Suara di seberang telepon langsung hening. Sunyi, panjang, menusuk seperti pisau dingin yang menembus d**a. Bahkan bunyi monitor jantung di ruangan itu terdengar makin keras, seolah ikut mendengarkan pengakuan Keira. Keheningan itu bukan sekadar jeda, melainkan beban yang menekan, seakan seluruh dunia menahan napas bersama mereka. Lalu samar-samar terdengar gesekan kursi, suara terburu-buru seseorang bangkit, langkah sepatu beradu dengan lantai marmer, dan helaan napas berat yang jelas milik Maria. [“Ya Tuhan, Keira …”] suara itu pecah, parau, meski tetap berusaha terjaga ketenangannya. Ada ketakutan, ada luka, ada cinta yang tergores dalam setiap suku kata. [“Kenapa kamu nggak ngomong dari awal, Sayang? Kamu … kamu sendirian selama ini?”] Keira menggigit bibir bawahnya sampai hampir be

