Bianca memeluk tas sekolahnya dengan sangat erat, seolah jika terlepas sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan nyatanya memang iya.
Dihadapannya sekarang berdiri dua orang pria berbadan besar dengan wajah yang sangar, beberapa luka dan bekas sayatan menambah kesan menyeramkan pada kedua orang itu. Preman.
Bianca menoleh kesana kemari, melihat ke seluruh arah untuk mencari jalan keluar. Tapi tidak, dirinya sudah terpojok sekarang. Jalan ini buntu, dan entah kenapa Bianca tadi berbelok kesini. Di sekelilingnya kosong dan sepi.
"Woy! Diem aja!" Tersentak kaget, genggaman pada tas merahnya semakin mengerat.
"Ke-kenapa, b-bang?" Tanya Bianca takut. Tubuhnya berkeringat.
"Kenapa-kenapa. Siniin tas lo!" Bentak preman yang lebih tinggi. Tangannya diulurkan seolah-olah meminta sesuatu. Pakaiannya yang ketat dan tanpa lengan membuat otot-ototnya nampak sangat jelas, ditambah dengan kulit yang gelap membuat siapa saja semakin takut.
Bianca menggeleng kencang, "ja-jangan bang! I-ini tas sekolah saya."
Jawaban Bianca sukses membuat dua preman itu menggeram marah. "Ga peduli gua! Siniin cepet! Atau lo-nya aja?"
Tubuh Bianca bergetar hebat, sambil menggelengkan kepala Bianca mundur kebelakang.
Semakin mundur-semakin mundur, tepat saat Bianca ingin berteriak mengeluarkan suaranya yang dahsyat , tangannya ditarik oleh seseorang dan berlari menerobos kedua preman itu.
Seorang laki-laki.
"Woy!" Reflek, kedua preman berbadan kekar itu ikut lari mengejar Bianca secepat mungkin.
Bianca terus berlari mengikuti laki-laki itu, ia ikut kemana saja ia dibawa dan tidak memberontak asalkan bisa bebas dari dua preman itu. Soal kemananya, itu urusan nanti, yang penting sekarang ia selamat.
Kaki mungilnya dipaksa berlari secepat kilat mengikuti langkah besar dari cowo yang dengan seenaknya menarik tangannya. Karena jika tidak, maka ia akan jatuh tersungkur dan harus rela mengorbankan wajah cantiknya yang selalu dirawat agar terseret aspal.
Oh membayangkannya saja Bianca tidak sanggup, ia menghabiskan banyak uang untuk membeli produk-produk wajah yang harganya tidak murah itu. Ia bahkan rela tidak jajan di sekolah agar bisa menabung dan membeli segala keperluan wajah yang hanya dalam sebulan habis. Maka dari itu, ia memaksa tubuh dan kakinya supaya kuat untuk terus berlari mengikuti laki-laki ini, karena dia menarik Bianca dengan sangat kuat. Ia yakin pergelangan tangannya pasti merah setelah ini.
"Pelan-pelan... Woy!" Sambil terengah-engah, Bianca memaksa agar suaranya keluar. Setidaknya bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Tasnya sudah berada aman di punggungnya.
Bianca mendongak, melihat cowok itu dari belakang. Rambut hitam yang sedikit kecokelatan, jaket denim biru muda dengan motif sobek-sobek dan ujungnya yang dijahit tidak beraturan memperlihatkan bahu lebarnya. Tunggu dulu... Sepertinya Bianca kenal dengan proporsi badannya, tapi siapa...
Asik mengamati, Bianca sampai tidak sadar cowok itu mempercepat langkahnya dan membawa Bianca berbelok ke arah kiri, menuju sebuah gang kecil yang tidak begitu sempit namun tidak luas dan berdinding batu juga semen yang tidak beraturan. Sepertinya gang ini sudah lama tidak ditempati karena keadaannya sangat sepi.
Bianca menoleh ke belakang, dua preman itu sudah tak nampak lagi dalam pengelihatannya, tapi suara-suara teriakan yang disertai u*****n masih terdengar sedikit jelas di telinganya.
Sampai cowok itu menariknya untuk bersembunyi di pojok, di balik gerobak berisikan bebatuan yang menggunung dan semen yang masih basah di depannya. Mereka bersembunyi di tempat sempit itu hanya berdua, dengan jarak yang sangat dekat. Jika tidak dalam situasi genting seperti sekarang, Bianca mungkin sudah menghabisi cowok yang dengan berani berdempetan dengannya, terutama saat cowok itu berbalik dan menunjukan wajah.
"Jonathan? Lo?" Mulut Bianca dibekap dengan tangan kekar Jonathan. Menyuruhnya diam dengan gestur tangan dan mimik wajah. Oke Bianca lakukan.
"Lo gapapa? Ngga di apa-apain 'kan sama mereka?" Tanya Jonathan. Entah kenapa, Bianca merasa bahwa laki-laki dihadapannya kini tengah khawatir.
Bianca diam, tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Ia hanya diam dengan perasaan campur aduk. Berada sedekat ini dengan Jonathan memberi perasaan asing pada dirinya. Gugup? Tidak mungkin. Tapi mungkin juga.
"Ssht, diem ya." Jonathan memalingkan wajahnya dan menatap ke depan dengan was-was. Suara langkah kaki orang yang berlari terasa semakin dekat. Disusul dengan suara napas memburu dari dua orang yang sedang bersahut-sahutan.
"Kemana dua bocah itu?" Tanya preman yang berperawakan lebih kecil dan lebih kurus namun sama sangarnya. Wajahnya yang memiliki cukup banyak sayatan bahkan lebih mengerikan dari teman premannya yang berbadan besar itu.
"Gua ngga tau. Paling ngumpet, cari cepet."
Dua preman itu mulai berpencar, mengobrak-abrik gang sepi itu. Melempar dan membuang asal segala sesuatu yang nampak mencurigakan. Menendang semua hal yang dekat dengan kaki. Seketika gang itu berubah seperti menjadi tempat yang habis dipakai tauran.
"Kemana sih mereka? Ya kali manjat?" Frustasi preman berbadan kekar. Ia menatap dinding-dinding di gang yang tidak terlalu tinggi, namun tidak bisa jika hanya dipanjat dengan tangan kosong.
"Ssht, bang, coba liat itu." Bisik yang lebih kurus. Kedua perhatian preman itu sekarang berpusat pada sepatu hitam dengan tali putih yang terlihat cukup mahal dan berkelas, bergerak dengan gelisah, ditandai dengan tanda centang putih yang di atasnya terdapat tulisan 'NIKE'.
Kedua preman itu tersenyum. Sudah pasti itu sepatu dari mangsanya yang kabur.
"Keluar Lo bocah tengil. Kalau ngga, ini batu bata gua robohin ke kepala kalian!" Ancaman yang menarik. Sukses membuat Jonathan dan Bianca terbelalak kaget karena persembunyian mereka ketahuan.
"Gimana ni, Jo. G-gua ngga mau keluar, tapi ngga mau ketiban batu bata juga." Bianca, berucap dengan mata sedikit merah. Mungkin sebentar lagi cairan bening akan jatuh dari dua mata besarnya.
"Ssht, tenang ya, tenang." Jonathan menarik Bianca dalam pelukannya, mengelus punggung mungil gadis itu agar berhenti bergetar. Kemudian berdiri dan menatap nyalang pada dua preman yang sudah menyungging senyum sinis itu.
"Wah, keluar juga. Hebat juga persembunyian Lo ya."
Jonathan tersenyum sinis, "jelas. Gua sembunyi pakai otak, sampai Lo pada aja ngga bisa liat." Ujarnya dengan nada remeh.
Kedua preman itu saling tatap kemudian menggeram marah. Mereka merasa direndahkan oleh seorang bocah laki-laki tengik ingusan.
"Berani Lo sama kita? Gede juga nyali Lo."
"Siapa yang takut sama kalian? Bisanya cuman pakai otot."
Bianca menggenggam erat jaket bagian belakang Jonathan, menarik-nariknya pelan, kaget karena penuturan laki-laki itu yang terkesan sangat berani lebih ke songong.
Jonathan menoleh menatap Bianca yang sudah seperti anak anjing. Berjongkok sambil mendongak dan menatapnya penuh ketakutan. Lucu.
"Lo jangan main-main sama mereka. Mereka itu preman, bukan anak sekolahan sebelah yang biasa Lo ajak ribut." Kesal Bianca. Benar-benar tidak habis pikir dengan sikap 'tidak pikir panjang' Jonathan. Lagi pula ini dua lawan satu, sudah bisa dipastikan Jonathan akan habis babak belur.
Tanpa sadar ujung bibir Jonathan tertarik membentuk senyum kecil yang manis, tangannya terulur untuk mengusak kepala Bianca, "ngga usah takut. Begini doang mah gua udah biasa." Ucapnya menenangkan, lalu beralih menatap dingin preman-preman yang sudah siap dengan tinjunya.
Bianca menggeleng lemah, ia yakin Jonathan tidak akan selamat. Selain jumlah, melihat dari segi fisik saja Jonathan sudah jauh dari kata menang. Kedua preman itu memiliki badan yang besar dengan otot tangan yang sengaja ditampilkan. Yang satu memang lebih kurus, namun tetap terlihat kekar, dan wajahnya yang dipenuhi luka juga sayatan menambah kesan mengerikan.
Jonathan berjalan dengan angkuh melewati gerobak dan semen, lalu menatap dengan pandangan lurus yang tidak menyiratkan ketakutan sama sekali.
"Berani Lo? Gua bonyokin juga muka tengil Lo itu." Kedua preman itu tertawa mengejek. Menatap Jonathan dari atas sampai bawah. Penampilan keren cowok itu dan tangan yang dimasukan ke dalam saku celana, sudah bisa dipastikan bahwa mangsa mereka kali ini berasal dari keluarga kaya raya. Menyungging senyum sinis, kedua preman itu terpikir cara yang lebih b***t untuk memeras orang tua Jonathan.
"Bonyokin aja. Muka gua udah ganteng dari sononya, mau Lo apain juga tetep bakalan balik lagi." Terdengar sangat percaya diri memang, Bianca saja sampai kaget mendengar ucapan itu keluar dari mulut Jonathan. Ternyata cowok itu sadar bahwa wajahnya sangat tampan.
Dengan perasaan marah, dua preman itu mulai memukuli Jonathan. Tapi semua serangan dapat ditangkis dengan mudah, Jonathan terlihat sangat ahli dalam menghindar maupun menyerang balik.
Awalnya perkelahian terlihat seimbang, namun kemudian Jonathan memberi kepalan mautnya pada perut salah satu preman dan menendang tepat di kepala yang lainnya. Sekarang cowok itu berdiri di tengah-tengah dua preman yang sedang kesakitan itu. Tenaga Jonathan tidak bisa diremehkan.
Namun preman berbadan kurus yang tepat berada dibelakangnya diam-diam mengambil batu bata, melihat ada celah kesempatan, preman itu langsung memukul kepala belakang Jonathan. Membuat laki-laki itu meringis dan tersungkur.
"Jonathan!" Pekik Bianca. Preman berbadan besar itu bangkit dan menginjak bahu Jonathan. Membuatnya tengkurap tepat di depan kaki sang preman.
Yang satu lagi melihat keberadaan Bianca dan menarik gadis itu. Membawa Bianca pada temannya dan menarik rambut gadis itu kebelakang tepat dihadapan Jonathan.
"Aakh!"
"Ca..." Jonathan berdiri dan mencoba itu menyelamatkan Bianca. Tapi tangannya langsung dicekal oleh salah satu preman. Ia bahkan memberikan satu tinjuan pada wajah mulus Jonathan. Mengakibatkan ujung bibir bagian kirinya sobek dan lebam. Preman itu mengenakan cincin batu akik yang cukup besar.
Bianca segera memberontak dan berusaha melepaskan diri. Namun tenaganya sudah pasti kalah oleh preman ini. "Diem." Karena tidak bisa berpikir jernih, Bianca segera menendang bagian paling sensitif dari laki-laki. Dipertengahan paha. Ia tidak peduli dan tidak memikirkan konsekuensinya.
"Akh." Sontak preman kurus yang tadi memegangi Bianca beralih memegang benda pusaka-nya. Wajahnya kesakitan juga menahan amarah disaat yang bersamaan, Bianca tidak merasa kasihan sama sekali. Ia mengambil balok kayu yang panjang dan besar, bersiap memukul preman yang sudah membuat Jonathan babak belur.
Namun belum sempat menjalankan aksinya, beberapa motor dengan suara berisik masuk dan berhenti di belakang mereka, membuat balok kayu itu terhenti di udara.
Semua mata tertuju pada kumpulan orang bermotor itu. Termasuk Bianca, ia kaget bukan main saat melihat Christian turun dari motor paling depan, lalu berjalan di tengah diikuti beberapa orang lagi di belakangnya, layaknya seorang ketua.
"Jonathan? Lo kenapa bisa bonyok gini?" Kaget, tentu saja Christian kaget melihat sahabat karibnya babak belur, terutama saat melihat preman berbadan kekar itu, anak buahnya, mencengkram pergelangan tangan Jonathan. Dan lebih kaget lagi saat melihat Bianca yang sudah ancang-ancang ingin memukul dengan balok kayu, "Lo?!"
Bianca langsung melempar balok kayu itu hingga jatuh secara vertikal mengenai kaki preman berbadan kurus, kebetulan. Melihat Christian yang masih memperhatikannya lekat, Bianca segera berlindung dibelakang tubuh Jonathan, mencengkram jaket laki-laki itu erat.
"Ada apa nih?" Tanya Christian bingung. Kenapa Bianca dan Jonathan bisa dekat? Kenapa mereka ada disini? Kenapa Jonathan babak belur? Kenapa Bianca tidak terlihat berani lagi seperti saat di kantin?
"Lo bonyok karena siapa, Jo? Karena mereka?" Christian menunjuk dua preman yang tadi menghabisi Jonathan dengan gerakan mata.
Jonathan menyeka darah di sudut bibirnya, menghentikan pergerakan Christian saat hendak memerintah anak buahnya yang lain untuk memukul dua preman itu. "Salah paham."
Christian mengangguk mengerti, ia menatap tajam pada dua anak buahnya yang menunduk takut melihat kemarahan Christian karena telah memukul Jonathan. Mengalihkan pandanganya, Christian menatap heran pada Bianca yang bersembunyi di belakang Jonathan dan tangannya yang meremas kuat jaket denim sahabatnya itu, "dia kenapa disini?"
Jonathan mengalihkan wajahnya melihat tangan Bianca yang gemetar, kemudian mengusapnya pelan dan kembali menatap lawan bicaranya, "gua pinjem motor Lo, Yan."
Masih dengan wajah bingungnya Christian melempar kunci motor dengan gantungan bermotif tengkorak pada Jonathan. Ia hanya menatap aneh Jonathan saat cowok itu menarik lembut Bianca dan menuntunya untuk naik ke motor besar Christian.
Christian dan semua preman yang ada disitu hanya diam memperhatikan Jonathan dan Bianca yang semakin jauh dan menghilang di belokan. "Ada yang aneh." Christian mengangkat kepalnya, memandang ke arah dimana Jonathan Bianca pergi, apa ada yang ia lewatkan? Dalam sehari?
Kembali menegakkan badannya, Christian kemudian menatap tajam dua preman yang tadi menghabisi Jonathan. Ia sangat tidak suka jika ada yang menyakiti sahabatnya itu. Ia juga tidak suka dengan preman atau anak buahnya yang memiliki pemikiran kotor, dan Christian tahu bahwa dua anak buahnya itu pasti habis memalak Jonathan atau berpikiran jahat tentang Bianca.
"Lo berdua, sini." Kedua preman yang merasa dirinya dipanggil segera menghadap Christian. Mereka takut. Christian bukanlah ketua yang memiliki hati, ia sangat kejam, Christian bisa menjadi ketua karena sifatnya yang sebelas dua belas dengan iblis, ia akan memberikan hukuman yang sangat mengerikan, tapi Christian bukanlah orang yang suka menghukum sembarangan, ia hanya menghukum orang yang bersalah dan memberi pelajaran mematikan pada orang yang berani macam-macam dengannya.
Bugh... Bugh... Bugh... Bugh...
Pasrah. Dua preman itu hanya pasrah saat wajah mereka dihantam secara membabi buta oleh Christian. Ini masih hukuman yang ringan, karena biasanya, ketua mereka itu akan memberi hukuman yang tidak masuk akal, seperti berjalan di atas serpihan kaca misalnya, atau memeluk kayu yang terbakar.
Setelah dirasa puas, Christian berhenti, membantu kedua anak buahnya agar berdiri dengan tegak. Ia tidak suka dengan orang lemah. "Lain kali hati-hati saat memilih mangsa." Setelah itu ia pergi dengan motor lain diikuti dengan anak buahnya. Dua preman itu hanya diam seperti orang mengheningkan cipta. Memikirkan bagaimana nasibnya setelah ini.
***
"Rumah Lo yang mana?" Jonathan bertanya sambil menatap lurus jalanan di depannya. Cukup sepi, karena waktu memang masih menunjukkan pukul dua siang, tidak ada yang ingin keluar rumah saat matahari sedang terik-teriknya.
Merasa Bianca tidak akan memberi respon, Jonathan kembali bertanya dengan volume yang sedikit keras, "rumah Lo yang mana, woy?!"
Masih tidak ada respon, matanya tak sengaja menatap kaca spion yang memperlihatkan sedikit wajah tenang Bianca. Gadis itu tidur rupanya, pantas saja Bianca bisa dengan santai menyenderkan kepala pada bahu lebar Jonathan.
"Ck, tidur lagi. Ini gimana gua nganterinnya." Sungut Jonathan. Saat lampu merah menyala, Jonathan memberhentikan motornya dengan pelan. Matanya kembali menatap kaca spion yang hanya memperlihatkan hidung dan sedikit wajah pulas Bianca, kemudian beralih melihat tangan Bianca yang memeluk pinggangnya dengan sedikit kendor, mungkin faktor tidur kali ya. Tanpa sadar sudut bibir kanannya tertarik, memamerkan senyum kecil, namun sedetik kemudian Jonathan menggelengkan kepala dan memukulnya pelan. "Apaan sih gua."
Mencoba menarik kembali kesadarannya, Jonathan mulai memperhatikan lampu merah yang masih menyala, tidak memperdulikan getaran aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya. Terutama saat melihat sedikit wajah Bianca lewat kaca spion, Jonathan buru-buru menepis pikirannya yang mulai kemana-mana.
'Ini anak harus gua culik kemana...'