Butik eksklusif di kawasan SCBD itu dipenuhi aroma mawar putih dan cahaya lembut dari chandelier kristal yang menggantung di langit-langit tinggi. Rak-rak berisi gaun haute couture berdiri berjajar seperti koleksi rahasia para putri kerajaan—kain satin, silk, dan organza seolah berbisik tiap kali disentuh.
Keira berdiri di depan cermin raksasa dengan bingkai emas antik. Gaun off-shoulder blush-rose melingkupi tubuhnya bak cairan lembut, dengan siluet yang jatuh sempurna mengikuti setiap gerakannya. Mantel bulu abu pucat yang menggantung di bahunya menjadikannya tampak seperti socialite dari era Gatsby yang tersesat di dunia modern. Liontin berlian mungil menghiasi leher jenjangnya, sementara anting emas berbentuk bunga bergoyang lembut setiap kali ia menoleh.
Di sofa beludru navy yang elegan, Sheena duduk menyilangkan kaki, mengenakan setelan jumpsuit satin midnight blue dengan cut-out halus di bagian pinggang. Mantel bulu hitam dilipat rapi di sampingnya. Rambutnya disanggul sleek tinggi dengan beberapa helaian tipis jatuh dramatis di sisi wajah. Di lehernya, kalung mutiara bertumpuk tampak kontras namun anggun.
“Gue kasih nilai sembilan koma delapan,” ucap Sheena sembari menyeruput kopi iced oat latte dari gelas kaca kristal. “Dua poinnya dipotong karena lo kelihatan terlalu mahal buat negara ini.”
Keira menoleh dengan senyum kecil. “Too bad ya... gue emang nggak buat konsumsi lokal.”
Mereka tertawa pelan. Momen hangat itu berlangsung beberapa detik... sampai pintu butik terbuka.
Denting bel pintu mengisyaratkan kedatangan tamu baru, dan seperti adegan slow motion dalam film, seluruh ruangan seolah membeku.
Masuklah Elin—dengan wrap dress putih gading dan tas branded yang tampak baru. Wajahnya terlihat ragu, matanya langsung menyapu interior butik. Di belakangnya, Elang. Dingin. Tegang. Seolah menyesali keputusan ikut.
Sheena memutar bola matanya dan mengangguk pelan ke arah pintu. “Well, well... bonus episode.”
Elin melihat Keira. Langkahnya seketika goyah, dan ia tanpa sadar menggenggam tangan Elang.
“Oh—Keira...,” gumam Elin. Suaranya seperti bisikan yang belum matang menjadi permintaan maaf.
Keira tidak menoleh. Ia masih menatap dirinya di cermin, seperti sedang menilai apakah dirinya cukup tak tergoyahkan.
“Wah,” ucapnya datar, “ternyata butik ini makin demokratis, ya.”
Elang mengatur napas, ingin bicara. Tapi belum sempat suara keluar, Sheena berdiri anggun, melangkah ke depan mereka dengan senyum palsu selembut mentega dingin.
“Tenang ya. Kita semua dewasa. Dan kita di tempat umum. Kalau mau ribut, ada waiting list loh,” ujarnya.
Elin mencoba menjaga senyum. “Kita cuma... lihat-lihat.”
Sheena mengangkat bahu. “Oh ya? Cari baju pengantin? Atau dress buat permintaan maaf massal?”
Elang gelisah. “Sheena, please…”
“Please-nya dikirim ke pihak yang bener,” Keira menyela sambil akhirnya berbalik. Wajahnya tenang. Tatapannya seperti es batu dalam gelas whiskey mahal—dingin, mahal, dan nggak bisa ditelan sembarangan.
“Elin,” lanjutnya, “kalau kamu lihat bagian bridal—nggak usah repot. Aku udah hapus namaku dari daftar tamu-tamu palsu.”
Tatapan Keira dan Elin bertemu. Bisu. Tapi jelas. Satu pihak mencoba berdiri. Satunya lagi sudah terlalu tinggi untuk digapai.
Keira berjalan ke arah kasir, mengambil clutch kecil dari meja kaca. Dengan suara tenang, ia bicara ke staf butik.
“Bu Retno, kalau nanti ada yang minta coba koleksi pribadi saya, tolong pastikan mereka punya kapasitas emosional dan moral buat pakai gaunnya, ya. Khususnya yang ivory silk.”
Elin tampak terpaku. Elang menunduk.
Keira menoleh sekali lagi, memberikan senyum tipis ke arah mereka.
“Good luck ya... semoga kebahagiaan nggak datang dari barang yang dulu bukan haknya.”
Ia melangkah keluar butik, bulu mantel berkibar dramatis, dan aroma parfumnya tertinggal samar—mahal dan tak tergantikan.
Sheena menyusul di belakangnya, mengenakan mantel hitamnya kembali, lalu berbisik ke Keira, “Drama dua setengah menit, tapi rasanya kayak standing ovation.”
Keira memasang kacamata hitam oversized miliknya dan melangkah mantap ke trotoar butik.
“Next time,” ucapnya ringan tapi menusuk, “kalau mau rebut tunangan orang, jangan belanja di butik milik mantannya.”
°°°
Malam di ALTOVA, club lounge eksklusif di lantai 49 gedung pencakar langit kawasan SCBD, terasa seperti dunia paralel. Langit malam Jakarta hanya sejauh kaca jendela setinggi langit-langit. Di baliknya, kota memantulkan cahaya bintang buatan: lampu-lampu gedung, billboard LED, dan deret kendaraan yang tak pernah tidur.
Sheena duduk menyamping di sofa marmer putih, mengenakan gaun pendek berbahan velvet hitam dengan lengan panjang transparan dan heels Louboutin merah menyala. Rambutnya ditata gelombang lembut ke belakang, bibir merah darah. Di tangannya, gelas wine yang hanya disentuh, tak pernah benar-benar diminum.
Keira berdiri tidak jauh darinya, berbicara dengan teman-teman mereka—dua wanita muda bergaun sequin dan satu pria flamboyan dengan jas satin biru. Gaun Keira malam itu body-fit warna onyx, dengan punggung terbuka dan belahan paha tinggi. Kalung berlian menggantung di tulang selangkanya, rambutnya ditata elegan dalam messy bun.
Suasana terasa ringan, ramai. Obrolan mereka melayang dari topik pameran lukisan privat di Tokyo hingga rencana summer escape ke Nice.
“Gue beneran capek liat orang ngaku kolektor, tapi lukisannya masih beli yang cetakan,” celetuk salah satu teman mereka.
Sheena menoleh ke Keira. “By the way, lo udah siap ngelepas Jakarta minggu depan?”
Keira mengangguk kecil. “Paris bakal jadi detox yang layak. Selama nggak ada kejutan, ya.”
Tapi, tentu saja, kejutan datang tanpa undangan.
Pintu lounge private terbuka. Seorang pelayan mempersilakan rombongan baru masuk. Sheena—yang duduk menghadap pintu—menegakkan punggungnya.
“Oh wow,” bisiknya pelan ke Keira. “Om kamu nongol.”
Keira menoleh—dan benar saja.
Delon melangkah masuk, mengenakan kemeja hitam dan jas charcoal gelap, elegan seperti biasa. Di belakangnya, dua pria lain yang tampak seperti kolega bisnis. Ia berbicara singkat dengan tuan rumah lounge, lalu pandangannya menyapu ruangan.
Mata mereka bertemu. Sekilas.
Delon sedikit mengangguk.
Dan beberapa menit kemudian, dengan langkah tenang, ia menghampiri Keira.
“Keira,” sapanya, suaranya hangat namun terkendali. “Om nggak nyangka kita ketemu di sini.”
Keira tersenyum kecil, sopan. “Iya, Keira juga nggak nyangka ketemu Om Delon. Aku lagi ada party kecil sama teman-teman kuliah, Om.”
Delon mengangguk sambil melirik sekeliling. “Seru kelihatannya. Dulu kamu nggak terlalu suka suasana begini, kalau nggak salah.”
Keira terkekeh halus. “Mungkin karena waktu itu aku lebih sering fokus ngejar nilai, Om. Sekarang udah lulus, boleh sedikit santai.”
“Aku lihat dari berita... kamu cukup kuat ngadepin semua,” ucap Delon pelan.
Keira menatapnya sebentar, sebelum menjawab tenang, “Kadang kuat itu bukan pilihan, Om. Tapi satu-satunya cara supaya bisa terus jalan.”
Delon menunduk tipis. “Om minta maaf soal pembelaan Om buat Elang di beberapa pemberitaan.”
Keira tersenyum tipis. Tidak menyindir, tidak menghakimi. “It’s okay, Om. Keira ngerti kok. Dunia Om dan dunia Keira kadang beda aturan.”
Delon menatapnya, ada rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. “Tapi Om harap... kamu tetap jaga diri. Kamu gadis yang kuat, dan—jujur aja, Elang kehilangan banyak hal.”
Keira meneguk minuman dari gelasnya. “Mungkin memang harus hilang dulu, supaya bisa ngerti nilainya, ya, Om.”
Mereka terdiam sejenak. Tidak canggung. Hanya... hening yang mengerti.
Sheena muncul kembali, pura-pura batuk kecil. “Maaf, saya harus nyelamatin temen saya dari obrolan berat,” katanya bercanda.
Delon tersenyum kecil. “Senang ketemu kalian, Sheena.”
“Om juga kelihatan sehat dan makin muda,” sahut Sheena sambil memberi anggukan sopan.
Delon tertawa pelan, lalu memberi salam singkat sebelum kembali ke mejanya.
Begitu ia pergi, Sheena menoleh cepat ke Keira. “Oke. Itu tadi... beneran Om lo atau cameo sinetron jam prime time?”
Keira menghela napas panjang. “Kadang yang paling bikin rumit... justru yang nggak pernah jadi musuh.”
Setelah perbincangan dengan Delon usai, Keira dan Sheena kembali larut dalam suasana pesta. Musik lembut dari DJ lokal paling hits mengalun sebagai latar dari tawa-tawa tipis, obrolan mahal, dan suara gelas beradu.
Mereka duduk bersama teman-teman satu angkatan—beberapa di antaranya selebgram seni, pewaris perusahaan otomotif, dan seorang kurator muda yang baru pulang dari Firenze. Topik pembicaraan pun ringan dan absurd: dari wacana buka cabang galeri di Seoul sampai siapa yang seharusnya banned dari private event karena pakai tas KW.
Langit Jakarta di luar jendela kaca seperti layar bioskop yang memutar pemandangan neon metropolitan tak pernah tidur.
Keira merasa nyaman. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bisa tertawa tanpa harus mengukur luka di dadanya. Tapi kenyamanan itu, seperti biasa, hanya sementara.
Dari pintu masuk lounge, Elang muncul.
Kemeja abu gelap dan coat hitam membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Tapi sorot matanya gelisah—jelas sedang mencari. Dan detik itu juga, Keira tahu: malam ini belum selesai.
Sheena, yang melihat lebih dulu, langsung menegakkan punggung. “No way... dia dateng?” bisiknya cepat.
Keira menoleh, dan tanpa disengaja, pandangan mereka bertemu.
Sial.
Elang langsung melangkah cepat, menembus kerumunan tanpa basa-basi. Wajahnya menunjukkan tekad yang Keira hapal betul—keras kepala yang dulu sempat ia cintai, kini hanya jadi pengingat kenapa semua ini berakhir.
Sheena berdiri setengah badan. “Keir, kita keluar. Sekarang. Gue nggak mau lo drama di depan orang-orang kayak begini.”
Tapi Elang sudah berdiri di hadapan mereka.
“Keira, aku cuma mau ngomong sebentar. Please,” ucapnya cepat, napasnya sedikit berat.
Keira tidak langsung menjawab. Ia menatap Elang dengan wajah datar—dingin, tapi lelah. “Lo salah tempat, Lang. Ini bukan momen buat lo monolog.”
“Aku nggak mau ribut. Aku cuma minta lima menit aja.”
“Gue udah cukup denger suara lo di kepala gue. Jadi sekarang, mending lo simpan ‘lima menit’ lo itu buat cewek lo yang baru.”
“Elin bukan alasan aku ke sini,” sahut Elang, nada suaranya mulai memanas. “Aku ke sini buat kamu.”
“Oh, romantis banget,” Sheena menyelutuk tajam. “Munculnya pas pesta orang, pas Keira lagi tenang. Tipikal banget.”
Tangan Elang bergerak, mencoba menahan pergelangan tangan Keira. “Aku serius. Tolong, jangan kayak gini.”
Keira langsung menarik tangannya. “Lo nggak ngerti konsep batas, ya? Ini tempat umum, dan lo bikin gue keliatan drama.”
Beberapa tamu mulai memperhatikan. Bisik-bisik kecil terdengar. Suasana yang semula elegan mulai berubah jadi tegang.
Dan di saat itulah, Delon muncul dari sisi ruangan.
Langkahnya tenang, tapi tegas. Sorot matanya langsung ke arah Elang—tajam, penuh peringatan.
“Elang.”
Suara Delon tidak keras, tapi cukup untuk membuat anaknya menoleh.
“Lepaskan. Sekarang.”
Elang mengatupkan rahangnya, tapi akhirnya melepaskan genggamannya dari tangan Keira.
Delon menatap Keira sebentar, lalu berkata lembut, “Ayo, Om antar keluar dulu. Udara di luar lebih sehat.”
Keira mengangguk kecil. “Thank you, Om.”
Ia berjalan menjauh, membiarkan suara sepatu hak tingginya berdenting pelan di lantai marmer.
Sheena menatap Elang penuh amarah, lalu menyusul Keira dan Delon tanpa berkata apa-apa.
Dan malam yang seharusnya menjadi pelarian, kembali berubah jadi pengingat: beberapa luka memang tak bisa disembuhkan dengan waktu saja. Terutama jika pelakunya tak tahu cara minta maaf dengan benar.