Dan kali ini… tidak ada yang mengganggu.
Bibir Delon menyentuh bibir Keira—pelan, hampir ragu. Tapi hanya sebentar. Karena saat Keira tak menolak, saat ia membalas dengan napas yang melembut, keraguan itu menghilang. Yang tersisa hanya keintiman yang tumbuh perlahan… dan terasa nyata.
Ciuman itu bukan milik dua orang yang terburu-buru, bukan pula milik pasangan yang sedang mengejar hasrat. Ini adalah ciuman yang terbangun dari kelelahan jiwa, dari perasaan yang lama terpendam—mungkin tertolak, mungkin disangkal. Tapi malam ini, tak ada alasan untuk menolak lagi.
Tangan Delon bergerak naik, menyentuh sisi wajah Keira dengan jemari hangat dan hati-hati. Ia memperlakukannya seolah gadis itu adalah sesuatu yang mudah pecah—bukan karena lemah, tapi karena terlalu berharga untuk disakiti.
Keira menarik napas melalui hidungnya yang nyaris menyentuh wajah Delon, lalu membalas ciuman itu dengan lembut. Kepalanya sedikit miring, bibirnya terbuka cukup untuk memberi jalan pada hasrat yang tak diucapkan—sebuah permisi diam-diam yang dijawab dengan kesabaran.
Tangan Delon bergeser ke tengkuk Keira, jari-jarinya meremas ringan rambut halus di sana, sementara tubuhnya mendekat, tak lagi menjaga jarak. Keira merasakan dadanya—hangat dan kuat—menyentuh sisi tubuhnya, dan dalam hati ia tahu, ini bukan hanya soal siapa mencium siapa.
Ini tentang dua orang yang tidak lagi punya tempat pulang, tapi malam ini, mereka menemukan sesuatu yang menyerupai rumah… di antara lengan dan keheningan satu sama lain.
Keira bergeser, tubuhnya mendekat lebih utuh, tanpa malu, tanpa topeng. Tangan mungilnya kini menyentuh d**a Delon, merasakan denyut jantung pria itu yang entah mengapa, menyamakan ritme dengan miliknya.
Ciuman mereka perlahan berubah—lebih dalam, lebih percaya diri. Bibir bertemu bibir bukan lagi untuk saling menguji, tapi saling menerima. Tidak ada kata, tidak ada tanya. Hanya rasa… yang menuntun mereka lebih jauh.
Ketika akhirnya keduanya berhenti, hanya untuk menarik napas, dahi mereka masih bersandar satu sama lain. Nafas Keira tersengal ringan, matanya masih tertutup, sementara Delon hanya bisa menatapnya—seolah masih belum percaya bahwa ia benar-benar melakukannya.
Mereka tak bicara. Mereka tak perlu bicara.
Karena pada akhirnya, malam itu tak hanya menghapus batas di antara dua tubuh…
Tapi juga dua hati yang selama ini terlalu sibuk menahan, terlalu takut untuk merasakan.
Dan Keira…
Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya jatuh—bukan ke dalam luka,
tapi ke dalam sesuatu yang jauh lebih berbahaya:
Kemungkinan.
Delon mendekat perlahan. Tak ada lagi suara selain napas mereka yang terjalin dalam ritme yang sama. Keira masih memejamkan mata, tapi tubuhnya condong ke depan—menghapus jarak yang tersisa dengan keberanian yang tumbuh diam-diam dari dalam dirinya.
Bibir mereka kembali bertemu.
Namun kali ini, tidak terburu-buru. Tidak terbuat dari luapan emosi yang meledak-ledak, melainkan dari kesadaran—bahwa yang mereka rasakan bukan sekadar nostalgia, atau keinginan yang terpendam. Tapi sesuatu yang jauh lebih rumit… dan berbahaya.
Tangan Delon bergerak perlahan, menyusuri sisi wajah Keira dengan punggung jarinya. Sentuhan yang seolah ingin memastikan bahwa Keira bukan sekadar bayangan dari masa lalu, tapi nyata… hangat… hadir. Jemarinya meluncur turun ke belakang leher Keira, menahan lembut, seolah ia sedang menyentuh sesuatu yang mudah retak.
Keira membalas, tanpa suara. Jarinya menyentuh pundak Delon, lalu turun ke dadanya—merasakan detak jantung pria itu yang mulai tak beraturan. Ia menarik napas pendek, seperti ingin menyimpan kehangatan itu dalam ingatannya, sedalam-dalamnya.
Tak ada dialog. Hanya pandangan. Hanya napas.
Delon meletakkan keningnya pada dahi Keira, dan dalam jarak yang nyaris tanpa celah itu, ia berbisik, “Kei…”
Keira tak menjawab. Ia hanya membuka matanya perlahan dan mengangguk kecil, memberi izin yang tak perlu dikatakan. Di antara mereka, ada kepercayaan yang baru lahir, dan sebuah keheningan yang menjelaskan lebih dari seribu kata.
Delon berdiri. Ia menyodorkan tangan.
Dan Keira—meski tubuhnya masih menyimpan sisa sakit—meraih tangan itu. Dalam genggaman Delon, ia merasa utuh, meski di dalam dirinya masih ada niat yang belum sepenuhnya padam: membalas dendam, membuktikan bahwa ia tak lagi bisa disakiti oleh Elang atau Elin.
Langkah mereka pelan, menyusuri ruangan yang lampunya semakin temaram, menuju sudut tempat ranjang berdiri dalam keheningan lembut. Tirai tipis bergoyang tertiup angin malam, seolah turut menjaga rahasia yang akan segera terukir di baliknya.
Ketika mereka berhenti, Keira menoleh. Tatapannya sempat bimbang, bukan karena ragu akan apa yang akan terjadi, tapi karena ia sadar—permainan yang ia mulai kini berjalan lebih dalam dari yang ia perkirakan.
Delon menyentuh pipinya. “Kalau kamu ragu…”
Keira menggeleng. “Aku nggak ragu. Aku Cuma… belum pernah merasakan ketenangan seperti ini.”
Delon menarik tubuhnya dalam pelukan. Lambat, hati-hati, seolah waktu sedang diperlambat agar mereka bisa mengingat setiap detik. Keira menenggelamkan wajahnya di d**a pria itu, dan untuk sejenak, dunia terasa diam.
Jemari Keira bergerak ke kancing jas Delon, dan perlahan membukanya, tanpa suara. Delon membantu, bukan dengan terburu-buru, melainkan dengan tenang—seperti membuka sesuatu yang berharga. Satu per satu lapisan dilepas, hingga batas tubuh dan pakaian tak lagi menjadi sekat. Keira juga melepas miliknya, tanpa malu, tanpa ragu. Hanya ada pemahaman… dan izin.
Mereka berbaring di atas ranjang, saling menyentuh, saling menjaga.
Pelukan itu bukan tentang kepemilikan, melainkan penerimaan. Tentang Keira yang membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya pria yang dulu hanya ia anggap sebagai “ayah dari mantan kekasih”, dan kini… menjadi seseorang yang bisa mengisi kekosongan yang bahkan belum sempat ia sadari.
Dan di balik semua itu… ada kilas ingatan Keira tentang ucapan Sheena:
“Gunakan dia. Gunakan semuanya. Biar Elang tahu rasanya kehilangan, dan Elin tahu rasanya direbut.”
Keira sempat membuka mata. Menatap ke arah jendela yang tertutup tirai. Lalu ia kembali menatap Delon.
Ada sedikit luka yang bersembunyi dalam senyum lembutnya.
Dan malam pun terus berjalan…
Dalam kehangatan yang nyaris seperti pelarian,
Dalam napas yang terjalin di antara jeda,
Dan dalam bisu dua jiwa—yang mungkin saling menyembuhkan,
Atau justru… saling menjebak.
°°°
Cahaya pagi menembus tirai tipis dengan lembut, menyapukan semburat hangat di permukaan seprai yang kusut dan lantai kamar yang menyisakan jejak semalam—sepatu bertebaran di sudut ruangan, jaket tergantung setengah jatuh di sandaran kursi, dan selimut yang tidak lagi rapi.
Keira mengerjapkan mata, perlahan. Seluruh tubuhnya terasa pegal, seolah semalam adalah perjalanan panjang yang menguras bukan hanya raga, tapi juga hati. Bahunya sedikit kaku, dan ketika ia mencoba bergerak, otot-otot di punggungnya menegang, menolak digerakkan terlalu cepat.
Satu hal yang menahannya untuk tetap diam adalah pelukan itu—lengan Delon yang masih melingkar hangat di pinggangnya, berat namun menenangkan. Napas pria itu masih teratur, lembut menyapu kulit Keira setiap kali ia menghela napas di dekat tengkuknya.
Ia menatap langit-langit sesaat, lalu memejamkan mata kembali, mencoba mengingat semalam.
Ada bayangan samar—tangannya yang menggenggam kemeja Delon, suara napas yang berat, bisikan yang tidak sempat menjadi kalimat. Ia ingat ciuman yang tidak tergesa, baju yang perlahan terlepas tanpa ada niat untuk tergesa, dan pandangan mata Delon yang… bukan sekadar hasrat, melainkan seperti melihat dirinya lebih dalam dari yang ia kira siapa pun bisa.
Keira menghela napas dalam-dalam. Wajahnya memanas, bukan karena menyesal, tapi karena tak pernah membayangkan ia bisa meresapi semua itu… sedalam ini.
Tubuhnya berbalik perlahan, hingga ia bisa melihat wajah Delon lebih jelas. Pria itu masih tertidur, rambutnya sedikit berantakan, garis wajahnya jauh lebih lembut dari biasanya. Keira menatap lama. Jari-jarinya bahkan sempat ingin menyentuh pipi itu, tapi ia urungkan.
“Aku harusnya nggak terlalu nyaman…” bisiknya dalam hati. Tapi jantungnya mengatup pelan dengan denyut yang terlalu tenang untuk disebut panik.
Ia tersenyum kecil—lelah, tapi jujur. Satu bagian dari dirinya ingin segera bangkit, kembali memakai lapisan emosi yang tebal dan rapi. Tapi bagian lainnya… hanya ingin berdiam sedikit lebih lama, dalam pelukan ini.
Pagi belum benar-benar ramai. Hanya detik jam dan burung-burung jauh di luar jendela. Di kamar yang setengah berantakan, di bawah cahaya pagi yang lembut, Keira menemukan jeda dari rencana, jeda dari balas dendam.
Dan mungkin… dalam diam, ia mulai bertanya:
Apakah permainan ini masih miliknya sepenuhnya? Atau justru… ia yang sedang dimainkan oleh hatinya sendiri?
Delon mulai terjaga. Gerakan halus tubuhnya di balik selimut menandakan kesadaran yang perlahan muncul. Matanya membuka, masih buram oleh sisa kantuk dan malam panjang yang menyisakan keheningan berbeda. Ia tidak langsung duduk, tidak juga bicara. Ia hanya diam… merasakan.
Lengan kirinya masih melingkar di pinggang Keira.
Ia menoleh. Keira sudah terjaga, matanya terbuka tapi tidak menatapnya langsung. Tatapannya justru kosong, seolah tengah bercakap dalam pikirannya sendiri.
Delon menarik napas, pelan. “Keira…”
Suara itu membuat Keira menoleh pelan. Ada kedalaman di matanya—bukan kekosongan, tapi juga bukan pengharapan. Lebih seperti seseorang yang tahu persis dia sudah melangkah terlalu jauh tapi tidak menyesalinya.
Delon menatap wajahnya yang setengah tertutup rambut. Ia menyibak helai-helai itu dengan hati-hati, dan suara parau terdengar lagi. “Kita… tadi malam… Aku—aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Keira menatapnya datar. Tapi kemudian bibirnya tersenyum samar, nyaris menyebalkan. “Kenapa? Mau bilang itu salah?” tanyanya pelan, nyaris menggodanya dengan ironi.
Delon mengernyit pelan. “Bukan begitu maksudku. Tapi… aku sadar aku melewati batas.”
Keira tidak langsung membalas. Ia membalikkan tubuh, membiarkan jarak di antara mereka menjadi lebih sempit. Dagu Delon nyaris menyentuh dahinya.
“Kalau aku bilang,” bisik Keira, “itu pertama kalinya buatku… kamu bakal ngapain?”
Delon terdiam. Matanya membesar—tidak percaya. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada suara yang keluar. Reaksi spontan yang jujur, sangat jujur.
“Keira…” Suaranya tercekik. “Aku nggak tahu…”
“Dan kamu tetap lanjut,” potong Keira, tenang. Tatapannya tajam, tapi bukan untuk menyudutkan. “Kamu nggak tahu… tapi kamu tetap lanjut.”
Delon menggeleng pelan, merasa seluruh tubuhnya menegang. “Aku pikir kamu—aku pikir kamu tahu apa yang kamu lakukan. Kamu nggak tampak… ragu.”
Keira tertawa kecil. “Aku memang nggak ragu. Tapi bukan berarti aku nggak sadar. Aku memilih, Om. Aku tahu aku yang mulai permainan ini.”
Ia menunduk, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, lebih jujur. “Tapi aku juga nggak nyangka bakal kayak gini rasanya setelahnya.”
Delon meraih tangannya. Menggenggam dengan dua tangan sekaligus. “Aku harus tanggung jawab. Aku nggak bisa—”
Keira menarik tangannya pelan. “Jangan buru-buru jadi pahlawan. Kadang, tanggung jawab itu bukan berarti menikah atau mengikat. Kadang cukup dengan nggak kabur setelah melihat bagian paling rapuh dari seseorang.”
Delon menatapnya. Ia kalah—bukan oleh argumen, tapi oleh kenyataan bahwa Keira lebih siap menghadapi konsekuensi dibanding dirinya yang lebih tua.
“Jadi sekarang kita gimana?” tanya Delon, pelan.
Keira menatap langit-langit. “Sekarang? Sekarang kita mandi, sarapan, dan pura-pura hidup normal. Nanti sore, baru kita pikirkan langkah berikutnya.”
Delon tertawa lirih, kecut. “Kamu terdengar jauh lebih dewasa daripada aku.”
Keira menoleh, tersenyum. “Kadang orang yang paling sering dihancurkan, justru yang paling paham cara bertahan.”
Dan pagi pun terus berjalan… dengan dua orang yang sama-sama kehilangan kendali semalam, tapi pagi ini mulai menyusun ulang makna dari apa yang mereka pilih untuk lalui bersama.