“Cowok yang tadi nyapa kamu di gerbang kampus, dia orang yang kamu suka?” Mas Ser bertanya ketika kami baru sampai rumah setelah sebelumnya puas makan sate kelinci bersama Rossa di Mang Sate favorit.
“Namanya kak Aldi, dia kakak tingkat aku di kampus,” jawabku disela kegiatan melepas sepatu di kursi teras rumah.
“Jadi kamu suka sama kak Aldi?” Mas Ser bertanya lagi karena aku belum menjawab inti pertanyaannya.
Rasanya malu saja harus mengakui perasaanku di hadapan Mas Ser yang masih berstatus orang baru. Alhasil akupun hanya mengangguk dengan pipi merona lalu kabur masuk ke dalam agar Mas Ser tidak melihat tingkah malu-maluku bila diingatkan soal kak Aldi.
“Jeha sudah pulang? Makan dulu Nak,” kata mama Affa saat tidak sengaja berpapasan denganku di pintu masuk.
“Jeha udah kenyang Ma, tadi abis nraktir Rossa sama Mas Ser makan sate kelinci,” jawabku kemudian berlalu ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki.
“Oh iya, tadi Mas Ser gonggong terus ke mama kayak minta izin buat pergi. Dia jemput kamu ke kampus toh Jeh?” Mama Affa bertanya di depan pintu kamar mandi.
Aku yang masih mampu mendengar pertanyaan mama lantas berteriak dari dalam, “Iya ma. Mas Ser jemput Jeha ke kampus.”
“Mas Ser anjing yang setia ya Jeh, beruntung banget kamu punya anjing penjaga pintar kayak Mas Ser,” komentar Mama setelah aku keluar dari dalam kamar mandi.
“Iya Ma, Jeha emang beruntung banget punya hewan peliharaan kayak Mas Ser,” sahutku dengan senyum mengembang.
Pandangan Mama kemudian berpaling ke arah lain seolah mencari seseorang. “Terus Mas Ser sekarang di mana Jeh?”
“Ada kok, tadi ikut pulang bareng Jeha. Masih duduk di depan teras mungkin,” balasku acuh tak acuh lalu memilih pergi menuju kamar untuk berganti pakaian dan merebahkan diri sambil main handphone di kasur tercinta.
Beberapa saat kemudian usai aku berganti pakaian dan ingin membaringkan badan ke atas kasur, pintu kamarku tiba-tiba terbuka dan muncul mama dibaliknya. “Jeha! Mas Ser hilang!”
Mataku membulat, “Mama bercanda? Tadi Mas Ser pulang sama Jeha kok, suerr aku nggak bohong!” timpalku, mendadak khawatir dengan Mas Ser.
“Iya tapi sekarang Mas Ser nggak ada, mama udah cari di sekitar rumah tapi belum nemu.” Mama berujar panik, lalu menyuruhku, “Mama harus jagain Hannah, buruan kamu yang cariin Mas Ser sana!”
Aduh, ada-ada aja sih Mas Ser pakek ngilang. Sudah hampir menjelang Maghrib lagi. Mau tak mau pun, aku harus mencari Mas Ser keluar sebelum langit berubah gelap. “Oke deh Ma, Jeha cari Mas Ser dulu.”
“Iya, hati-hati yah.”
“Siap bu bos!”
***
Aku sudah keliling komplek perumahan menggunakan sepeda ontel mencari Mas Ser tetapi masih tidak aku temukan juga. Di daerah sini tidak ada perkebunan atau hutan tempat favorit Mas Ser melarikan diri sehingga aku bingung harus mencarinya ke mana.
Pandanganku kemudian tak sengaja melihat ke arah orang-orang yang berkerumun di salah satu toko buku yang berada di dekat area perumahan. Mungkin saja Mas Ser ada di sana, akupun mengayuh pedal sepedaku ke sana untuk mencari tahu.
Ternyata sedang ada diskon besar-besaran untuk semua buku yang dijual di sana dan batas waktunya hanya sampai pukul 18.00 alias bakda Maghrib nanti. Wah sayang banget nih kalau dilewatkan begitu saja.
Akupun merogoh saku celanaku dan hanya menemukan selembar uang sepuluh ribu rupiah di sana. Astaga, meskipun sedang diskon tapi emang ada buku yang dijual dengan harga segini?
“Mbak, ada buku yang harganya 10 ribu nggak sih?” tanyaku pada penjual toko buku di sana.
Dengan ramah mbak penjual itu menjawab, “Ada kok mbak. Semua buku kategori dongeng anak-anak harganya cuma 10 ribu saja.” Mbak penjual menunjuk bagian rak yang dimaksudkannya.
Aku mengangguk berterima kasih kemudian berjalan ke rak yang ditunjuk. Ternyata masih ada buku yang dijual dengan harga 10 ribu di sini, tapi sayangnya hanya kategori buku dongeng anak-anak.
Ya kali’ aku yang sudah umur 20 tahun mahasiswa semester enam bacaannya dongeng anak-anak. Aku hampir ingin mengurungkan niat untuk membeli namun ketika melihat buku berjudul ‘Pangeran Kodok’ aku mendadak teringat tentang janjiku pada Mas Ser agar membantunya berubah menjadi manusia.
“Beli buku yang ini mbak.” Aku kembali ke meja kasir setelah memutuskan membeli buku dongeng Pangeran Kodok.
Keluar dari toko buku, aku meletakkan buku yang baru saja aku beli ke dalam keranjang sepeda lalu naik ke sepeda untuk melanjutkan misi mencari Mas Ser lagi. Dari kejauhan, mataku tidak sengaja melihat Mas Ser yang sedang membawa kantung plastik dengan cara digigit di mulutnya.
Aku kemudian diam-diam mengikutinya karena penasaran akan pergi kemana Mas Ser dengan membawa kantung plastik seperti itu. Sesampainya di depan halaman sebuah rumah, Mas Ser menyerahkan kantung plastik itu ke seorang nenek-nenek yang terlihat sangat senang setelah menemukan kembali kantung plastik yang ternyata berisi bahan belanjaannya yang tertinggal.
“Kamu anjing yang baik, terima kasih yah,” kata nenek tersebut setelah barangnya dikembalikan oleh Mas Ser.
Mas Ser menjawabnya dengan gonggongan dan mengibaskan ekor tanda bahwa dia juga senang membantu. Mas Ser kemudian pamit dan berbalik meninggalkan rumah sang nenek, sebelum akhirnya menyadari keberadaanku yang sedang mengawasinya dari dekat lampu merah.
Senyum yang terlukis di bibirku bahkan tak digubris sedikitpun oleh Mas Ser. Mas Ser juga sengaja mengabaikan keberadaanku dan lewat begitu saja seolah tak melihatku ada di sana.
Kupikir dia sedang menyimpan amarah padaku. Wait? Memangnya aku salah apa?
“Mas Ser tunggu!” Aku mengejar Mas Ser menggunakan sepeda karena dia berlari cukup cepat.
Mas Ser berlari ke lapangan berumput yang biasanya digunakan warga lokal sebagai tempat bermain sepak bola. Kami yang sama-sama kelelahan akhirnya duduk di atas rerumputan sembari menikmati keindahan langit senja.
“Mas Ser marah sama aku?” tanyaku setelah kami cukup lama larut dalam keheningan.
“Entahlah,” jawabnya tanpa repot-repot mau memandang wajahku.
“Kenapa? Apa aku ngelakuin kesalahan?” Aku bertanya lagi sambil menelengkan wajah menghadapnya supaya Mas Ser melihatku.
“Kau memanfaatkan keberadaanku untuk dekat dengan laki-laki yang kamu suka dan menganggapku sebagai boneka peruntunganmu.” Mas Ser menjawab dengan raut kesal.
Aku lantas tidak bisa menahan tawa yang seketika meledak. “Hahaha!”
“Apa perkataanku lucu bagimu?!” tandas Mas Ser, tidak suka karena merasa sedang kutertawakan.
Kepalaku menggeleng, “ Tidak-tidak, bukan itu. Lucu saja melihat serigala menakutkan sepertimu sedang ngambek seperti sekarang,” kataku disela tawa yang masih belum mereda.
Wajah Mas Ser memberenggut, “Terserah kamu saja lah.”
“Maaf jika kata-kataku menyakitimu. Tapi sungguh, aku tidak pernah menganggapmu sebagai boneka peruntunganku. Aku mengatakan beruntung memilikimu karena keberadaanmu membuatku bahagia. Terlepas soal kak Aldi, percayalah… aku benar-benar bersyukur bertemu denganmu sejak awal pertemuan kita di hutan.” Kali ini aku berkata dengan serius sambil menatap Mas Ser lekat agar dia bisa melihat kejujuran dari dalam mataku.
Berkat perkataanku itupun, Mas Ser akhirnya bisa kembali tersenyum. “Terima kasih Jeha, maaf sudah salah paham padamu. Tapi jujur saja, aku sangat tidak suka dengan laki-laki yang kamu suka itu!” Ekspresi Mas Ser berubah ketika ia sedang membicarakan kak Aldi.
Aku sontak memicingkan mata padanya, lalu berseloroh, “Kamu cemburu yah?”
Dan aku tidak menduga Mas Ser akan sepanik itu saat kutanya. “Apa? Tidak! Tentu saja tidak! Tidak mungkin aku cemburu, memikirkan nasibku yang dikutuk saja sudah repot mana mungkin aku sempat cemburu padamu!” bantahnya dengan salah tingkah.
Padahal aku hanya sedang bercanda, tetapi Mas Ser sudah sepanik itu. Hahaha, tapi lucu juga sih bisa mengerjai serigala tampan sepertinya.
“Hahaha. Udah deh, ngaku aja. Mas Ser cemburu kan?” Bukannya berhenti, aku malah semakin gencar menggodanya. Hingga tanpa sadar kami menghabiskan waktu dengan adu celoteh saat senja sampai suara azan maghrib berkumandang dan menyadarkan kami berdua agar segera pulang ke rumah.
BERSAMBUNG...