Hot 1 - Siapa Kau?
Masa sekarang, 9 tahun setelah kejadian itu
"Ish! Syalan! Kenapa dia harus ke Indonesia, sih?!"
Gerutuan itu datang dari Felly yang tengah bersembunyi di mobilnya yang berada di basement dengan kamera profesional yang siap di tangannya. Rahangnya mengeras dan giginya bergemeletuk untuk menahan tiap umpatan dalam bahasa Inggris. Matanya menyorot pintu keluar hotel yang dimiliki oleh sahabat Felix, yaitu Alarick. Ah, lebih tepatnya, hotel itu adalah milik kakeknya Alarick, yaitu Mr. Damian.
Felly kesal kenapa harus Felix yang dia intai, padahal saat itu pula, dia harus mengikuti kegiatan Vanessa Angel dan salah satu pejabat korupsi yang tengah liburan dengan alasan sakit dan dengan bodohnya, diperbolehkan keluar dari penjara. Felly mendengus, lalu mulai mengutak atik kamera yang ada dipegangannya. Sedetik kemudian, dia tersentak dengan getaran ponselnya. Segera, Felly merogoh sakunya dan melihat panggilan dari bos sekaligus sahabatnya, Justin.
"Apa?!" Bentak Felly kesal. Kali ini, dia menggunakan bahasa Inggris.
"Hei, santai saja, Sayang. Kenapa kau sensitif sekali dengan tugas kali ini?" Balas Justin dengan penggunaan bahasa yang sama.
Felly memutar bola matanya dengan kesal. "Kau tahu Just? Aku bersumpah, aku akan pindah dari negara ini jika operasi anakku sudah selesai! Kau dengar hah?! Dasar sahabat b3rengsek! Kau sama saja dengan orang-orang di sini! Hanya menjadikanku b***k dengan pangkatku yang rendah ini!!"
Terdengar tawa dari seberang sana. "Hey, bukan aku yang membuatmu ada di posisi itu!! Kau sendiri yang tidak rajin dalam menjalankan tugasmu. Kalau saja kau lebih rajin, lebih giat, dan tidak melakukan kesalahan, kau akan berada di tempat yang lebih tinggi daripada tempatmu sekarang!"
Felly cemberut di tempatnya. "Kau bosnya! Kau temanku! Kau seharusnya bisa membuatku tidak melakukan pekerjaan menyebalkan ini!"
"Heii, seperti yang kau bilang, aku bosnya! Dan aku tidak ingin merugi jika memiliki karyawan tidak berguna sepertimu. Aku bahkan tahu kau sedang berdiam diri di mobil sekarang."
Felly cemberut maksimal karena tebakan Justin sangat tepat sasaran.
"Hah, aku tahu itu! Jika seperti ini terus, tidak akan ada yang mau menjadikanmu sebagai pegawai, tahu?! Disaat paparazi lainnya sampai rela menyamar menjadi pengemis, fans, bahkan tukang parkir, kau malah enak-enakan diam di mobil menunggu targetmu terlihat. Kau tahu? Dulu aku bahkan harus menjadi banci dan pemulung ketika menjadi paparazi!"
Felly memelototi layar ponselnya sendiri sebelum kembali menempelkan layarnya di telinga. "Ya! Aku tahu! Aku tahu! Aku sudah mendengarnya beratus-ratus kali darimu dan kau mengatakan hal yang sama!"
"Itu karena kau membuat kesalahan yang sama dan tidak berubah!" Kesal Justin, kemudian berdecak, membuat Felly makin cemberut. "Ck, intinya, keluar dari mobilmu sekarang dan lakukanlah tugasmu dengan benar!!"
"Iya! Iya! Kau cerewet sekali!"
"Itu karena kau tidak melakukan tugasmu dengan benar!"
"AKU AKAN MELAKUKANNYA SEKARANG! DASAR CEREWET!!" Amuk Felly dengan menggebu, lalu menutup panggilan teleponnya dengan Justin. Felly menggeram dan memukul roda stir mobilnya dengan kesal. "Dasar bos menyebalkan!"
Felly melempar ponselnya ke kursi di sampingnya. Dia mengambil masker dan topi yang selalu ia bawa-bawa di tasnya. Felly menggunakannya dengan cepat dan keluar dari mobil hanya dengan kamera di tangannya.
***
"Ya ampun!" Suara itu datang dari Makiel, salah satu sahabat Felix yang kini sedang menutup mulutnya dengan sangat berlebihan. Di depan Makiel, ada seorang resepsionis yang sedang tersenyum malu pada Makiel. Tangan Makiel lalu mengambil sejumput rambut yang tersampir di bahu resepsionis wanita itu. "Aku pikir aku bermimpi ketika menemukan manusia secantik dirimu. Apakah..., kau sungguh manusia? Bagaimana bisa tuhan menciptakan dirimu dengan sangat sempurna seperti ini? Apakah kau tidak tahu berapa banyak wanita yang iri akan kecantikanmu?"
Felix yang berdiri di sampingnya hanya geleng-geleng kepala. Semenjak ditinggalkan oleh Alarick dan juga Darren—sahabat Felix yang lainnya—Makiel mulai melancarkan aksinya. Tebar pesona sana sini dan membuat orang terpesona karena sesungguhnya, Makiel memang benar-benar memiliki pesona. Dan saat ini, Felix dan Makiel sedang berada di hotel megah nan mewah milik kakek Alarick. Dengan Makiel yang terus menggoda setiap wanita seksi atau cantik yang dilihatnya.
"Auramu sungguh membuatku tiba-tiba terikat denganmu. Wajahmu yang cantik, matamu yang indah, dan bibirmu..." Makiel menjeda ucapannya dan membuat suara desahan yang terdengar menjijikkan di telinga Felix. "Ah, Lix, apa kau bisa menjabarkannya?"
Felix mendengus. Dia ikut membungkuk di samping Makiel, dan ikut menatap wanita resepsionis yang kini memerah saat menatap Felix. Mata Felix memincing menatap wanita itu. "Bibirmu sangat..., murahan dan sepertinya sudah banyak pria yang mencobanya."
"Ya, bibirmu sangat murah—eh? Sial! Bisa-bisanya kau bercanda, Lix?!" Makiel yang masih dalam mode penggodanya bahkan tidak sadar akan mengulang kalimat Felix. Makiel menegakkan tubuhnya, lalu menggetok belakang kepala Felix dengan kuat, membuat Felix mengaduh. "Apakah kau tidak tahu caranya merayu wanita?!"
"Aw! Sakit, tahu!" Ucap Felix dengan kesal dan ikut menegakkan tubuhnya. "Aku tentu saja tahu caranya! Lihat wanita ini! Mukanya memerah, seperti jalang yang sudah sering mengangkangi banyak pria!"
Makiel ikut melihat wanita itu, dan mendapati jika wanita itu memang benar-benar memerah jenis tergoda oleh ucapan Felix. Makiel kembali membungkukkan kepalanya dan tersenyum miring pada wanita itu. "Apa benar kau wanita yang sering mengangkangi banyak pria, sweetheart?" Tanyanya, dan yang didapati Makiel adalah kernyitan tidak mengerti dari wanita itu.
Felix tertawa melihatnya, sedangkan Makiel mendengus tidak suka. Felix menepuk bahu Makiel seolah menenangkan. "Itu adalah kekuatan seorang pria tampan, Kiel. Kau tidak akan bisa melakukan apa yang bisa kulakukan."
Makiel menggeram kesal. "Dasar syalan!"
Felix tertawa makin kencang. Ah ya, perkenalkan, dia adalah Makiel Zander McKennedy. Lelaki yang menjadi sahabatnya dari saat Felix menginjak Highschool. Pria yang juga berprofesi sebagai CEO namun sialnya Makiel memiliki 10 persen kekayaan yang lebih banyak daripada milik Felix dan teman-teman lainnya. Dan yang membuat kesal, Makiel adalah satu-satunya lelaki yang tingkat penganggurannya lebih tinggi daripada orang lain. Kerjaannya hanya bisa bermain wanita, pergi kelab malam, berak, makan, tidur, dan begitu seterusnya.
Sedangkan di sini, Felix Barachandra Phillips yang juga merupakan CEO terbesar dari Eropa sampai Asia, masih harus berkerja dari pagi hingga malam. Bahkan, dalam liburannya yang kali ini ke Indonesia, Felix masih tetap harus menelfon bawahannya dan mengerjakan kerjaannya di ponsel ataupun tablet miliknya. Walaupun yang dilakukan Felix hanya memerintah bawahannya yang lain untuk melakukan tugasnya, namun tetap saja Felix iri pada Makiel yang sangat santai dengan uang yang mengalir lebih banyak ke rekeningnya.
"Tapi, kenapa daritadi dia tidak menjawab ataupun marah?" Tanya Makiel heran. Setidaknya, wanita itu seharusnya mengucapkan beberapa kosa kata setelah Makiel mengatakan kalimat gombalannya.
"Kau sungguh tidak menyadari kesalahanmu, Kiel?"
"Aku yang salah? Apa salahku?"
"Kau sungguh tidak tahu kenapa wanita itu diam?"
"Apa maksudnya?"
"Kau sungguh tidak tahu kenapa wanita itu tidak menjawab?"
"KATAKAN SAJA APA MAKSUDMU, BODOH!!" Pekik Makiel dengan kesal karena Felix mengulang pertanyaan yang sejenis.
Felix tertawa kencang. "Negara kelahiran Ibuku ini, adalah negara yang orang-orangnya memiliki sedikit kepintaran bahasa asing. Intinya, mereka bodoh bahasa Inggris. Tidak sepertiku yang menguasai 11 bahasa."
Makiel membulatkan mulutnya dengan tidak percaya. "Jadi maksudnya, orang-orang di negaramu sedari tadi dia tidak mengerti apa yang kukatakan karena aku memakai bahasa Inggris?!!"
Felix terkekeh. "Kau terlalu jelas mengatakannya, kawan. Orang-orang di negaraku tidak sebodoh itu."
"Kau sendiri yang mengatakan mereka bodoh!"
"Aku? Tidak, Kiel. Aku mengatakan jika kau lebih bodoh dariku."
"ITU TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN PEMBICARAAN KITA SEBELUMNYA, BODOH!"
Felix tertawa mendengarnya.
"Apakah aku sudah bilang jika kalian mengganggu karyawanku, aku takkan tinggal diam?"
Bagaikan bisikan setan, Felix dan Makiel sama-sama membeku mendengarnya. Felix menoleh, dan mendapati Mr. Damian alias kakek Alarick—sahabat Felix dan Makiel—sedang berdiri di sana. Mr. Damian berdeham dengan tangan bersidekap dan menatap Makiel dan Felix bergantian.
"Makiel menggoda wanita ini, dan aku hanya menjelaskannya jika wanita ini kemungkinan tidak bisa berbahasa Inggris." Kata Felix cepat.
Makiel memelototi sahabatnya itu. "Kau!!"
Felix kemudian menatap wanita yang tadi digoda Makiel. "Iya nggak, mbak?" Ucap Felix dengan bahasa Indonesia, membuat wanita itu refleks mengangguk dengan wajah memerah gugup menatap wajah tampan Felix.
"Kiel..." Mr. Damien mengalunkan suara bak malaikat mautnya pada Makiel.
Makiel menatap Felix penuh dendam. "Dasar iblis!"
Felix tersenyum miring. "Bukannya nama kelompok kecil kita memang The Devils?"
"Kiel... Felix..."
Makiel dan Felix tersentak mendengarnya. "Ya tuan Krab?" Jawab mereka serentak.
"Kalian akan membersihkan kaktus-kaktusku... Selamanya!!"
Felix segera memberi gerakan hormat pada Mr. Damian. "Baik Kek, aku akan membuat Makiel membersihkan kaktus-kaktusmu selamanya."
"Kau juga!!" Seru Makiel dengan tidak terima.
"Benarkah?" Tanya Felix dengan mata yang mengerjap pelan. Matanya kemudian beralih menatap Mr. Damian. "Benarkah, Kek? Haruskah tanganku yang biasa dipakai untuk membuat kerjasama kita menguntungkan ini harus dipakai untuk membersihkan kaktus, Kek? Lalu, bagaimana jika wajah yang merupakan simbol dari keluarga Philips ini terkena duri dan jadi lecet ketika bertemu dengan para pemegang saham, anggota dewan, atau orang-orang penting lainnya?"
Ucapan Felix yang panjang lebar sukses membuat Mr. Damian diam di tempatnya dengan wajah gamang. Pria tua itu kemudian mengerutkan dahi kemudian mengangguk. "Ya, kau benar juga. Jika begitu, Makiel saja yang akan membersihkan tanaman kaktusku."
Felix menahan tawanya. Dia membungkuk dengan tangan di d**a seolah dia adalah pangeran. "Terimakasih, Ayahanda."
"Tapi Kek, tanganku juga—"
"Tanganmu sering kau gunakan untuk berkelahi. Jadi tidak sebagus tangan Felix, pastinya." Potong Mr. Damian ketika Makiel ingin memberikan alasan yang sama.
"Lalu wajahku—"
"Tanpa wajah tampan, kau masih bisa menggoda wanita manapun. Lagipula, kau tidak setampan Felix."
Felix kali ini tidak dapat menahan tawanya lagi.
Makiel menggeram kesal mendengarnya. "Kau!!" Saat Makiel sudah akan menghantamkan tinjunya pada Felix, Felix segera berlari dari sana dengan tawa yang menggema ketika Makiel ditahan Mr. Damian.
BRUK!
Benturan keras terjadi ketika Felix akan berbelok ke arah basement. Hal itu tidak menyebabkan mereka berdua terjatuh, tapi sesuatu yang dipegang wanita itu yang terjatuh.
"Kameranya!!"
Deg!
Pekikan wanita itu sukses membuat Felix membeku. Lontaran ucapan maaf yang tadinya akan ia keluarkan, kini tertahan ketika mendengar suara yang sangat dirindukannya itu. Suara yang selalu ia dengar melalui video yang diputarnya. Suara yang tidak pernah absen untuk membuatnya tertidur.
Felix hanya dapat diam menegang ketika wanita yang menggunakan topi itu menunduk meratapi kamera dengan lensa yang besar dan kelihatannya akan berat dan sulit dibawanya. Wanita itu terlihat menyatukan kamera yang lepas itu menjadi satu, kemudian mengotak-atiknya. Terdengar kesiap dan umpatan kemudian. Wanita dengan topi itu kemudian berdiri dan menatap Felix tepat di manik mata. Wajahnya tertutupi oleh masker, namun mata itu.
Mata itu.
Mulut Felix terbuka melihat mata itu. Jantungnya berdentum keras kala mata itu melebar saat melihat Felix. Segera, Felix menahan tangan wanita yang tadinya akan berlari pergi itu.
"Siapa kau?" Tanya Felix lirih, hampir seperti bisikan. Tidak ada jawaban dari wanita itu selain menunduk dan berusaha memberontak dengan susah payah karena tangannya yang lain masih memegang kamera yang terlihat berat. "SIAPA KAU?!"
Kali ini tubuh itu tersentak dan membeku. Felix tidak tahu bagaimana bisa dia mendapatkan suaranya kembali. Tangan Felix mengepal kuat sebelum tangannya yang bebas membuka topi sekaligus masker yang digunakan wanita itu.
Dan Felix tersentak dengan mata melotot ketika bisa melihat keseluruhan wajah itu. "Felly..."