5) CIUMAN? REALLY?

1589 Kata
Setelah keluar dari ruangan lounge yang riuh, Keira akhirnya bisa menarik napas lega. Suara denting gelas, musik jazz elektronik, dan bisik-bisik sosialita Jakarta memudar di balik pintu tebal. Ia melangkah di koridor yang tenang, dindingnya putih gading dengan lampu-lampu hangat menyorot dari langit-langit—terkesan mahal, tetapi sepi. Dengan langkah anggun, Keira mencoba berjalan seperti biasa. Tapi tubuhnya masih terguncang. Emosi yang sempat ditekan perlahan mulai naik ke permukaan. Dan tanpa ia sadari, satu sisi heels-nya kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung. Refleks, tangan Delon langsung menangkapnya. Lengan Keira melingkar spontan ke leher pria itu untuk menahan diri agar tidak jatuh, sementara tangan Delon menahan pinggang ramping Keira dengan sigap. Posisi mereka sangat dekat—terlalu dekat. Nafas Keira nyaris berhenti ketika wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Ia bisa mencium aroma parfum maskulin khas Delon—aroma kayu dan vetiver yang selalu mewah, tenang, dan... mengganggu. Wajah Keira memanas, jantungnya berdetak cepat karena kejutan lebih dari sekadar rasa sakit. Tapi kenyataan segera menariknya kembali. “Aduh... ini... kayaknya kaki Kei terkilir,” gumamnya pelan, berusaha tetap formal meski nadanya terdengar lemah. Delon menatapnya dengan khawatir. “Om tanya, kamu baik-baik aja?” Keira mengangguk pelan, walau wajahnya masih meringis. Ia mencoba berdiri sendiri, tapi berat sebelah—jelas pergelangan kakinya tidak bisa menahan beban tubuh. Delon menoleh ke ujung lorong. Tak ada tanda-tanda Sheena menyusul. Dan dia tidak mungkin membiarkan Keira berdiri kesakitan di tempat yang bukan area privat. Tanpa banyak bicara, Delon berjongkok di depan Keira. Satu tangan menyentuh pergelangan kaki gadis itu, lalu dengan lembut dan hati-hati, ia melepas stiletto dari kakinya. Ia melakukannya dengan tenang dan terukur, seperti seorang pria yang tahu betul cara memperlakukan wanita tanpa membuatnya merasa kecil. Keira hanya bisa menatap, jantungnya entah kenapa kembali berpacu. Lalu, tanpa peringatan, Delon berdiri tegak. Dan dalam satu gerakan yang tegas, ia menyelipkan satu tangan di bawah lutut Keira, satu lagi menyangga punggungnya. Dengan ringan namun kokoh, Delon mengangkat tubuh Keira dari lantai. Keira terkejut, kedua tangannya terpaksa melingkar ke leher Delon agar tidak jatuh. “Om?!” serunya tertahan. Delon tetap tenang, satu heels Keira tergenggam di tangan kirinya. “Tenang aja. Kita cari tempat duduk dulu. Kamu nggak bisa dipaksa jalan dalam kondisi begini.” Koridor panjang itu terasa sunyi sekali saat Delon melangkah. Suara langkah kakinya terdengar pelan di atas lantai berkarpet lembut. Lampu-lampu gantung di atas mereka membentuk siluet bayangan panjang, sementara Keira hanya bisa diam di pelukannya—antara malu, lelah, dan... entah apa lagi. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa bukan seperti sosialita yang sedang mempertahankan harga diri. Tapi seperti seorang perempuan biasa, yang sedang ditenangkan oleh satu-satunya orang yang—mungkin—masih peduli padanya tanpa syarat. °°° Delon membawa Keira melewati lorong-lorong sunyi hotel bintang lima. Setiap langkahnya mantap, penuh kendali. Cahaya lampu dinding yang temaram menciptakan bayangan panjang dari tubuh mereka, menari pelan di sepanjang marmer mengilat. Keira bersandar dalam gendongannya, satu tangannya melingkar di belakang leher Delon, sementara heelsnya tergantung di tangan pria itu—seolah sudah tidak relevan lagi untuk dipakai malam ini. Ruang yang mereka tuju berada di ujung lorong. Sebuah pintu berat dengan akses khusus terbuka dengan satu sentuhan kartu. Saat Delon mendorongnya perlahan, aroma sandalwood dan vanilla menyambut mereka. Cahaya ruangan temaram, hanya berasal dari lampu gantung kecil di sudut langit-langit dan lampu lantai yang menyorot lembut ke sofa beludru warna krem. Semuanya terasa sunyi… terlalu sunyi. Delon menurunkan Keira perlahan di atas sofa, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Keira duduk tegak sejenak, mencoba menormalkan napasnya. Tapi tetap saja, getaran di tubuhnya tidak sepenuhnya karena keseleo—melainkan karena jarak mereka yang terlalu dekat. “Biar Om lihat dulu ya,” ucap Delon, setengah berbisik. Ia berjongkok di depan Keira, tangannya menyentuh pergelangan kaki perempuan itu. Jari-jari pria itu terasa hangat, kontras dengan kulit Keira yang dingin karena AC ruangan. Sentuhan itu bukan hanya sekadar memeriksa luka—ia penuh perhatian. Terlalu lembut untuk seorang mantan calon mertua. Keira menahan napas. Suara Sheena kembali terdengar dalam kepalanya. “Delon itu weak spot-nya Elin. Kalau lo bisa bikin dia berpihak, kita punya kartu.” Ia menatap rambut Delon yang mulai ada uban samar, kulit tangannya yang lebih dewasa namun tetap kokoh. Ia tahu ini seharusnya jadi bagian dari “rencana.” Tapi tubuhnya tidak merasa sedang merencanakan apapun. Delon menatapnya. “Masih sakit?” tanyanya pelan. “Iya... tapi udah mendingan,” balas Keira. Suaranya nyaris gemetar. Delon duduk di sebelahnya. Jarak mereka hanya sebatas satu tarikan napas. Cahaya dari lampu samping membuat garis wajah Delon tampak lebih tajam—rahangnya yang kuat, mata tajam namun lelah, dan bibir yang sedikit mengatup serius. “Malam ini bikin kamu jatuh dua kali ya,” gumam Delon, separuh bercanda. “Satu secara harfiah, satu lagi... secara emosional.” Keira tersenyum tipis. “Udah biasa. Aku emang sering kepleset di momen nggak penting.” Delon menoleh, menatap wajah Keira lebih dekat. “Menurut Om, kamu justru lagi ada di momen yang penting.” Mata mereka bertemu. Jarak itu sekarang seperti kabut—rapuh dan mudah ditembus. Keira mengalihkan pandangannya. Tapi di dalam dirinya, badai sudah dimulai. Suara Sheena bergema seperti racun manis. “Lo cantik, Kei. Dan Delon itu pria. Segimanapun dia sok dewasa, dia tetap bisa digoyahkan.” Ia tahu, satu sentuhan, satu senyum, satu tarikan napas lebih dekat saja bisa mengubah segalanya. Tapi... apakah dia siap? Delon berdiri, lalu mengambil botol air dari minibar dan menuangkan ke gelas kristal. Ia menyerahkannya pada Keira. “Minum. Kamu butuh tenangin kepala.” Keira menerima. Tangan mereka bersentuhan sebentar, dan dari situlah ia menyadari: pria ini bukan sekadar “ayah Elang.” Delon punya caranya sendiri untuk memeluk, untuk menenangkan, untuk menatap—tanpa perlu bicara terlalu banyak. Dan di antara cahaya lampu yang remang, aroma kayu hangat, dan detak jantungnya sendiri yang kian tak menentu, Keira tahu satu hal: Jika ia menginginkannya… Delon tidak akan menolak. Keira menggenggam gelas kristal itu dengan satu tangan, sementara tangan satunya bertumpu ringan di sandaran sofa berbahan beludru krem yang empuk. Lampu gantung bergaya klasik di langit-langit ruangan hanya menyala setengah, menciptakan cahaya temaram yang jatuh pelan di kulitnya. Sinar hangat dari sudut ruangan memantulkan kilau halus dari dress satin yang ia kenakan. Ia meneguk sedikit air dari gelasnya—gerakan sederhana, namun tak tergesa. Namun pandangannya tak benar-benar lepas dari sosok pria yang berdiri di dekat minibar, bersandar dengan satu tangan di saku, dan mata yang menatapnya lekat. Ada jeda di antara mereka. Sunyi. Tapi sunyi yang nyaris menggoda. “Om...” Keira memanggil pelan, seperti gumaman yang lolos dari bibir yang belum sepenuhnya sadar diri. Ia menoleh, memiringkan kepala. Tatapannya lembut tapi penuh makna, seolah sedang menguji, mengukur batasan. Delon mengangkat alis sedikit, menoleh santai. “Hmm?” Keira meletakkan gelasnya perlahan di atas meja kaca. Ia menyandarkan punggung, lalu mengangkat perlahan kakinya yang telanjang dari sepatu, menyilangkannya dengan anggun. Kakinya masih terasa nyeri, tapi bukan itu yang sekarang mengganggu. “Kalau Om nggak dateng malam ini… kayaknya aku beneran jatuh.” Suaranya lirih, tapi jelas. Bukan hanya tubuhnya tadi yang nyaris tumbang. Tapi juga emosinya. Delon tersenyum, tenang. “Tapi kamu nggak sendiri sekarang.” Keira menatap pria itu lebih lama, sebelum menggeleng perlahan. “Kadang… aku pengin ngerasa sendiri. Biar bisa tahu, siapa yang datang... bukan karena ngerasa wajib. Tapi karena memang pengin ada.” Suasana menjadi lebih pekat. Udara seakan melambat. Delon tak segera menjawab. Tatapannya menajam, mengamati Keira seolah mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik wajah cantik yang tampak terlalu tenang untuk gadis seusianya. Keira sedikit bergeser ke sisi sofa. Jarak mereka mengecil. Satu langkah lagi dan aroma tubuh Delon yang bersih dan maskulin sudah mengisi seluruh ruang napasnya. Tangannya terulur perlahan, menyentuh ujung jas Delon. Gerakan halus, nyaris tak kentara. “Om selalu sehangat ini ke semua... mantan calon menantu?” tanyanya, senyumnya menggoda samar. Kata-katanya seperti angin malam—dingin di kulit, tapi menghangatkan d**a. Delon menarik napas pendek. Tak menjauh. Tak juga terlalu cepat merespons. “Nggak semua,” jawabnya pelan. “Cuma satu.” Mata Keira melembut. Ada senyum kecil di sudut bibirnya—tulus tapi penuh permainan. Ia menunduk, lalu kembali menatap Delon dari bawah bulu matanya yang lentik. Tatapan itu… cukup untuk mengaburkan batas antara niat dan naluri. Seketika, ia mendekat. Wajah mereka begitu dekat, napas mereka menyatu. Satu tarikan napas lagi, dan bibir mereka akan saling menemukan. Namun tepat saat itu— BRRRRRT. BRRRRRT. Suara getaran dari saku jas Delon memecah atmosfer. Keira terkejut, spontan menahan gerakan. Napasnya tercekat. Ia mundur setengah inci—cukup untuk menjaga ruang kesadaran. Delon memejamkan mata sebentar, lalu membuka ponselnya sekilas. Nama di layar tak penting sekarang. Dengan tenang, ia meletakkan ponsel itu terbalik di atas meja tanpa berkata apa pun. Suaranya tetap lembut ketika akhirnya kembali bicara. “Gangguan selalu datang di saat yang nggak tepat, ya…” Keira mengangguk kecil. “Tapi… nggak harus ditanggepin, kan?” Delon menatap Keira lebih lama. Matanya mencari sesuatu—keraguan, batas, atau mungkin alasan untuk berhenti. Tapi yang ia temukan justru ketulusan… dan mungkin sedikit undangan yang belum sepenuhnya diucapkan. Perlahan, ia duduk di sisi sofa, membiarkan jarak di antara mereka menguap begitu saja. Ia menatap wajah Keira, menuruni garis rahangnya, lalu ke bibirnya yang kini tak lagi berbicara. Dan Keira, dengan detak jantung yang masih berantakan, tak menolak. Tangannya diam di atas paha, tapi tubuhnya tetap terbuka. Ia tak mundur. Tak juga menghindar. Dan ketika Delon kembali mendekat—lebih tenang, lebih yakin—Keira hanya bisa memejamkan mata. Dan kali ini… tidak ada yang mengganggu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN