“Let’s go,” gumam Keira sambil meraih tas tangan kecil berwarna nude. Blazer linennya ia selempangkan ke bahu, dan kacamata hitam kembali bertengger di wajah.
Sheena meneguk sisa oat latte-nya sebelum ikut berdiri. “Lo yakin banget nggak mau dessert dulu? Crème brûlée mereka ngalahin yang di Paris, tahu.”
Keira hanya mengangkat alis. “Gue butuh ranjang hotel, bukan gula.”
Mereka meninggalkan kafe bergaya Prancis itu dengan langkah ringan. Mall sore itu tidak terlalu padat, tapi cukup ramai untuk menimbulkan riak tatapan ke arah mereka. Beberapa pengunjung tampak berbisik-bisik. Wajah Keira tampaknya masih jadi headline dunia nyata, bukan hanya media sosial.
Mereka menyusuri koridor utama, melewati etalase butik-butik mewah: Dior, Loewe, Chanel. Namun tidak satu pun menarik perhatian Keira. Segalanya terasa terlalu mengilap untuk hatinya yang belum selesai dipukul kenyataan.
“Gue udah booking suite di Dharmawangsa,” ujar Sheena sambil menoleh ke layar ponsel. “Spa jam lima, dinner room service. Kita healing properly.”
“Perfect,” jawab Keira datar, tapi jujur.
Mereka sudah hampir mencapai lobi utama mall saat terdengar suara langkah tergesa dari arah belakang. Bukan suara hak tinggi—lebih seperti sneakers yang menabrak lantai marmer dengan tergesa-gesa.
Lalu terdengar bisikan. “Itu dia… itu Keira Wiranata.”
Klik. Klik. Klik. Kilatan kamera menyala brutal—cepat dan membabi buta.
Beberapa orang dengan ID pers di leher tiba-tiba mengerubungi mereka. Wartawan, fotografer, entah siapa lagi. Sekitar tujuh orang mengepung seperti kawanan pemangsa.
“Maaf, Mbak Keira!” seorang reporter wanita mengangkat suara sambil mengulurkan mikrofon. “Kami dari PopBuzz. Ada beberapa hal yang ingin kami klarifikasi—”
“Apakah benar Elang Atmadja sudah menjalin hubungan dengan Elin sebelum putus dengan Anda?”
“Benarkah Anda mengetahui soal kehamilan itu jauh sebelum lamaran dibatalkan?”
“Bagaimana respon keluarga Anda terhadap kabar ini?”
“Apa benar Anda mengalami trauma dan memilih menghindari publik?”
“Apakah Anda akan menempuh jalur hukum?”
Keira terdiam. Kilatan kamera menyilaukan matanya. Napasnya tertahan. Dunia seolah menyusut jadi kotak sempit penuh suara dan tekanan.
Sheena langsung bergerak di depannya, berdiri seperti perisai. “Hei! Ini area publik! Mana etika kalian? Mana surat izin peliputan?”
Tapi para wartawan tetap mendesak, seolah keberadaan Keira di tempat umum memberi mereka hak untuk menelanjangi seluruh hidupnya.
Salah satu dari mereka bahkan mencoba menyorongkan kamera lebih dekat, terlalu dekat.
Dan Keira—dalam satu tarikan napas panjang—melangkah maju.
Kacamata hitam ia lepas perlahan, memperlihatkan sorot mata yang tidak gentar. Tatapannya tajam dan tenang, seperti pisau dingin di atas meja marmer.
Kerumunan mendadak sunyi. Hanya suara kamera yang masih sesekali memotret dalam gugup.
“Saya akan bicara satu kali saja,” ucap Keira, nadanya tenang tapi mengandung kekuatan tak terbantahkan.
“Saya tidak akan menjawab apa pun di tengah mall, dikepung kamera, dan diteriaki seperti ini.”
Salah satu wartawan tampak hendak menyela, namun Keira mengangkat tangan—sikapnya tidak mengancam, tapi cukup tegas untuk membuat mereka diam.
“Hidup saya bukan reality show. Ini bukan panggung gosip. Saya bukan public figure yang harus menjelaskan segalanya di ruang publik.”
Napasnya kini stabil. Suaranya tetap tenang.
“Kalau saya punya sesuatu untuk disampaikan, saya akan pilih waktu dan tempat yang pantas. Dan itu… bukan hari ini.”
Ia menatap sekeliling, lalu mengunci tatapan pada kamera utama yang masih menyala. “Tolong hormati ruang pribadi saya. Saya berhak atas itu. Sama seperti kalian.”
Kemudian, tanpa menunggu reaksi, Keira melangkah pergi. Sheena langsung mengekor, menatap tajam ke kerumunan yang mulai bimbang antara bersalah dan masih lapar konten.
Mereka melewati lobi, keluar ke bawah sinar siang yang terik. Suara langkah mereka menelan sisa sorakan.
Begitu sampai di pelataran valet, Keira berhenti sejenak. Mobil Sheena sudah menunggu.
“Masuk,” kata Sheena pendek, membuka pintu.
Begitu duduk, Keira menyandarkan kepala ke kursi. Matanya terpejam. Tangannya sedikit gemetar, tapi wajahnya tetap tenang.
“Hari ini…” gumamnya lirih, “rasanya kayak berdiri di tengah badai tanpa pelindung.”
“Tapi lo berdiri. Dan lo nggak jatuh,” sahut Sheena tanpa menoleh, pandangannya lurus ke jalanan.
Mobil melaju pelan, meninggalkan mall dan semua suara di belakang.
Dan Keira tahu, meski luka itu belum sembuh… hari ini dia menjaga satu hal penting: martabatnya.
Dan itu—lebih dari cukup.
°°°
Langit Jakarta malam itu digantung awan kelabu, seperti sponge basah yang siap meneteskan hujan kapan saja. Di balkon suite 1803, Keira berdiri bersandar pada railing baja, menatap lautan lampu kota yang berpendar bagai bintang-bintang malas. Gaun satin warna espresso membalut tubuhnya dengan lembut, rambutnya diikat asal. Matanya tajam, tapi tenang—seolah badai sudah lewat, dan dia masih berdiri.
Dari dalam ruangan, Sheena muncul sambil menenteng dua gelas wine dan sepotong tart stroberi yang separuhnya sudah dimakan.
“Lo harus minum ini,” katanya sambil menyodorkan gelas. “Kalau nggak buat menenangkan diri, ya buat ngerayain keberhasilan hari ini nyumpel mulut netizen.”
Keira menerima gelas itu, menyesap perlahan. “Pahit. Cocok ama hidup gue minggu ini.”
“Jangan drama, deh. Hidup lo nggak pahit. Hidup lo cuma... sempet kebas dikit.”
Keira tersenyum samar. “Tapi serius, Shen. Gue tadi siang kayak masuk arena gladiator. Wartawan, kamera, suara orang... Gue kira paling parah yang pernah gue alamin tuh Elin ngaku hamil. Ternyata gue salah.”
Sheena menaruh gelasnya di pagar balkon, lalu duduk di atasnya tanpa ragu.
“Ngomong-ngomong soal Elin... dia tuh modalnya apa sih sebenernya? Paras pas-pasan. Otak... nggak usah dibahas. Duit? Boro-boro. Lo inget nggak dulu pas dia pinjem clutch lo buat acara charity kampus?”
Keira tertawa. “Itu clutch belum balik sampe sekarang, by the way.”
“Makanya. Modal traktiran Elang doang, terus dia pikir udah bisa salip lo di tikungan? Please deh. Gue lebih percaya OVO points daripada dia.”
Tawa Keira pecah pelan—tawa yang lebih mirip gumaman geli. Tapi cukup untuk menghangatkan suasana.
“Ada masanya gue mikir, ‘Mungkin gue terlalu baik sama orang kayak dia.’ Tapi sekarang gue mikir… mungkin gue terlalu diem. Gue kasih panggung, dia malah nyolong spotlight.”
Sheena menatapnya dengan senyum puas. “Nah, itu baru Keira. Keira yang gue kenal. Yang bukan cuma cantik, tapi juga tajem.”
Keira meliriknya. “Tajem sampe mana?”
“Cukup tajem buat nusuk balik. Tapi elegan, tetep pake heels dan senyum dikit.”
Keira menyesap wine lagi. Matanya menerawang. “Gue nggak mau jadi korban yang nangis-nangis sambil ngemis simpati. Tapi gue juga nggak bisa pura-pura baik terus.”
Sheena bergeser turun dari pagar balkon, mendekat.
“Gue punya ide. Balas dendam. Tapi versi haute couture.”
Keira mengangkat alis. “Gue udah takut.”
Sheena menyeringai. “Delon Atmadja.”
Sekian detik, Keira terdiam.
“Lo mabuk?”
“Belum,” sahut Sheena santai. “Tapi gue serius.”
“Dia bokap mantan gue, Sheen. Eks bakal calon mertua. Duda. CEO. Kaya. Berkuasa. Dan… bokap mantan gue.” Ulang Keira sambil menekankan setiap kata.
“Dan dia liat lo tadi siang. Bukan sekadar liat. Tatapannya tuh... dalam. Bukan kayak liat mantan calon menantu. Lebih kayak liat... musuh yang seksi.”
Keira mencekikik. “Tolong. Jangan bikin visual nggak perlu.”
“Gue cuma bilang fakta. Lo liat dia juga, kan? Jangan bilang nggak ada chemistry dikit.”
“Kalaupun ada... itu bakal jadi masalah.”
“Justru itu poinnya.” Sheena sudah berdiri sekarang, berpose dramatis seperti presenter reality show. “Lo dateng ke satu gala amal. Formal. Kelas atas. Ada Delon. Lo dateng. Dengan gaun terbaik lo. Lo senyum sedikit, angguk halus, maybe toast sama dia. Satu malam. Dunia langsung muter.”
Keira terdiam. Separuh kaget ide itu muncul. Separuh... tertarik.
Sheena menatapnya penuh harap. “Lo nggak harus pacaran. Lo cuma tampil. Eksis. Dan biarin mereka—keluarga Atmadja, netizen, Elin, bahkan Elang—ngira-ngira. Biarkan mereka panas sendiri.”
Keira menatap ke arah lampu kota, lalu bicara pelan. “Gue nggak percaya gue pertimbangin ini.”
“Tapi lo pertimbangin, kan?”
Diam. Satu senyum. Lalu anggukan kecil.
“Gue pengin mereka ngeliat gue… dan ngerti. Mereka salah milih musuh.”
Sheena mendekat dan mengangkat gelasnya. “To the return of Queen Keira.”
Keira ikut mengangkat gelas. “To karma. Dalam balutan Dior.”
Dari luar, suite itu hanya salah satu ruangan mewah di hotel elit Jakarta. Tapi di dalam, rencana sedang dirajut—bukan dengan amarah membabi buta, tapi dengan ketenangan, gaya, dan sedikit sentuhan wine.
Dan dunia akan melihat: Keira Wiranata nggak bangkit buat minta maaf.
Dia bangkit untuk diingat.
°°°
Sementara sisa wine mendingin di dasar gelas Keira, dan niat mulai bertunas diam-diam di benaknya…
Di sudut lain Jakarta, rumah keluarga Atmadja berdiri tenang di antara pepohonan tua dan tembok tinggi berlumut bersih. Di dalam, segalanya tampak sempurna: marmer lantai berkilau, lampu gantung seperti hujan kristal, dan meja makan panjang dari kayu jati yang sudah melewati tiga generasi. Tapi malam ini, yang tersisa hanya sunyi. Dan ketegangan.
Delon duduk di ujung meja, dengan laptop terbuka di depannya. Wajahnya serius, tapi tidak marah. Lebih seperti lelah menghadapi satu lagi halaman berita yang tidak dia pesan.
Di seberang meja, Elang duduk sembarangan. Lengan bajunya tergulung, dasi melorot seperti tidak sempat dilepas dengan benar. Sorot matanya gelisah, meskipun mulutnya berusaha terlihat tenang.
“Pa, makan malamnya sama keluarga Wiranata... batal,” ucap Elang akhirnya, pelan.
Delon tidak langsung bereaksi. Ia hanya mengangkat pandangan dari laptop, lalu memutar kursinya sedikit.
“Kenapa?”
Elang menggaruk tengkuk. “Katanya... suasananya nggak kondusif. Keira barusan diserbu media, dan mereka nggak mau bikin suasana makin... canggung.”
Delon mengangguk pelan. “Padahal Papa udah siapin semuanya. Hubungi restoran, janjian sama Pak Wiranata sendiri...”
Ia menatap layar laptopnya lagi, yang masih menampilkan cuplikan tayangan Keira di mall—dikerubungi wartawan, tapi tetap tenang.
“Hidup saya bukan reality show. Ini bukan panggung gosip. Saya bukan public figure yang harus menjelaskan segalanya di ruang publik.”
Delon menatap layar sesaat lebih lama, lalu bicara pelan. “Keira itu... cara ngomongnya rapi, tegas. Nggak perlu teriak-teriak buat kelihatan kuat.”
Elang hanya bisa mengangguk. Tak ada gunanya menyangkal.
Delon menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Kamu sadar nggak sih, Lang... seandainya kamu nggak macam-macam, semua ini nggak bakal kejadian. Papa nggak harus dealing sama media, klien, saham—semua gara-gara keputusan impulsif kamu.”
“Pa, aku udah bilang, aku nggak niat bikin rusuh. Elin tuh... ya, kejadiannya ngalir aja,” jawab Elang cepat, tapi tanpa pembelaan agresif.
“Ngalir?” Delon menoleh. “Ini bukan air terjun, Lang. Ini hidup. Kamu nggak bisa asal ambil jalan terus berharap orang lain yang beresin.”
Ia berdiri, berjalan ke rak kecil di sisi ruangan, lalu mengambil map cokelat. Diletakkannya di depan Elang dengan bunyi tap yang cukup untuk membuat jantung tidak nyaman.
“Elang... tiga proyek bareng Wira Group batal. Tiga. Dan alasannya bukan teknis. Semua karena reputasi.”
Elang membuka map itu perlahan. Dokumen pembatalan kerja sama. Memo dari mitra bisnis. Catatan internal PR.
“Cuma gara-gara satu momen di depan kamera,” lanjut Delon, nada suaranya lebih pelan. “Keira diem. Tapi diam dia bikin kita semua keliatan bodoh.”
Elang menunduk. “Aku tau ini semua salahku... Tapi Pa, aku juga nggak bisa ninggalin Elin gitu aja. Dia hamil.”
“Nggak ada yang nyuruh kamu ninggalin,” kata Delon, sambil mengangkat alis. “Tapi dari semua perempuan yang pernah kamu deketin, cuma Keira yang kuat di mata publik. Yang bisa mikir panjang. Yang nggak bikin Papa harus keluar duit buat nutupin skandal.”
Ia menarik napas pelan. “Dan kamu, malah ninggalin dia.”
Sunyi sebentar. Elang menunduk lebih dalam.
“Besok kamu ketemu tim legal. Biar kamu ngerti posisi kita, dan tanggung jawab kamu. Malamnya, kamu telpon Pak Wiranata. Jelasin kondisi kita. Minta maaf kalau perlu. Jangan kayak anak kecil ngumpet di belakang nama keluarga.”
Delon berjalan pelan ke arah tangga, lalu berhenti di anak tangga pertama. Ia tak menoleh, tapi suaranya terdengar jelas.
“Dan satu lagi, Lang... Kalau kamu masih pikir semua ini cuma urusan ‘cinta-cintaan’—kamu belum siap ngurus warisan ini.”
Langkah kakinya kemudian menghilang di atas.
Sementara Elang tetap di bawah. Di antara tumpukan dokumen, bayang-bayang nama besar... dan diam Keira yang ternyata lebih memekakkan dari teriakan siapa pun.