14. Bianca hilang?

2288 Kata
"Si Eca kemana?" "Eca kemana woy?!" "Liat Eca ngga? Eca?" Vernand mendengus malas mendengar kakak kembarnya terus menerus lari dan menanyai semua orang yang lewat di depan kelas. Cewek itu bahkan sudah berkeliling sekolah mencari sahabatnya, dan kembali dengan tangan kosong. "Berisik, Nes. Ganggu Lo ah!" Seru Leon kesal. Ia dan beberapa cowok lain lagi asik main game dan harus terganggu karena Vanesha yang ngga bisa diam. Vanesha yang mendengar seruan Leon segera menghampiri pria itu dan menjewer telinganya sekuat tenaga, bahkan pembuluh darah dan ototnya sedikit nampak. "Ngomong apa Lo barusan? Hah? Ulang coba? Ulang!" Gilang, dan beberapa cowok yang ikut main dengan Leon segera menjauh dan memisahkan diri. Sumpah, Vanesha sekarang serem banget. "Aw ahk! Sakit, Nes!" Leon memekik sakit, beneran deh jeweran Vanesha emang sesakit itu, guru BK atau guru galak lewat deh, emang bukan kaleng-kaleng cewek ini. Menjewer semakin kencang, Vanesha melepas tangannya dari telinga Leon dan menatapnya tajam, marah dia. "Sakit, bodoh! Lo ngira-ngira dong kalo mau jewer." Vanesha hanya diam menatap Leon yang sibuk mengusap telinganya yang memerah dengan kasar. Leon yang merasa diperhatikan pun sadar dan segera mengeluarkan cengiran andalannya. "Heheh, maaf atuh, Nes." Sambil membentuk tanda piece Leon langsung menjauh saat tangan Vanesha kembali melayang hendak memukulnya. "Udah anjir, udah minta maaf juga gua kan? Maaf-maaf." Ucapnya sekali lagi. Vanesha hanya mendecak kesal kemudian duduk di atas meja Leon. Mengambil keripik kentang cowok itu yang ada di dalam tabung dan memasukannya ke dalam mulut. "Bianca kemana, anjir. Gua panik banget." Leon hanya pasrah melihat keripik kentangnya sudah berpindah tempat ke tangan gadis itu. Kalau dia berani marah atau merebut kembali keripiknya, serius deh, bukan cuman kuping yang merah, perut dan kening cowok itu juga bisa lebam dibuat Vanesha. "Ngga tau, coba tanya ke kelasnya Jonathan, kali aja disana." Menggeleng pelan, Vanesha menunduk dan kembali memasukan keripik itu ke mulutnya. "Ngga ada, Le. Gua udah kesana tadi, tapi anak kelasnya bilang Jonathan juga bolos." Leon hampir terkena serangan jantung saat Vanesha membanting tabung keripik lalu berdiri dan menggebrak meja kencang. Ditambah dengan suara teriakan frustasi dari cewek itu membuat semua orang yang tidak sengaja lewat atau mendengar teriakannya datang dan bergerumun di depan kelas. "BIANCA LO DIMANA ANJIRRR!" Vernand, selaku saudara kembar atau adik kembar Vanesha segera datang dan menangkan gadis itu. Menggenggam tangannya dan memegang pundak gadis itu agar ngga berbuat lebih. "Udah anjir, Nes. Bianca ngga akan hilang buset dah." Sejujurnya Vernand juga merasa khawatir karena Bianca tidak kembali sampai pelajaran terakhir ini. Tapi Vernand masih bisa mengendalikan rasa khawatirnya agar tidak membuat masalah. Leon juga sama, ia dan beberapa cowok di kelas ini sengaja bermain game agar tidak begitu memikirkan Bianca, mereka melakukan itu guna mengatasi rasa khawatirnya. Iya, memang sekuat itu hubungan kekeluargaan yang dimiliki kelas 11 IPA 1. Mereka bukan teman atau sekadar sahabat sekarang, mereka sudah menjadi keluarga dan rumah kedua untuk kelas ini. Jadi saat ada anggota yang hilang tidak tau kemana, mereka bisa sangat panik dan membuat satu sekolah ketakutan. "Udah lah, Nes. Lo ngga usah lebay begini elah, Eca ngga akan kenapa-napa. Percaya sama gua." Franky yang sedang duduk di pojok belakang kelas sambil membaca buku ikut menyahuti. Membaca dan memperhatikan kondisi kelas adalah salah satu caranya agar tidak terlalu memikirkan masalah. Vanesha hanya diam saat Vernand membawanya untuk duduk entah di bangku siapa. "Lo ngga usah lebay, makin jelek tau ngga?" Dengusan kasar keluar dari mulut gadis itu diikuti oleh makian tak kalah kasar. "Lo juga jelek, sialan." Vernand tidak marah tentu saja, ia tersenyum hangat melihat kakaknya sudah tenang. Ya lagian siapa yang ngga panik pas sahabatnya hilang ngga tau kemana selama hampir lima jam? Dicari keliling sekolah juga ngga ketemu. Apa lagi Vanesha dan Bianca sudah berteman dari masih orok. Jelas gadis itu kelimpungan. "Ini juga Nathan. Kemana sih anak itu. Bisa-bisanya ngilang pas lagi begini." Semua orang dalam kelas sontak menoleh melihat Reyhan yang sedang tertidur dengan menjadikan lengannya sebagai bantal. Lihatlah cowok pemalas yang merangakap menjadi ketua kelas mereka, bahkan hanya mengangkat kepala dan berbicara sambil menatap mereka saja terlalu berat baginya. "Bangun dulu elah, Rey. Tidur mulu kerjaan Lo." Kesal Vernand. Tak habis pikir kenapa bisa ada orang semalas Reyhan, menjadi ketua kelas lagi. Yang ada kelas mereka stres punya ketua kaya Reyhan. Bantuin engga nyusahin iya. "Tau Lo, kalo ngomong itu liat orangnya. Ngga sopan!" Sahut Leon. Anak ini memang paling suka manas-manasin begini. Dengan sangat-sangat terpaksa dan malas Reyhan mengangkat kepalanya. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Vanesha yang duduk diam entah di bangku siapa dan Vernand yang duduk di atas meja sibuk menenangkan sambil memijit-mijit jari-jari kakaknya itu. Sedikit menarik sudut bibirnya, Reyhan kemudian beralih menatap Leon yang juga sedang menatapnya sewot. Mengangkat bahunya tak peduli, laki-laki itu kembali menelungkup kan kepalanya dan berselancar di alam mimpi. "Gila ya, ko bisa ada ketua kelas kaya dia, di kelas kita lagi. Siapa sih yang milih orang itu, hah?" Semua hanya diam mendengar Vernand terus mengeluarkan cibirannya dengan tangan yang tak berhenti bekerja. "Eh tapi dia bener juga lho, Nathan kemana dah?" Franky berujar masih dengan mata yang sibuk membaca kata per kata yang terdapat dalam buku. Ini adalah salah satu kelebihan cowok itu, bisa menebak apa yang terjadi dengan mata melihat buku. Hanya dengan menatap buku ia bisa membaca kondisi. Hebat kan? Franky doang emang. Bukan buku pelajaran kok, dia ngga se-ambis itu. Itu cuman buku komik biasa. "Iya juga, itu anak ngga keliatan dari tadi." Leon langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Lalu balik menatap Vernand dan Franky heran secara bergantian. "Alah anak itu. Padahal dia doang tuh yang bisa nemuin Eca kalo ilang, tapi malah dia ikutan ilang. Ngga berguna banget buset." Dengus Vernand. Ia sama saja kaya Vanesha, asal ceplas-ceplos. Bedanya Vanesha berani ngomong langsung ke orangnya, kalo Vernand mana berani. Dia cuman berani ngejelek-jelekin di belakang orangnya, kalo ketauan ya, yaudah, nasib. "Sok-sokan bilang Nathan ngga berguna, emang Lo hidup selama ini ada gunanya?" Suara gelak tawa terdengar hingga keluar kelas karena ucapan Vanesha. Udah dibilang, mulut cewek itu bar-bar banget. Sedangkan Vernand hanya mampu tersenyum miris sambil terus memijit jari-jari kakaknya. "Mampus anjir, makanya ngga usah ngatain orang Lo!" Ucap Leon masih berusaha mengatur tawanya agar tidak semakin pecah. Emang cuman Vanesha yang bisa bikin Vernand diam tak berkutik dan menjadi babu begitu. Bahkan Reyhan yang masih dalam posisinya pun diam-diam tertawa kecil tanpa disadari siapapun. Ia hanya tertawa untuk dirinya. "Udah ah, ini si Eca gimana? Nathan?" Leon dan Vernand habis menyumpah sarapahi Franky dalam hati. Suasana mulai mencair, dan cowok itu dengan gampangnya mengembalikan suasana gelap seperti semula. Emang ya, Franky doang yang ngga pernah ngerasain gimana jahatnya mulut dan tindakan Vanesha. "Ngga tau anjir, Nathan aja ngga tau kemana, apa lagi Eca." Asik membicarakan Nathan dan Bianca yang hilang, mereka tak menyadari bahwa orang yang dimaksud sudah melewati pintu dan hendak berjalan duduk ke bangkunya. "INI DIAAA!" Pekik Leon yang pertama kali menyadari kehadiran Nathan, cowok itu bahkan hampir mengumpat sangking kagetnya. "Yang diomongin dari tadi akhirnya muncul juga." Nathan mendengus malas dan menendang kaki meja Leon cukup keras, jantungnya hampir jatuh ke lambung karena suara cempreng cowok itu tiba-tiba menyambutnya. Untung tidak benar-benar terjadi. "Kaget gua anjing!" "Wow wow, calm down, sir." Nathan melanjutkan langkahnya menuju tempat dimana ia duduk, namun sebelum itu, Nathan kembali terhenti karena melihat Vanesha yang matanya hampir keluar dan Vernand yang sibuk memijit. "Kenapa Lo?" Tanya-nya heran. Vanesha segera berdiri dan berhenti tepat di depan Nathan. Cewek itu melotot membuat Nathan semakin bingung. "Kenapa-kenapa! Lo kemana aja anjir?! Kenapa hilang pas lagi genting? Hah?!" Satu kelas mengusap telinganya karena sakit mendengar suara nyaring Vanesha kembali menggema. Emang ya cewek itu, suaranya ngga akan pernah habis. "Ck, penging anjir! Bianca di UKS noh, tidur." Seakan bisa membaca pikiran Vanesha dan teman sekelasnya, Nathan langsung menjawab dan kembali berjalan menuju bangkunya, meninggalkan Vanesha yang masih berdiri kaget. Nathan terlalu tiba-tiba. "Anjir Lo tau dari mana, Than?" Pekik Leon heboh. Ia yang paling pertama sadar dari kagetnya. Nathan mengangkat bahu tak peduli. Ia sibuk memainkan benda kotak kecil dan memainkan sosial medianya. Nathan itu selebgram coy. Mendengar teriakan Leon yang dibuat-buat alay, Vanesha segera mengambil tas ransel Bianca dan langsung berlari secepat kilat menuju tempat dimana sahabatnya berada. Panik? Pasti, khawatir? Apa lagi. Ini Bianca udah hilang lama banget terus tiba-tiba Nathan datang dan bilang cewek itu lagi tidur di UKS. Ini mah Vanesha ngga percaya kalo Bianca cuman tidur. Takutnya cewek itu sekarat. Berbelok ke arah kanan, Vanesha berhenti tepat di depan pintu putih bertuliskan 'UKS' di tengahnya. Melihat tirai yang sedikit tersingkap, Vanesha berusaha mengintip memastikan ada siapa di dalam sana. Tapi karena ngga mau buang waktu lama, Vanesha langsung mendorong pintu UKS dan berlari menuju tempat tidur yang tertutup tirai. "Bianca!" Heboh gadis itu begitu melihat Bianca tengah tertidur pulas. Bukan deh, bukan tidur pulas, gadis itu hanya menutup matanya, karena bulu matanya sedikit bergetar. "Bangun, heh! Bangun!" Karena panik tangan Vanesha tidak sadar menampar kencang pipi kanan Bianca. Membuat gadis itu bangun sambil memegang pipi kanannya yang terasa nyeri. "Apasi ah? Sakit!" Kesalnya. Siapa yang ngga kesal coba? Bianca hampir kena serangan jantung karena teriakan Vanesha tadi dan sekarang pipinya ditampar. Vanesha ngga peduli, ia memaksa Bianca untuk duduk dan memakaikan tas ransel gadis itu di pundaknya. "Pergi-pergi, cepetan! Lo harus kabur sebelum itu guru killer nemuin Lo lagi tidur disini." Bianca mengernyit heran, "kenapa sih? Pelan-pelan, Nes, napas. Cerita dulu." Vanesha mengikuti arahan Bianca, ia mengatur napasnya lalu menatap panik pada gadis itu. "Lo udah bolos berapa jam coba?" Bianca berpikir sebentar, sibuk mengingat-ingat sudah berapa lama ia tidak masuk kelas. "Emm, ngga tau deh, lupa, ehe." Tai. Vanesha pengen banget Jambak Bianca saat ini juga, kalo dia ngga inget ada dimana sekarang. UKS mereka berada di tempat yang cukup ramai, di depan ruangan ini ada jalan dan taman-taman kecil dan langsung ke lapangan. Beberapa meter di kanan ada koperasi, dan disebelah ruang koperasi ada ruangan yang biasa dipakai untuk jual-beli seragam. "Hampir lima jam, Ca! Hampir lima jam Lo bolos. Gila, sekelas panik tau ngga? Si Nathan hampir gila ngga nemuin Lo dimana-mana." "Tapi tadi Nathan yang ngajak gua ke UKS?" Vanesha memutar bola matanya malas. Biasalah, Bianca lemot. "Sebelum ketemu Lo maksudnya." "Udah lupain, Lo harus pergi pokoknya, Lo bolos aja sampe pulang!" "Dih dih? Makin kena marah dong gua?" Vanesha menggeleng dan memegang bahu Bianca pelan. "Engga, itu urusan gua. Lo tau ngga sih tadi Lo dicariin kepala sekolah buat lomba? Lo ilang, dan kita ngga ada yang bisa ngasih alesan, jadi semua guru sibuk nyariin, bahkan tukang bersih-bersih juga nyariin Lo, Ca!" Bianca masih diam menyimak, sejujurnya ia masih tidak mengerti kenapa Vanesha panik. Kalau begitu bukankah seharusnya sekarang ia pergi ke ruang kepala sekolah, bukannya kabur? Lagi pula, kenapa harus kabur? "Guru-guru pada emosi tau Lo bolos, apa lagi kepala sekolah, marah banget dia pas tau anak emasnya sekolah bolos. Kalo Lo ketemu sama guru terus dibawa ke ruang kapsek, Lo bakal kena marah yakin gua, syukur-syukur kalo cuman dimarahin, kalo sampe kena skors?" Bianca diam. Ia sibuk memikirkan semua ucapan Vanesha. Ruangan yang ia tempati dengan Jonathan tadi adalah ruang kedap suara? Kenapa Bianca ngga dengar sama sekali suara kepala sekolah dan guru-guru yang meneriakkan namanya? "Makanya gua bilang, Lo kabur aja. Ntar gua bilang Lo sakit terus pingsan di jalan, habis itu Lo ditemuin sama ortu gua. Udah deh Lo pergi dulu aja sekarang, itu nanti urusan gua." Vanesha masih terus berceloteh. "Tapi, tapi gua takut, Nes. Yakali gua sampe di skors? Ngga ah, gua ke ruang kapsek aja sekarang." Vanesha menarik tangan Bianca yang hendak pergi dan mendudukan gadis itu di ranjang. "Dengerin gua, Ca. Lo bolos hampir seharian, terus Lo ngga ada di sekolah, Lo ngga ada pas kapsek lagu butuh Lo buat lomba mengharumkan nama sekolah kita, Lo ngerepotin semua orang! Anak-anak OSIS bahkan sampe turun tangan nyariin Lo, pak kapsek sampe ngomong di speaker suruh semua orang nyariin Lo. Terus Lo ngga ikut pengambilan nilai bahasa Inggris, Lo ngga ngumpulin tugas IPS." Bianca diam, dan Vanesha yakin kali ini Bianca tengah mempertimbangkan ucapannya. "Udah lah, Ca. Lo pergi aja, daripada kena masalah." Vanesha berucap serius dan memegang bahu gadis itu pelan, berusaha menyakinkan Bianca agar mengikuti rencananya. "Huh, oke. Gua kabur." Vanesha tersenyum girang saat mendengar keputusan Bianca. "BANTUIN TAPI!" "Ck, iya elah. Ayo gece, eh bentar." Vanesha mengambil selendangnya yang kebetulan tertinggal di UKS, lalu melilitkan selendang itu menutupi semua kepala Bianca, mengambil kacamata hitam dan memakaikannya pada Bianca, bahkan gadis itu terlihat seperti teroris sekarang. "Nah udah, ayo cepetan, ntar ada yang liat." Vanesha menarik tangan Bianca, gadis itu berlari namun sambil merangkul Bianca berusaha agar menutupi kepala gadis itu. Mereka terus berlari hingga sampai di tembok belakang sekolah. Tepat di belakang kantin. "Manjat?" Tanya Bianca dan dijawab anggukan girang dari Vanesha. Serius deh, Bianca ngga ngerti cara pikir temannya ini, tembok ini kasar, gimana caranya dia manjat? "Udah, cepetan naik ke punggung gua." Seakan bisa membaca pikiran sahabatnya, Vanesha langsung jongkok dan mempersilahkan Bianca untuk naik. "Beneran ini?" Vanesha mengangguk cepat dan langsung menarik Bianca agar naik ke punggungnya, ia tidak memiliki waktu banyak, dia bahkan ngga tau guru udah masuk kelas apa belum. "Cepetan, Ca! Buru-buru nih!" Sumpah, Bianca emang kurus, kurus banget malah, tapi kenapa sekarang rasanya cewek itu berat banget sih. Vanesha bahkan ngga bisa berdiri tegak. Bianca terus berusaha naik hingga kakinya berhasil naik ke atas tembok disusul kaki satunya lagi. Sekarang Bianca sudah berada diatas dengan sempurna, walau posisinya miring, kesenggol dikit gadis itu bisa kembali masuk ke dalam sekolahnya. "Udah, Nes!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN