13 |TUKANG ISENG

1163 Kata
Hari berganti demi hari hingga tidak terasa sudah mencapai akhir pekan di mana waktunya bagiku dan kak Aldi bertemu. Jam sembilan pagi ini, aku telah mandi, memakai baju paling bagus, menyemprot tubuhku dengan parfum supaya wangi lalu yang terakhir tinggal mengucir rambut dan berdandan natural. “Kamu sangat bersemangat sekali hari ini,” cibir Mas Ser yang sejak tadi sudah berbaring santai di atas kasurku sambil menontonku berdandan. “Iya dong, hari ini kan kita akan ketemu kak Aldi.” Aku terkikik sendiri saking senangnya sebentar lagi bertemu calon pacar. “Bagaimana penampilanku?” Aku memutar tubuh menghadap Mas Ser untuk meminta pendapatnya. Mas Ser mengamatiku mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala, kemudian berkomentar santai, “Jelek.” Mataku membulat kaget. Jeleek? Astaga, padahal aku sudah berdandan secantik mungkin, juga memakai pakaian terbaikku hari ini. Lantas mengapa Mas Ser bilang aku jeleek? “Mas Ser sengaja bilang aku jeleek biar aku sedih kan?” Wajahku memberenggut. “Enggak, emang jeleek Jeha. Aku berkata jujur,” timpal Mas Ser yang semakin membuatku bertambah sedih. Mas Ser turun dari ranjang dan berjalan mendekatiku. “Biar aku pilihkan baju dan memberimu instruksi berdandan. Jangan khawatir, aku akan mengubahmu menjadi cantik. Kamu bersedia?” Mas Ser menaik-turunkan alisnya. Terlihat tidak meyakinkan, tetapi dia dan kak Aldi sama-sama bergender laki-laki jadi pilihan Mas Ser pasti tepat. Setelah menimang-nimang, aku akhirnya setuju dan mengangguk. “Oke, aku setuju!” *** “Astagfirullahaladzim Jeha!” Mama menyebut nama Tuhan didetik pertama melihatku. “Kamu mau pergi ke Carnaval kok penampilan kayak ondel-ondel begitu?” lanjut Mama, setengah menyindir. Seburuk itukah penampilanku hingga Mama bilang mirip ondel-ondel? Tapi Mas Ser bilang aku sudah perfect sehingga tak perlu berkaca. “Aku jeleek banget ya Ma?” Aku bertanya balik pada Mama. “Bukan cuma jeleek, warna baju kamu juga nih! Udah kayak pisang goreng lagi jalan-jalan!” sahut mama, tega sekali membandingkan aku dengan pisang goreng. Wanita paruh baya itu kemudian mengambil sesuatu dari kamarnya kemudian menyodorkan sebuah kaca di depanku yang langsung membuatku menjerit, “Huaaaaaa... MAS SER NYEBELIN!” Aku kembali menuju kamar dengan langkah mengentak-entak menahan emosi. Dan sampai di dalam kamar, aku melihat Mas Ser sedang tertawa terpingkal-pingkal sampai gulung-gulung di lantai. Haish! Dasar siluman serigala gatau diri! “Mas Ser tega banget make up’in aku kayak ondel-ondel! Baju warna kuning ini juga! Bukannya secerah matahari kayak yang Mas Ser bilang, mama malah ngomong kalau Jeha mirip pisang goreng!” Aku mengomel seraya berdecak pinggang menatap Mas Ser garang. Tetapi bukannya merasa bersalah, Mas Ser justru bertambah keras tertawa. Mas Ser pasti balas dendam karena beberapa hari yang lalu sudah aku isengin. Oke fix, kalau memang begitu kenyataannya, lain kali aku bakal balas isengin dia juga. Sekarang bukan waktunya aku mengomel panjang lebar, aku harus cepat-cepat ganti baju dan berdandan lagi karena waktu ketemuan dengan kak Aldi sudah mepet. Kami janjian pukul 10.00 pagi sementara sekarang sudah pukul 09.50 tinggal sepuluh menit lagi, aku tidak boleh sampai terlambat atau kak Aldi bisa marah karena dibuat menunggu terlalu lama. *** Pada akhirnya aku sampai di Taman Merpati walau terlambat lima belas menit karena Mas Ser mendadak tidak mau ikut hingga akupun terpaksa harus menyeretnya dengan tali yang kuikat di lehernya. Kak Aldi bersama anjing pudel berwarna putih miliknya terlihat sudah berada di sana lebih dulu. “Hai kak, maaf ya kalau telat,” sapaku dengan dahi berkeringat akibat lelah menyeret Mas Ser sampai ke sini. “Iya santai aja, tapi kamu baik-baik aja kan? Kok kamu keringetan gitu,” balas kak Aldi, ternyata menyadari peluh yang membanjiri pelipisku. “Tadi Mas Ser tiba-tiba gamau ikut, karena sudah janji sama kak Al jadinya aku seret dia ke sini hehe.” Aku berusaha menyembunyikan keletihanku sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mas Ser untuk memelototinya. Andai saja Mas Ser tidak menyusahkanku hari ini, sudah pasti pertemuanku dengan kak Aldi akan berjalan lancar-lancar saja. “Ini anjing kakak? Lucu banget, namanya siapa?” Aku berjongkok di depan anjing pudel milik kak Aldi yang tampak ramah setelah kuusap-usap bulunya. “Namanya Emiko, aku biasa memanggilnya Emi.” “Halo Emi, salam kenal. Namaku Jeha. Oh ya, kenalkan anjingku itu namanya Mas Ser.” Aku mengenalkan Emi pada Mas Ser, lalu seolah mengerti dengan ucapanku, Emi mendadak menggonggong menghadap Mas Ser dengan suara menggemaskan. “Haugkk… hauggkk…” “Emi sepertinya menyukai Mas Ser,” tebak Aldi yang langsung dibalas tajam Mas Ser yang seakan tidak setuju dengan pernyataannya. Sedangkan aku menyahut dengan antusias, “Kau benar, mereka bisa jadi pasangan.” “Ide yang bagus!” timpal kak Aldi. Yang lagi-lagi dibalas pelototan tajam dari Mas Ser. Mas Ser menggonggong dengan sangat keras untuk menunjukkan penentangannya. Aku tahu betul Mas Ser tidak menginginkan hal itu, namun setelah mengerjaiku habis-habisan tadi—kini aku akan balas dendam padanya dengan memanfaatkan keberadaan Emiko. “Mau kawinkan mereka sekarang?” tandasku sambil menatap kak Aldi untuk meminta pertimbangan. Kak Aldi tertawa sejenak, “Haha, tidak semudah itu Jeha. Mereka baru saja bertemu, mungkin ada baiknya kita ajak mereka jalan-jalan dulu supaya lebih akrab,” tuturnya. “Baiklah.” Kepalaku mengangguk, lalu kami berdua jalan-jalan sambil membiarkan Mas Ser dan Emiko berjalan sejajar. Aku tidak tahu bahasa anjing, dan tidak tahu apakah Mas Ser paham apa yang sedang dibicarakan Emiko karena sepertinya anjing betina itu terus saja mengoceh seolah sedang mengajak Mas Ser mengobrol. “Mau beli es krim?” Fokusku pada Emiko dan Mas Ser seketika buyar ketika kak Aldi berhenti dan menawari es krim. “Boleh kak.” “Minta tolong jagain Emiko yah, aku beliin kamu es krim dulu.” Kak Aldi menitipkan anjingnya padaku sebelum kemudian berpamitan pergi ke kedai es krim yang berjualan di seberang taman. Sisa kami bertiga, akupun membawa Emiko dan Mas Ser menunggu di kursi taman dekat kolam ikan. “Emi bicara apa sejak tadi?” tanyaku pada Mas Ser. Mas Ser menjawab, “Dia tahu kalau aku bukan seekor anjing.” “Emi tahu?!!” Aku memekik sebab terkejut, lalu buru-buru menutup mulut saat sadar sudah bicara terlalu keras. “Dari tadi dia berceloteh menanyakan kenapa seekor serigala sepertiku bisa ada di kota dan berpura-pura menjadi anjing peliharaan gadis jeleek sepertimu,” ujar Mas Ser. “Kamu mengataiku gadis jeleek?” Aku menunjuk wajah Emiko dengan kesal, sementara anjing pudel itu hanya diam saja menatap bingung diriku. “Ah, Mas Ser pasti membohongiku kan? Ayolah! Berhenti mengerjaiku!” Kepalaku berpindah menatap Mas Ser dengan raut galak. Sedangkan Mas Ser terkekeh melihat ekspresiku. “Iya-iya, Emi tidak bilang kamu jelek.” Otomatis aku mencondongkan tubuh ke arah Mas Ser untuk kembali bertanya, “Lalu dia bilang apa?” “Dia bilang… kamu cantik,” ungkap Mas Ser dalam jarak cukup dekat dengan wajahku. Dan entah bagaimana bisa jantungku langsung berdetak tak karuan pasca Mas Ser mengatakan aku cantik. Apa aku sudah tidak waras? Berdebar hanya karena seekor siluman serigala memujiku cantik. Well… walau sebenernya Mas Ser tidak sedang memujiku melainkan hanya mengatakan apa yang Emiko katakan tentangku. BERSAMBUNG...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN