16. Ice Cream

2380 Kata
"Ngapain Lo?" Jonathan bertanya heran, pasalnya Bianca hanya diam mematung. Kini dua orang itu sudah berada di parkiran dengan Jonathan yang sudah duduk di atas motor dan tinggal menggunakan helm, namun Bianca tidak mengikutinya, ia hanya diam berhenti di tempat. Karena kejadian Jonathan yang tiba-tiba menyebut Bianca lucu, alhasil kedua orang itu saling diam. Suasana benar-benar canggung. Bahkan mereka makan dalam keheningan, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara, termasuk suara sendok garpu dan piring yang beradu, mereka berdua benar-benar berusaha agar tetap diam. Jonathan yang merutuki dirinya sendiri kenapa ia bisa kelepasan bilang seperti itu dan Bianca yang terlalu kaget mendengar pengakuan 'aneh' pria itu. Ya aneh, padahal disitu Bianca ngga ada ngelucu, ngelawak, atau melakukan hal-hal menggemaskan. Tapi cowok itu tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba mengatakan bahwa Bianca lucu. Bukannya senang, Bianca justru berpikir macam-macam. Apa cowok ini dengan mudahnya memuji para gadis di luaran sana? Bahkan pada Bianca yang hanya beberapa kali bertemu Jonathan sudah bisa berucap demikian. Apa lagi di luaran sana? "Jawab. Lo kebiasaan banget kalo ditanyain ngga pernah jawab. Dikira gua ngomong sama tembok kali." Geram Jonathan. Cowok itu kesal karena Bianca hanya diam bukannya menjawab, gadis itu bahkan tidak menatapnya, menghadap ke arahnya saja tidak. Bianca hanya diam dan memalingkan wajah melihat sesuatu di sebelah kanannya. Karena terlalu malas menunggu Bianca yang tidak tau kapan akan membuka mulutnya, Jonathan lebih memilih mengikuti arah pandang gadis itu, melihat sesuatu yang mampu menarik perhatiannya sampai seperti ini. Aahh. Rupanya tukang ice cream yang sedang membuatkan ice cream untuk anak-anak. Sudut bibir Jonathan kembali tertarik ke atas. Baru setengah hari aja Jonathan bisa tersenyum sebanyak ini bersama Bianca, padahal gadis itu hanya diam tidak melakukan apa-apa, namun mampu membuat Jonathan bahagia. Emmm, mungkin terlalu berlebihan kalau dibilang bahagia, jadi, mampu membuat Jonathan senang. Hanya senang yang biasa. "Lo mau?" Jonathan kembali memberi pertanyaan random, sontak Bianca menoleh dan menatap cowok itu dengan bingung namun ada sedikit binar di matanya. Mungkin gadis itu berharap? "Hah?" Jonathan turun dari motor dan mendatangi gadis itu, melangkahkan kaki panjangnya mendekat dan berhenti tepat beberapa senti di depan Bianca. Jonathan mendekatkan wajahnya dan menyentil pelan dahi Bianca. "Hah hah mulu, gua nanya, dijawab atuh neng." Ucap Jonathan sambil menatap Bianca em, sedikit meremehkan? Tidak tau, tapi itu yang Bianca tangkap dari tatapan Jonathan. "Apaan sih? Lo nanya ngga jelas, ngapain gua jawab." Jonathan kembali menyungging senyum tipis ketika mendengar jawaban Bianca yang kelewat judes. Gadis itu bahkan memutar matanya tanda tak menyukai Jonathan. Jonathan kembali mendekatkan wajahnya, membuat wajah mereka berhadapan sejajar, hingga kini wajah keduanya sangat dekat. "Lo mau itu kan?" Tangan kanan Jonathan terangkat menunjuk tukang ice cream yang masih sibuk dengan anak-anak menggunakan jari telunjuknya. Tatapan itu, Bianca yakin betul bahwa Jonathan tengah meledeknya sekarang. Tatapan pria itu benar-benar menyebalkan, Jonathan menatapnya dengan usil, dan Bianca tidak suka itu. Jadi, Bianca hanya diam tidak membalas pertanyaan atau lebih condong ke pernyataan dalam bentuk pertanyaan itu. Malu, kenapa laki-laki ini begitu peka. Melihat mata Bianca yang semakin menajam, Jonathan lebih mendekatkan wajahnya lagi, kurang dari lima sentimeter dan hidung mereka bersentuhan. Tapi Jonathan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya tersenyum miring yang dapat dengan jelas dilihat gadis itu dan kembali menjauhkan badannya. Tolong ingatkan pada dua orang ini agar tidak kelewatan, ini masih di tempat umum, di parkiran, yang jelas banyak orang. Sumpah jangan lupa ingatkan juga Bianca agar bernapas, ia lupa caranya bernapas dengan benar. Terlalu dekat, terlalu dekat, ini tidak baik. Mata gadis itu tetap menatapnya tajam, namun Jonathan bisa melihat sedikit rona kemerahan pada area tulang pipi gadis itu. Melihat gelagat Bianca yang mulai aneh dan helaan napas yang tidar terasa, Jonathan segera memundurkan wajahnya dan berdiri tegak, membiarkan Bianca menormalkan dirinya. Segera setelah Jonathan menjauh, Bianca langsung meraup oksigen sebanyak mungkin, namun tentu saja tetap pelan dan elegan, gadis itu malu memperlihatkan sisi malu-maulinnya ke Jonathan. "Ngapa Lo?" Pake nanya lagi, ngga bisa lihat, mas, itu Biancanya hampir bengek? Bengek dalam artian sesak napas ya, bukan ketawa ngakak. Yakali Bianca ngakak pas situasi lagi kaya tadi, bisa-bisa Jonathan melihat isi mulutnya. "Lo yang apa, ngapain Lo tiba-tiba begitu, hah? Malu-maluin." "Begitu, gimana? Gua ngga ngapa-ngapain perasaan." Enteng banget Jo ngomongnya, itu si Bianca udah nahan biar bahasa sucinya ngga keluar. "Terserah, males." Jonathan hampir menggigit Bianca kala gadis itu kembali memalingkan wajahnya yang sedikit memerah, apa lagi dengan kalimat terakhirnya, males? Lucu banget flizh. Tanpa pikir panjang cowok itu segera menarik tangan Bianca menuju tukang ice cream yang masih sedikit ramai, tersisa beberapa anak saja. Bianca tentu menolak, awalnya saja, setelah melihat kemana cowok itu menariknya, Bianca langsung diam dan membiarkan dirinya ditarik, lebih tepatnya diseret sama Jonathan. Biarin aja, kalau ada yang liat juga pasti Jonathan yang disalahin, nyeret-nyeret anak orang. Sampai di depan tukang ice cream, Jonathan masih tetap menggenggam pergelangan tangan Bianca, enggan untuk melepasnya. Bianca juga kelihatan fine-fine aja, fokusnya berpusat pada ice cream yang tengah dibagikan pada anak-anak. Ini bukan tukang ice cream dengan gerobak atau sepeda, ini lebih ke stan ice cream mungkin. Toko kecil yang hanya cukup diisi dua sampai empat orang. Di dalamnya berisikan mesin-mesin, alat, dan bahan membuat ice cream. Cukup modern. Parkiran yang mereka tempati juga bukan parkiran dalam seperti basement, hanya tempat parkir yang disediakan di luar restoran, dan tepat di samping restoran tersebut terdapat beberapa jajanan jalanan atau toko-toko makanan dan mainan yang dekat dengan parkiran luar. Jadi tidak heran kalau ada toko ice cream disekitar tempat parkir ini. "Mas, es krimnya satu ya, rasanya campur, yang enak." Mas-mas yang mendengar pesanan Jonathan lantas segera memberikan senyum terbaiknya dan menyiapkan pesanan tersebut. Bianca mengalihkan pandangannya dari anak-anak tersebut dan beralih melihat Jonathan. "Lo mau es krim?" Tanya-nya heran. Heran lah, cowok kaya Jonathan makan ice cream. Jonathan balas menatap Bianca lembut. Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Iya, tapi bukan buat gua sih. Ini, nih, buat cewe yang ngidam es krim sampe bengong." Bianca menatap malas cowok yang baru saja menyindirnya terang-terangan begitu. Bianca bukan gadis bodoh, tentu ia tau bahwa sindiran Jonathan ditujukan padanya. "Ngga jelas." Karena gemas, Jonathan mencubit ujung hidung Bianca dengan sedikit tenaga, "Lo yang ngga jelas, Ca. Looo." Ucap Jonathan gemas, ia benar-benar menyukai bagaimana ekspresi Bianca yang sedang kesal. Mungkin membuat gadis itu kesal atau marah akan menjadi hobinya mulai sekarang. "Apaan si, Jo! Sakit!" Sumpah ya, Bianca ngga nyangka Jonathan akan berani menyentuh hidungnya. Apa lagi nada cowok itu yang terkesan... Emmm... Mungkin gemas, tapi Bianca ragu. Jonathan semakin gemas saat Bianca tanpa sadar memajukan bibir pinknya yang tidak dioles apapun. "Ngga usah manyun-manyun, gua gigit ntar bibir Lo." Mata Bianca membesar sempurna mendengar ucapan Jonathan, cowok itu gila ya? Baru mulut Bianca terbuka hendak membalas ucapan Jonathan, suara seorang laki-laki lain membuatnya terhenti, membuat atensi dua manusia itu beralih padanya. Mas-mas tukang ice cream. "Ini, dek, es krimnya udah jadi." Bianca terkesiap melihat seorang pemuda tampan yang mungkin hanya beberapa tahun di atasnya memberi ia ice cream. Apa diumur semuda ini ia diharuskan untuk bekerja? Masalahnya mukanya ganteng banget, badannya pun bagus, terlihat dari bahunya yang lebar dan bidang. Ini mah ngga cocok jadi tukang ice cream, cocoknya mah jadi model ice cream, atau aktor, baru cocok. "Ambil, Ca." Suara Jonathan mampu membuat Bianca tersadar dari lamunannya, emang ya cowok itu, ngga tau situasi banget. Dia ngga tau apa ya Bianca sedang mengagumi ciptaan Tuhan. Dengan segera Bianca mengambil ice cream berwarna hijau, putih, dan pink yang tersaji dalam cone cukup besar. Bianca kembali dibuat terkesima, ice cream ini keliatan enak banget, cantik. Warnanya yang cerah dan topping yang berlimpah membuatnya semakin menggoda. Siraman saus cokelat, maple syrup, dan selai buah tercampur dalam ice cream tersebut, aneka topping yang ikut mempercantik tampilannya, biskuit, cokelat dan permen warna-warni berpadu sempurna pad ice cream tersebut. Ini gede dan banyak banget. Ngeliat ice cream yang bagus banget begini, Bianca malah jadi ngga tega mau makannya... "Berapa, mas?" "Delapan puluh ribu, mas." Wow, harganya pun sama cantiknya dengan ice cream tersebut. "Ini, mas. Kembaliannya ambil aja." Jonathan memberi selembar uang seratus ribu pada mas-mas tersebut dan diterima dengan senang hati olehnya. Jonathan hendak menarik tangan Bianca agar makan di motornya saja, namun gadis itu lebih dulu menghentikannya dan menatap pada mas-mas tersebut. "Mas namanya siapa?" Dua cowok disitu membulatkan matanya kaget mendengar pertanyaan acak dan tiba-tiba dari satu-satunya gadis disini. Ini Bianca sehat kan? "Eh? Saya Melvin, mba." Jawab mas Melvin kikuk. Bianca mengangguk, kemudian menatap Melvin dengan sendu. "Mas kerja disini ya mas? Ngga kuliah? Atau kuliah sambil kerja?" "E-eh?" Melvin tersenyum canggung menerima pertanyaan random dari gadis itu. "Saya kerja sambil kuliah, mba." "Ya ampun, pasti capek banget ya, mas? Pulang kuliah langsung kerja, selesai kerja masih harus nyelesaiin tugas. Mas tinggal sendiri?" "Apaan sih, Lo, Ca. Udah ah, balik." Dengan sigap Bianca menghempas tangan Jonathan, lalu kembali menatap iba pada Melvin, membuat Jonathan menatapnya tak percaya. Gadis ini. Merasa ditatap intens oleh Bianca, Melvin jadi salah tingkah sendiri. Ini cewek natapnya dalem banget coy, mata matanya berbinar-binar gitu, bukan berbinar sih, kaya hampir nangis. "Engga ko, mba, ngga begitu cape." "Ya ampun." Bianca memekik sedikit kencang, tidak sampai membuat orang-orang menatapnya aneh, tapi bisa membuat dua cowok itu terlonjak kaget. "Mas Melvin kuat banget. Mas tinggal sendiri kah? Dimana? Atau bareng orang tua? Kesepian ngga, mas?" Sumpah ya, Jonathan udah nahan diri banget biar ngga benar-benar nyeret Bianca. Bahkan ice cream yang sedari tadi ia pengen dihiraukan begitu saja. "Saya sama keluarga, mba. Puji Tuhan ngga kesepian." Jawab Melvin ramah, walau ia sudah curi-curi pandang tidak enak ke Jonathan, muka cowok itu udah ngga enak banget. "Sejak kapan kerja disini, mas? Part time? Boss-nya mana?" "Eh? Ini toko kecil-kecilan punya saya sendiri, mba. Udah lama juga sih disini, hampir setahun." Sekarang gantian, Bianca yang hampir terlonjak karena kaget. "Lho jadi ini toko mas sendiri?" Dan dijawab anggukan oleh Melvin. Sumpah Bianca malu banget, mana sampai nanya-nanyain boss dan rasa kasihan lagi. "Ekhm, ekhm." Bianca batuk sedikit, berusaha mengurangi rasa malu yang membuat pipinya memerah. "Wah hebat banget ya mas, masih muda udah buka usaha. Mas jualan es krim doang? Atau udah buka toko lain? Jadi penghasilan cuman dari toko ini?" "Ah itu, saya punya cafe yang udah jalan tiga tahunan, toko es krim ini iseng-iseng aja karena adik saya suka es krim." Bianca semakin menatap Melvin kagum, tidak sadar bahwa laki-laki disebelahnya hampir meledak. Selain bosan, entah kenapa Jonathan ngga suka melihat interaksi Melvin dan Bianca. Apa lagi melihat bagaimana Bianca menatap Melvin. "Mas Melvin keren banget sumpah deh." Bianca memberi satu jempolnya pada pemilik toko itu, kemudian tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. "Saya Bianca, mas. Oh iya, mas umur berapa sekarang?" "Udah lah, Ca." Percuma Jonathan, Bianca ngga akan peduli. Bianca tau ini ngga sopan, berlebihan banget malah. Tapi yang namanya rezeki ngga boleh disia-siakan begitu aja dong, ini kesempatan besar buatnya bisa kenala sama cowok keren dan ganteng kaya Melvin. Dengan ragu Melvin membalas uluran tangan Bianca. "Saya umur dua puluh tahun, salam kenal mba Bianca." "Waaaahhh!" Kali ini semua pasang mata menatapnya heran, suara pekikan gadis itu benar-benar nyaring. "Kita cuman beda empat tahun lho, mas. Saya enam belas, masih SMA juga sih, hehe." Cengir gadis itu. Melvin hanya tersenyum maklum, mungkin emang anak seumuran Bianca sedang dalam fase kepo seperti ini. "Santai aja mas, ngga usah manggil mba lagi, Bianca aja. Bisalah kita kontak-kontakan, mas, hehe." Tolong kali ini Jonathan ngga tahan, malu banget dia. Melvin mukanya sih santai dan biasa-biasa aja, tapi Jonathan yakin dia sedikit risih, apa lagi Bianca bar-bar banget nanyanya. Sebenarnya dari tadi ia tidak cemburu, tapi memang agak tidak suka aja, Jonathan cuman ngga enak, lebih ke malu ngeliat Bianca yang seperti ini. Ngapain juga dia cemburu? Suka sama Bianca aja ngga. "Udah, Ca. Lo malu-maluin banget sumpah." Jonathan pengen langsung narik Bianca, tapi anak itu lagi megang ice cream, ntar tumpah dia juga yang ribet. Ngeliat gimana Bianca selama ini, bukannya ngga mungkin kalau gadis itu nangis karena ice creamnya jatuh, ya paling-paling itu anak ngambek lah. "Apaan sih, Lo. Gua mau kenalan doang sama mas Melvin elah." Kesal Bianca, ia menatap Jonathan tajam dan menuntut, seolah-olah berkata untuk diam dan membiarkan Bianca menjalankan aksinya. "Eh, manggilnya Melvin biasa aja, Ca." Aneh rasanya bagi Melvin menyebut Bianca seperti itu. Bianca beralih dan menatap Melvin dengan senyum mengembang. "Jangan dong, ngga enak, kan lumayan juga empat tahun. Kalo kakak aja gimana? Kak Melvin." Bianca tertawa sendiri mendengar ucapannya, lucu aja menayangkan ia akan terus memanggil Melvin dengan sebutan kak. "Yaudah terserah. Eh ini kalian beli es krimnya satu aja? Pacarmu ngga dikasih? Udah habis lho." Ucap Melvin. Dari tadi mereka ngobrol Bianca asik memasukan ice crema tersebut ke dalam mulutnya. Dan sekarang sudah tinggal conenya, setengah pula. "Noh kan abis! Ah Lo gimana sih, Ca! Pulang aja lah kita!" Bianca menatap Jonathan tajam. "Kan Lo yang bilang itu buat gua? Ya gua abisin lah. Apa-apaan Lo minta pulang, kita ngga serumah ya." Bianca menatap Melvin sama seperti Jonathan, ia tidak terima. "Pacar apaan, kak? Dia mah babu aku." Jonathan melotot tak percaya, Bianca menyebutnya babu? Di depan Melvin? Segera ia mengapit kepala gadis itu dengan tangannya. "Kurang aja Lo! Bang, kita pergi dulu ya, thank buat es krimnya." Bianca segera memberontak setelah mendengar perkataan Jonathan. Enak aja asal pergi, belum selesai, nanggung banget ini, tinggal tukeran id atau i********:. "Ngga mau! Lepas, heh!" Jonathan tidak peduli, ia tersenyum tidak enak pada Melvin sebelum menarik paksa Bianca pergi dari toko ini. Gadis ini benar-benar memalukan. "KAK MELVIN JANGAN LUPA CHAT AKU YA!" Bianca teriak sekencang mungkin sambil menyebutkan akun Instagramnya, mungkin kalau bertukar id masih terlalu dini. "SIP!" Semua orang disitu menatap Jonathan dan Bianca heran. Dua anak SMA yang masih mengenakan seragam berkeliaran di kawasan mewah seperti ini, sambil teriak-teriak lagi. Jonathan malu banget pas banyak yang ngeliatin mereka gini, ia terbiasa jadi pusat perhatian, tapi kalau jadi pusat perhatian karena begini mah malu-maluin doang. Jadi ia mengeratkan apitannya dan mempercepat jalannya, membuat Bianca sedikit kesusahan hingga harus berlari kecil. "Lucu..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN