidak mengisi perutnya sama sekali, termasuk air, alhasil perutnya kosong sampai sekarang.
Dua orang berbeda kelamin dengan seragam sekolah yang sama duduk berhadapan di dalam stan. Stan ini tidak begitu besar, hanya beratapkan terpal berwarna biru, begitupula pembatas kanan-kiri dan bagian belakangnya. Sedangkan di bagian depan, hanya ditutupi dengan spanduk putih bertuliskan list makanan yang tersedia dan beberapa hewan, seperti ayam, lele, dan bebek.
'PECEL LELE'
'Nasi Goreng • Ayam Penyet • Ayam Bakar • Bebek Bakar • Tahu Tempe • Soto • Dll'
Bianca memanggil mas-mas yang menjaga stan lalu memesan makanan. Karena tahu Jonathan tidak mengerti, jadi Bianca berinisiatif untuk sekalian memesankannya makanan.
"Lo sering kesini? Hapal banget kayanya." Tanya Jonathan. Dirinya sibuk mengamati sekitar, tidak terbiasa.
Bianca menggeleng antusias, "ngga, tapi kadang gua sering kabur makan kesini. Bukan kesini sih sebenarnya, tapi ke tempat makan pecel lele juga."
Jonathan mengangguk paham. Kemudian hening, tidak ada pembicaraan setelah itu. Bianca yang sibuk mengamati mas-mas tadi sedang memasak, dan Jonathan yang bingung ingin melakukan apa. Akhirnya ia terhanyut dalam ponsel pintar yang membosankan. Jonathan suka bermain game, tapi tidak sering, dan ia lebih suka bermain dengan volume suara paling kencang, kalau disini mana bisa. Hpnya penuh dengan chat, pesan, dan DM dari para gadis, tapi Jonathan tidak pernah membacanya, dan selebihnya, tidak ada.
"Ini silakan dinikmati." Bianca menerima dengan girang piring penuh dengan lauk lele dan bebek. Jonathan juga sama, hanya saja ia tidak se-antusias Bianca. Melihat makanannya saja Jonathan sudah tidak selera. Mereka, atau lebih tepatnya Bianca, makan dengan sangat lahap. Berbeda dengan Jonathan yang hanya diam tidak menyentuh makanannya.
Bianca menatap bingung piring Jonathan yang masih utuh, kemudian beralih menatap laki-laki dihadapannya, beberapa kali begitu hingga membuat Jonathan risih.
"Kenapa? Mau?"
Bianca menggeleng pelan, ia memang lapar, tapi tidak rakus. Makanan di piringnya saja belum habis, bagaimana bisa ditambah makanan Jonathan juga.
"Ngga ah. Lo ngga makan? Ga suka?"
Bingung. Jonathan bingung mau jawab apa. Kalau dibilang ga suka, dia 'kan belum pernah makan, gimana bisa tahu suka apa tidak. Kalau bilang alasan sebenarnya, ga enak dong. Itu namanya tidak sopan. Biar berandal begini, Jonathan selalu diajarkan sopan santun oleh orang tuanya.
"Ga pernah makan ditempat begini ya?" Tebak Bianca tepat sasaran. Jonathan memang tidak pernah makan di tempat seperti ini, bahkan melihat stan makan berbentuk seperti ini juga tidak pernah.
Bianca terkekeh pelan melihat reaksi datar Jonathan, tapi gadis itu tahu bahwa Jonathan sedang bingung hendak menjawab apa. Gengsi mungkin?
"Makan aja, enak tau."
"Ga. Ngga selera gua."
"Idih, enak gini kok, dijamin Lo ketagihan deh."
"Ga dibilang. Gua ngga mau makan disini, ga enak."
"Dicobain dulu baru bilang enak apa ngga. Lo makan disini aja ngga pernah, udah sok-sokan bilang ngga enak. Enak kok, nih."
Bianca mengambil paha ayam dari piring Jonathan lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Jonathan. "Makan."
"Apaan sih Lo. Dibilang ngga ya ngga." Tentu saja Jonathan menolak. Ia tidak pernah makan ditempat sembarangan, apa lagi di pinggir jalan seperti ini. Tidak ada menu juga tempat masak yang terlihat, sudah pasti makanan disini tidak bersih.
"Ck, makan aja sih! Enak tau, dicoba dulu. Aaa..."
"Ngga mau, Bianca!" Jonathan membentak. Ia benar-benar kesal karena dipaksa.
Bianca terhenyak. Ia tidak pernah dibentak. Ya pernah sih, tapi Bianca tahu kalau itu hanya bercanda. Sedangkan Jonathan, laki-laki itu terlihat sangat kesal sampai membentaknya.
Melihat mata Bianca yang sedikit memerah dan kepalanya yang mulai menunduk membuat Jonathan merasa sedikit bersalah. Apa keterlaluan? Rasanya tidak, gadis itu saja yang cengeng.
Menghela napas pelan, mau tak mau Jonathan harus menerima suapan Bianca. Kalau tidak gadis itu mungkin akan menangis sebentar lagi, "yaudah mana, gua coba."
Bianca mengangkat kepalanya menatap Jonathan dengan tatapan berbinar-binar, ia kembali menyodorkan paha ayamnya. "Gimana? Enak 'kan?" Bianca bertanya setelah melihat satu gigitan masuk ke mulut Jonathan.
Jonathan mengunyah pelan-pelan, rasa ayam bakar yang menurutnya masih baru menyeruak di dalam mulutnya. Ia tidak pernah merasakan makanan seenak ini. Tapi ia harus tetap diam guna menjaga imagenya. "Biasa aja."
"Ck, Lo mah ngga asik." Bianca kembali sibuk pada makanannya. Diam-diam memerhatikan Jonathan yang mulai makan sedikit demi sedikit, kemudian menjadi sangat lahap.
"Bilang aja doyan, gengsi amat."