"NES, UDAH, NES!"
Tepat setelah Bianca berteriak nama Vanesha diteriaki oleh Leon. Cowok itu memakai jaket dan menutupi wajahnya dengan kupluk dan masker. Vanesha segera lari setelah memastikan Bianca sudah benar-benar aman di atas sana.
Setelah kepergian Vanesha, Bianca masih diam di tempat, ia tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Sampai Bianca mendengar suara langkah kaki dan suara orang sedang berbincang, Bianca langsung sadar bahwa dari tadi dia harusnya sudah turun dan lari dari sini.
Tapi karena masih takut, Bianca diam sebentar menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan, mencoba menenangkan diri. Setelah dirasa cukup, Bianca segera mengangkat satu kaki-nya dan memutar badan menghadap ke luar.
Bianca hendak melompat sebelum ia melihat punggung seorang lelaki yang sedang duduk di pinggir trotoar dengan rokok di tangannya dan sebuah pemantik.
Bianca diam, ia terus diam memperhatikan sampai cowok itu menoleh dan ikut menatapnya pun Bianca tetap diam. Apa lagi setelah cowok itu menoleh dan menampakan wajahnya, Bianca semakin diam karena terkejut.
Mereka bertatapan beberapa detik dan akhirnya Bianca memutuskan kontak mata terlebih dahulu karena suara orang di belakang sana terasa semakin dekat.
Bianca tentu panik, sangat panik sampai ia tidak bisa berpikir lagi. Tanpa pikir panjang, Bianca langsung menjatuhkan badannya dan bersiap menerima rasa sakit yang luar biasa.
Laki-laki yang melihat Bianca loncat begitu saja segera berdiri dan berlari mendekati tempat dimana gadis itu akan jatuh. Menjulurkan tangannya dan membusungkan badan, lelaki itu tepak menangkap badan Bianca, dan membiarkan tubuhnya menjadi penopang gadis itu.
"Ahk." Walau badannya ditopang, gadis bersurai cokelat itu tetap merasa sedikit sakit.
Bianca masih memejamkan mata, terlalu takut. Tapi sudah cukup lama dan Bianca belum merasakan rasa sakit seperti yang ia bayangkan, padahal ia merasa sudah tidak terjun lagi.
Perlahan Bianca membuka matanya, mengejabkan mata kaget melihat siapa yang ada di bawahnya sekarang.
Posisi mereka benar-benar ambigu, dengan cowok itu di bawah memeluk pinggang Bianca dan gadis itu yang berada diatasnya menjadikan lelaki itu seperti tempat tidur. Iya, mereka tindih-tindihan.
Bianca ingin berdiri, namun pelukan pria itu di pinggangnya mengerat, membuat Bianca tidak bisa bergerak. Mereka diam sibuk menyelami mata masing-masing. Kedua mata berbeda warna itu berbinar, membuat orang yang menatapnya terpesona, dan mereka sedang jatuh dalam pesona masing-masing.
Cukup lama mereka seperti itu hingga Bianca yang lebih dulu sadar langsung bangkit mengangkat tubuhnya dari badan pria itu.
"Eh, a-anu... Maaf, maaf, Jo. Gua ngga sengaja tadi." Gugup Bianca. Ia merapikan seragamnya dan menepuk-nepuk rok bagian depannya, kemudian menunduk sambil memainkan jemarinya pelan.
Jonathan —pria yang menolong Bianca (lagi)— mendengus malas mendengar alasannya. Gadis ini benar-benar, selalu membuat masalah, pikir Jonathan.
"Ini yang kedua kalinya." Ucap Jonathan datar, ia sengaja berucap sedatar mungkin agar gadis di depannya ini tidak lagi menunduk, Jonathan tidak suka kalau lawan Bianca menunduk takut.
Dan sukses, Bianca langsung mengangkat kepalanya begitu mendengar respon Jonathan yang kelewat datar. Tatapan pria itu sangat dingin hingga mampu membuat bulu kuduk Bianca berdiri tegang. Ia merinding.
"Hah? M-maksudnya?" Jujur ya, Bianca takut banget sekarang. Jonathan benar-benar menyeramkan, bagaimana cowok itu menatapnya dingin dan bagaimana cowok itu tersenyum miring benar-benar membuat Bianca ingin berteriak takut.
"Ini kedua kalinya gua ngasih badan supaya Lo ngga jatuh ke tanah."
"Terus?"
Jonathan memutar bola matanya malas lantas jalan mendekati Bianca, tidak terlalu dekat, hanya tersisa beberapa meter lagi. "Lo harus bayar."
Bianca mengernyit heran, setahunya ia tidak ada meminta pertolongan Jonathan deh? Dan ia bahkan tidak menyangka akan bertemu Jonathan disini.
"Dih? Bayar apaan? Eh dengerin ya, gua ngga ada minta Lo nolongin, emang Lo aja kali yang mau nolongin gua, apa-apaan bayar segala?" Kesal Bianca, ia tidak habis pikir bagaimana mungkin Jonathan memintanya membayar. "Jangan-jangan Lo kaya gara-gara sering minta bayaran lagi. Udah dapet duit berapa hari ini, bang?"
Jonathan menyipitkan matanya kesal, kenapa Bianca bisa mengira bahwa Jonathan meminta bayaran berupa uang? Apa gadis itu bodoh? Jonathan bahkan kebingungan menggunakan uangnya, ia tidak kekurangan uang, tapi kelebihan uang, ia tidak mencari uang, tapi uang yang mencari dirinya.
Jonathan kembali maju dan mengulurkan tangannya guna menyentil kening Bianca cukup keras. "Gua ngga butuh duit Lo. Tapi Lo harus bayar." Ucapnya kemudian.
Sungguh Bianca tidak mengerti cara berpikir laki-laki dihadapannya ini. Dia minta bayaran, tapi ngga butuh duit Bianca, lalu apa? Apa yang harus Bianca bayar?
"Terus apa? Jangan berbelit-belit deh." Jonathan tersenyum kecil mendengar kekesalan Bianca, ia sudah menduga respon gadis itu. "Temenin gua."
Membuka mulutnya lebar-lebar, apa tadi katanya? Nemenin? Hellaww, Bianca bahkan ogah lama-lama deketan sama Jonathan, dan sekarang cowok itu dengan mudahnya suruh temenin? Yaudah.
Bianca menghela napasnya pelan, lalu kembali menatap Jonathan penuh selidik. "Lo ngga niat macem-macem kan?"
"Ngga macem-macem ko, paling satu macem doang."
"Tai." Bianca benar-benar kesal mendengar jawaban konyol dari Jonathan, kalau cowok itu berniat bercanda atau melucu, maka itu sama sekali tidak lucu.
"Serius, gua nanya serius ini."
"Aduh, udah pengen banget diseriusin, ya?" Jonathan semakin menjadi dengan mengatakan kalimat menyebalkan seperti itu. Bianca jadi makin sebel.
"Beneran ih! Oh atau jangan-jangan Lo pengen gua temenin karna Lo pengen ngajak gua ke tempat sepi terus Lo mutilasi gua idup-idup disitu, baru Lo buang ke kali atau sungai, iya? Gilaaa."
"Dih? Ngapain banget gua bunuh Lo? Ngga ada gunanya juga."
"Ya kali aja Lo dendam sama gua kan, gara-gara Lo nolongin gua dan bikin badan Lo sakit."
Jonathan menatap Bianca heran, jadi itu yang ada dipikiran gadis ini? Gemas, Jonathan kembali menyentil dahi gadis itu, sekarang dengan sedikit lebih kuat hingga kepala Bianca terdorong ke belakang.
"Otak Lo harus dibersihin tuh, isinya sinetron semua."
Bianca mengelus keningnya kasar, sumpah ya, Jonathan itu selalu melakukan kekerasan fisik padanya. Dari pertama kali bertemu, selalu ada organ tubuh Bianca yang menjadi korban ke-ganasan tangan cowok itu.
"Sakit!" Jonathan hanya terkekeh melihat bagaimana lucunya Bianca yang sedang mengusap dahinya sambil sesekali mengoceh tidak jelas tanpa ada niat membatu gadis itu.
Jonathan menarik tangan Bianca lembut, namun gadis itu menahannya dan tidak ingin mengikuti Jonathan, membuat Jonathan kembali menghadapnya penuh tanda tanya. "Kenapa?"
Bianca hanya menggeleng pelan sambil menunduk, kebiasaannya saat takut.
Menghela napas pelan, Jonathan memegang dagu gadis itu dan mengangkat kepalanya, memaksa agar dia mau menatap Jonathan. "Kalo ngobrol sama orang biasain liat wajahnya."
Bianca menatap wajah Jonathan sendu, ia hanya diam dan kembali menggeleng, membuat pria itu kembali menghela napas secara kasar.
"Kenapa, Ca? Ngomong, jangan diem aja."
"Gua ngga mau."
Melihat mata Bianca yang hampir mengeluarkan air mata, oke Jonathan mengerti sekarang. Gadis itu tengah ketakutan, Bianca takut. Tidak tau untuk apa, tapi sepertinya Bianca takut sama Jonathan, seperti katanya tadi, Bianca takut Jonathan macem-macem.
"Lo takut, hm?" Tanya Jonathan lembut. Satu tangannya digunakan untuk mengangkat kepala Bianca dan satu lagi memegang bahu gadis itu.
Bianca mengangguk pelan. Katakan ia cengeng, penakut, lebay, tapi Bianca memang tidak pernah membayangkan akan berteman atau dekat dengan berandal seperti Jonathan, ia jelas merasa takut. Apa lagi faktor keluarganya yang posesif dan sedikit melarangnya pergi jauh-jauh terutama dengan cowok membuat Bianca semakin gelisah. Ia anak rumahan, hampir tidak pernah keluar rumah kecuali urusan penting dan mendesak. Itu membuat Bianca takut untuk dekat-dekat dengan orang semacam Jonathan, itu sebabnya Bianca selalu judes.
"Ngga usah takut, gua ngga akan ngapa-ngapain Lo, ko. Janji." Jonathan mengulurkan jari kelingkingnya bermaksud untuk berjanji.
Dengan ragu bianca membalas Jonathan, ia menautkan jeri kelingkingnya pada kelingking cowok itu lalu disusul dengan jari telunjuk dan terakhir itu jari yang bertemu. Itu adalah caranya membuat janji.
Jonathan cukup terkejut awalnya, namun ia hanya mengikuti kemauan gadis itu, hingga kini ia bisa melihat wajah Bianca sedikit tenang.
"Anak pinter, udah ayo." Ucap Jonathan dengan senyum mengembang. Ia mengacak-acak rambut Bianca sebentar lalu menarik tangan gadis itu agar duduk di jok motornya.
Bianca mengikuti arahan Jonathan, hingga kini ia sudah duduk manis di belakang cowok itu. Jok motor Jonathan tinggi dan menurun, membuat Bianca harus menahan agar tubuhnya tidak merosor dan menempel di bahu cowok itu.
Jonathan melirik belakang, melihat bagaimana Bianca rempong mencari pegangangan yang nyaman bagi dirinya. Namun karena terlalu memakan waktu, Jonathan dengan cepat menarik tangan gadis itu agar melingkar di perut kotak-kotaknya. Membuat Bianca kaget setengah mati.
"Pegangan, nanti Lo jatuh siapa yang repot?"
"Ya tapi kan ngga usah meluk juga kali."
"Gapapa, biar enak. Udah Lo diem aja."
Bianca benar-benar mengikuti arahan Jonathan untuk diam, gadis itu benar-benar hanya diam menikmati pemandangan.
Jonathan tersenyum di balik helm nya begitu melihat Bianca dari spion. Gadis itu memajukan dan melengkung kan bibirnya ke bawah seperti bebek, matanya melihat pemandangan dengan teliti namun pikirannya kosong, rambutnya dibiarkan tergerai dan berantakan akibat angin.
Sebenarnya Jonathan sedikit heran, kenapa gadis ini begitu cengeng hari ini? Setiap kali bertemu dengannya, Bianca selalu merasa takut dan menundukkan kepalanya, membiarkan Jonathan berbicara sendiri.
Karena suasana terlalu hening dan Jonathan tidak mau terus-menerus berada dalam suasana seperti ini, ia coba mengelus tangan Bianca menggunakan tangan kirinya. Berharap akan ada reaksi lebih dari gadis itu.
Merasa tangannya seperti dielus, Bianca menolehkan kepala dan menatap Jonathan melalui spion, "kenapa?" Ucapnya heran.
Jonathan kembali tersenyum, walau ini bukan respon yang ia inginkan, lelaki itu tetap senang karena setelah melewati hampir setengah perjalanan akhirnya Bianca mau membuka mulutnya, itu artinya mereka akan terlibat dalam percakapan.
"Lo yang kenapa, kenapa diem aja?" Tanya Jonathan lembut. Entah kenapa, setiap bareng sama Bianca, Jonathan selalu merasa harus lebih lembut pada gadis itu, Jonathan bahkan selalu merasa bersalah tiap kali bianca merasa sakit karenanya.
Bianca tidak mengalihkan pandangannya, ia terus menatap Jonathan lewat spion, itu justru membuat Jonathan merasa sedikit... Merinding? Entahlah.
"Jawab, Ca. Gua nanya." Masih dengan nada yang lembut Jonathan membalas pandangan Bianca. Gadis itu justru berusaha menjauhkan badannya dari Jonathan, tangannya digerak-gerakin, mungkin risih karena cowok itu terus mengelus punggung tangannya dengan tempo pelan. Geli.
"Gapapa, lagi pengen diem aja."
"Kenapa pengen diem? Biasanya juga cerewet."
"Ngga, biasanya diem ko."
"Bohong, bohong kan Lo?"
"Hem."
Menyerah, Jonathan beneran menyerah mencari topik pembicaraan dengan gadis itu. Mendapat respon sesingkat itu membuat Jonathan justru takut bertanya lebih banyak, mungkin gadis itu lagi badmood, atau habis berantem, Jonathan takut Bianca justru merasa makin risih.
Selama perjalanan hingga yang memakan waktu kurang lebih lima belas menit hingga sampai ke tempat tujuan hanya dihiasi suara-suara mesin kendaraan dan klakson, dua orang di atas motor itu tetap diam tidak mencoba mencairkan suasana yang sedikit dingin ini, bahkan membuka mulut pun keduanya ogah.
Motor moge berwarna merah milik Jonathan berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah bertema klasik, mungkin lebih ke Itali kali ya.
Bianca turun begitu merasakan motor yang sedang ia naiki terparkir sempurna. Matanya menatap tempat ini penuh tanda tanya, "ngapain ke sini?"
Setelah melepas helm dan menyisir rambutnya ke belakang, Jonathan ikut turun dan berdiri di sebelah gadis itu. "Makan." Jawabnya singkat.
"Makan? Siapa yang mau makan? Lo?"
Jonathan hanya diam mengabaikan pertanyaan gadis itu, ia justru mendekat dan merapikan rambut Bianca yang sekarang seperti rambut singa. Berantakan, banget.
Selama beberapa detik Jonathan merapikan rambut Bianca, sedangkan gadis itu hanya diam menikmati bagaimana lembutnya Jonathan membelai kepalanya, dan tangannya yang merapikan poni Bianca hingga beberapa kali menyentuh keningnya. Tangan Jonathan ngga kaya kebanyakan laki-laki, tangan Jonathan cenderung halus, tidak terlalu kasar. Kelihatan bahwa tekstur tangannya kasar karena sering mengendarai motor, mungkin mencucinya juga.
"Iya, Lo temenin gua makan."
Setelah berucap demikian, Jonathan langsung menarik tangan Bianca memasuki restoran mewah itu.
Bianca tak henti-hentinya mengucap 'wah' dan merasa kagum, restoran ini sangat mewah, terlalu mewah malah. Dilihat dari interior dan desain dalam restoran ini, orang bisa langsung merasa seberapa mahal semua ini. Warna yang di d******i cokelat dan warna kayu asli membuat restoran ini nampak semakin mewah.
Jonathan menariknya menuju salah satu meja untuk dua orang, menarikan bangku untuknya dan mendudukan dirinya di depan Bianca. Entah kenapa, Jonathan tidak seperti saat ia di sekolah. Jonathan di hadapannya ini sangat lembut dan penuh perhatian, sedangkan Jonathan di sekolah adalah pria yang kasar, keras, dan nakal.
"Silahkan dipilih." Pelayan datang dan memberi mereka menu. Sungguh, pelayan itu datang tepat saat mereka baru saja duduk. Secepat itu.
Jonathan menerima daftar menu dan memberikannya pada Bianca, membuat gadis itu lagi-lagi menatapnya heran. "Kenapa?"
"Ck, pesen."
"Gua?" Bianca menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk, dibalas anggukan oleh Jonathan. "Kenapa gua? Kan yang mau makan, Lo?"
Jonathan memutar matanya malas, tinggal pesan apa susahnya sih? Kenapa Bianca selalu bertanya? Malu bertanya sesat di jalan, Jonathan tau itu, tapi kalo selalu bertanya seperti ini, bahkan untuk hal tidak penting, itu namanya nyusahin.
"Lo belum makan kan?"
"Tau dari mana?"
"Ngga usah geer, Lo kan seharian ini sama gua." Bianca mengangguk mengerti, "terus?"
"Ya Lo pesen lah, gua yang bayar. Jangan geer! Gua bukannya peduli, ngeliat muka Lo kelaperan gitu, ngga ada tenaganya. Ya gua kasian aja."
Sekarang gantian, Bianca yang memutar matanya malas. Sumpah, siapa yang geer sih? Kalo mau bayarin ya bayarin aja, Bianca malah senang, uang sakunya utuh, bisa buat beli skincare. Ngga akan Bianca geer sama orang kaya Jonathan. Bisa jadi setelah ini akan ada hal lain yang tak terduga, disuruh bayar dengan ngerjain semua PR Jonathan misalnya.
"Alah sia boy, siapa juga yang geer. Lo kali yang ke-geeran mau gua geer-in."
Walau belibet, siapapun ngerti maksud dari ucapan Bianca, termasuk Jonathan. Tapi bukannya tersindir atau kesal, cowok itu justru terkekeh pelan mendengar bagaimana berantakan dan randomnya kalimat Bianca barusan.
"Ngapain Lo ketawa-tawa? Lucu?"
Siapa yang Katawa Bianca? Jonathan cuman terkekeh pelan. Belum bisa termasuk ketawa,. Tapi karena ucapan Bianca, Jonathan kembali mendatarkan wajahnya namun tarikan miring di bibirnya masih tetap terlihat.
"Iya, lucu."
Alis Bianca terangkat satu, diantara semua cewek di kelasnya, hanya beberapa yang bisa mengangkat satu alisnya, termasuk Bianca.
"Apaan dah? Apanya yang lucu?"
"Lo."
"Hah?" Apa deh? Jonathan ngga jelas banget, Bianca ngga ngerti.
"Lo lucu, Bianca."