Felix memutar-mutar kartu yang ada di tangannya, kemudian berhenti. Ia menurunkan kartu yang berada di depan matanya, kemudian menatap wanita yang sejak tadi meratapi kamera di tangannya. Felix mendengus. "Jadi, kau mencoba kabur dariku? Lagi?" Tanya Felix dengan sebelah alis terangkat.
Felly menatap Felix, kemudian cemberut seketika. "Tadinya, ya! Tapi setelah kupikir lagi, kau harus mengganti kameranya! Ini bukan kamera milikku, tahu?!" Kesalnya dengan mata yang menyorot nyolot pada Felix.
Felix balas memelototi Felly. "Itu bukan sepenuhnya salahku! Dan lagi, apa jadinya jika aku tadi tidak menarik kerah belakangmu?! Kau akan kabur lagi?!" Desak Felix, kesal sendiri. Dan lagi, apa kau tidak merindukanku? Lanjut Felix dalam batinnya.
Saat ini, mereka sedang berada di dalam salah satu kamar hotel yang disewakan pada Felix. Setelah bertatapan selama beberapa lama, Felly tadinya mencoba kabur dan Felix segera menarik kerah belakang Felly dan membawa mereka ke kamar ini.
"Lalu bagaimana sekarang?! Kau tidak akan menggantinya?" Felly menatap Felix dengan marah. Kegugupannya hilang sudah ketika mengetahui kamera di tangannya hancur lebur tidak dapat digunakan kembali. Apalagi, lensa yang profesional seperti ini sangat sulit dicari di Indonesia.
Felix mendengus. "Berapa harganya? 10 juta rupiah? 100 juta rupiah? Berapa? Katakan saja!"
Felly seketika makin cemberut. "Aku tidak tahu. Ini milik perusahaan."
Felix kali ini tertawa. Bukan jenis tertawa yang hangat dan ramah, namun tawa yang sarat akan penghinaan pada Felly. "Dan kau tidak memiliki uang sebanyak itu? Ya ampun, adikku. Harusnya kau tidak kabur dan mengganti namamu menjadi Nafelly Christine."
Cubitan dari Felix mengenai relung terdalam Felly. Adik. Ya, mau sampai kapan pun, mereka adalah adik dan kakak. Dan yang dilakukan oleh mereka dahulu adalah dosa, bukannya cinta. Benar kata Justin. Mencintai saudara sendiri dengan cinta antara wanita dan pria adalah sebuah penyakit kejiwaan, bukan benar-benar cinta. Namun, bodohnya Felly. Walaupun dia tahu jika itu adalah penyakit, ia tidak dapat langsung menghilangkan nama Felix begitu saja. Felly menghela napas pelan, kemudian menunduk. "Aku jatuh miskin. Uang 1 juta saja tidak punya."
Kali ini, ruangan malah hening. Felix sendiri terdiam mendengar ucapan Felly barusan. Beberapa detik saling diam, Felix segera berdiri. Dia berjalan menghampiri Felly yang duduk di tepi ranjang. Membungkuk di hadapan Felly, lalu perlahan telunjuknya mendorong bawah dagu Felly sehingga membuat Felly kembali mengangkat wajahnya, menatap wajah Felix yang kini sangat dekat dengan wajahnya.
"Aku mencarimu. Dalam waktu yang lama. Menyisir Spanyol. Karena terakhir, namamu ada dalam penerbangan ke Spanyol," Felix berucap lirih, berbisik di depan wajah Felly. "Tapi ternyata, kamu di sini. Dengan nama baru."
Felly menelan ludahnya dengan susah payah. "Bagaimana keadaan Mom dan Dad?"
"Merindukanmu."
Felly terdiam sejenak. "Aku pergi dalam waktu yang sangat lama. Tidak mungkin mereka masih merindukanku. Apalagi Dad. Rasanya mustahil."
Jemari Felix naik, menyentuh pipi Felly dengan lembut. "Kalau begitu, pulanglah. Kau bisa melihat mereka sendiri."
Felly tersenyum tipis. "Nanti. Sekarang, kau ganti dulu kameranya." Ucapnya sambil menjauhkan wajahnya dari Felix dan menunjukkan kamera yang sudah tidak berfungsi itu.
Felix mengangkat sebelah alisnya, kemudian berdiri dan melipat tangannya di depan d**a. "Kau mau aku menggantinya secara cuma-cuma?"
"Kau kakakku. Sudah seharusnya kau membantuku."
"Tidak ada nama Barachandra Phillips di nama belakangmu."
"Felix!"
"Baiklah. Aku akan membantumu, tapi kau harus menuruti permintaanku."
"Kau yakin itu permintaan? Bukan perintah?"
"Apa bedanya? Sama-sama harus kau turuti."
Felly mendengus kesal. "Baiklah. Asal jangan aneh-aneh seperti menyuruhku menjadi budakmu."
Felix mengangkat sebelah alisnya, kemudian mendengus. "Itu terdengar menggiurkan. Namun tidak. Aku sudah tidak nafsu lagi padamu."
Menutupi rasa sakit hatinya, Felly hanya cemberut dengan lucu.
Felix kemudian memotret kamera milik Felly, dan mengotak-atik ponselnya. Pria itu lalu menghubungi seseorang dan menghubungi seseorang. "Oh Karl, aku mengirimkan gambar padamu. Cari kamera yang sangat mirip dan aku mau besok pagi kamera itu ada di Indonesia. Hm? Tidak bisa? Kalau begitu, kau bisa memberiku surat pengunduran dirimu saja."
Felly mengerjapkan matanya mendengar betapa diktatornya Felix. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dan menatap Felix dengan tatapan tak habis pikir. "Benar. 8 sampai 9 tahun tidak bisa merubah sifat alami manusia." Katanya sambil mendelik.
Felix mendengus pelan. "Kenapa aku harus merubah sifatku? Aku nyaman dengan ini."
Felly hanya menggelengkan kepalanya dengan tidak habis pikir. Dia kemudian berdiri dan membenarkan letak kamera yang menggantung di lehernya. "Kalau begitu, kakakku, aku pergi dulu."
Felix segera mencegah tangan Felly yang sudah akan pergi dari sana. "Sudah? Itu saja?! Tidak ada pelukan, ciuman, dan lain-lain?"
Felly berbalik menatap Felix. Lagi-lagi, Felly menggelengkan kepala. Kali ini disertai decakan. Tangan Felly terulur, menepuk kepala Felix dengan pelan. "Ck ck ck, hampir sembilan tahun, dan sifat melodrama-mu masih tetap ada."
Felix melotot. "Aku serius! Begini saja? Selesai? Setelah hampir sembilan tahun tidak bertemu, kau memberikan kesan seolah-olah kita tidak bertemu seminggu saja. Apa ini masuk akal?!"
Felly terkekeh pelan. "Dewasalah sedikit, Felix. Kau hampir berumur 35 tahun dan masih saja alay. Apa kata anak dan istrimu nanti?"
"Tapi—"
"Sial! Aku terlambat karenamu! Ish! Aku pergi dulu! Jaga dirimu baik-baik, dan jangan katakan pada Mom dan Dad kalau kau bertemu denganku. Oke? Akan menjadi masalah jika mereka ke sini." Kata Felly panjang lebar, kemudian pergi dari hadapan Felix secepat kilat.
Felix terdiam di tempatnya. Menatap sisa-sisa keberadaan Felly yang sudah menghilang di balik pintu. Tanpa sadar, tangan Felix menyentuh d**a kirinya dalam diam, kemudian menggelengkan kepalanya cepat. "Aku pasti sudah gila. Aku butuh minuman."
Dengan cepat, Felix keluar dari kamar hotel. "KIEL!! DI MANA KAU? AYO KITA KE KELAB MALAM!"
Sepertinya, Felix benar-benar gila. Memangnya, kelab malam sudah buka siang-siang begini?
Ah bodo amat. Felix kan kaya, bisa sewa kelab seharian.
***
Satu-satunya cara untuk tidak bertemu dengan Justin sang Bos adalah dengan cara pergi ke pantry, tempat di mana teman-teman Felly berada di sana. Dengan lesu, Felly membuka pintu pantry yang tertutup itu dengan wajah kusut.
"Mimi, minta—Justin! Sedang apa kau di sini?!" Ucapan Felly terpotong ketika mendapati jika bosnya ada di sana. Mata Felly melotot lebar-lebar.
Justin yang sedang duduk di salah satu kursi, hanya dapat mengangkat alisnya tinggi. "Apa maksudnya? Aku tidak boleh ke sini?"
"Ntong ngomong Inggris atuh euy. Teu ngarti urang teh." (Jangan ngomong bahasa Inggris dong. Aku tuh nggak ngerti)
Felly mengerjapkan kedua matanya, kemudian masuk dan menutup pintu. Dia berdeham. "Pak Obos mana?" Tanyanya pada Mimi. Kali ini menggunakan bahasa Indonesia. Pak Obos adalah salah satu nama OB di kantor ini. Seperti Mimi yang juga merupakan OB.
Sambil meletakkan gelas berisi kopi pada Justin, Mimi menjawab. "Ntah. Tadi sih lagi pdkt sama Bu Ebes." Jawab perempuan 18 tahun itu. Ebes adalah singkatan dari Elizabeth Bestari. Nama salah satu OB di sini juga.
Felly mengangguk pelan. Dan berdiri diam dengan tak nyaman di tempatnya berdiri.
"Ngapain? Kenapa masih berdiri?" Tanya Justin sambil menyesap kopinya.
Felly berdeham kencang. Matanya enggan melirik Justin. "Emangnya kenapa hah? Masalah?" Tanyanya dengan nyolot.
"Oh? Kok aneh? Kok nyolot? Ada apaan nih? Ngambek?"
Felly mencebik. "Iya! Masalah hah? Ngeselin sih jadi bos semena-mena banget. Kalo kata Mimi sih sangeunahna." (Seenaknya)
Justin mendengus tidak percaya. Kepalanya menggeleng heran. "Diuk sia teh koplok!" (Duduk lu, koplok! (kurang ajar))
Felly segera menjitak kepala belakang Justin. "Kasar siah kehed!"
Justin tertawa pelan. "Bahasa Sunda emang bahasa kesayangan." Katanya antusias.
"Iya, asli. Ngakak banget kalo denger orang ngomong Sunda versi kasar." Timpal Felly sambil tertawa pelan. Felly kali ini memberanikan diri menarik kursi di depan Justin dan bersiap duduk.
"Kamera kamu ke mana, Fel?"
Felly membeku. Tanpa disangka, pertanyaan itu datang dari Mimi, sahabat OB-nya yang sudah dia anggap sebagai adik sendiri. Argh, harusnya Felly tidak menganggap Mimi adik karena seorang adik kadang bisa menyebalkan.
"Iya bener. Kameranya ke mana?" Tanya Justin, membuat Felly makin tidak bisa lari ke pembicaraan lain.
Felly berdeham. Dia mengangkat dagunya tinggi. Menatap Justin dengan nyolot. "A-apa? E-mang ke mana lagi?! Y-ya di mobil lah!! Pake nanya, lagi!"
Justin mendengus mendengarnya. "Ya biasa aja dong. Nggak usah nyolot gitu. Masih dendam sama aku gara-gara aku suruh keluar dari mobil?"
Felly diam-diam menghela napas pelan karena Justin tidak meneruskan pertanyaan tentang kamera lagi. "Iya! Kamu nyebelin, tau nggak?! Bukan karena nyuruh aku keluar dari mobil, tapi karena kamu harus ceramah dulu panjang lebar. Berasa aku manusia paling laknat di muka bumi ini, tau nggak?"
"Itu karena kamu nggak—"
"Berubah. Tau! Dasar cerewet! Aku mah apa atuh. Cuma karyawan rendahan."
"Lebih dari rendahan. Kamu itu nggak berguna tau nggak?! Kalo bukan temen, aku udah pecat kamu dari lama!"
Felly melotot. "Monyet! Kamu berani sama aku?! Mau aku siram pake kopi?!"
"Ya jangan dong, Sayang. Panas. Nanti muka ganteng aku melepuh, gimana?"
"Bodo amat! Muka pas-pasan gitu disebut ganteng."
"Ya deh, ya deh. Apalah daya aku sama Tuan Felix, sang pengusaha ganteng di Eropa," kata Justin dramatis. "Oh ya, gimana? Dapet gambar yang bagus?"
Felly cemberut seketika. Orang kameranya jatuh sebelum beraksi! Gimana mau motret gambarnya?! Batinnya. Dengan pelan, Felly menggeleng pelan. "Nggak. Dia nggak deket sama cewek manapun di sini."
"Serius?"
Felly mengangguk.
"Wah..., bisa-bisa, nanti kamu disuruh nyusul Felix ke LA loh, Fel."
Felly melotot. "Sejak kapan perusahaan kita ngemodal buat beliin karyawannya tiket pesawat?!"
Justin segera menjitak kening Felly. "Emangnya perusahaan kita bokek apa?! Yang lain udah pada keluar negeri buat nyari berita. Cuma kamu aja yang nggak pernah karena nggak berguna—AISH!!! FELLY!!! MONYET YA DASAR!!"
Ucapan Justin terpotong dengan siraman kopi yang mengenai celana Justin dan tentunya dilakukan oleh Felly. Tanpa memperdulikan Justin dan Mimi yang kerepotan, Felly berdiri dan pergi dari hadapan Justin.
"AISH!!! KENA ANU, TAU NGGAK?! BEGO DASAR!!"
***
Saat dia sudah sendirian di dalam kamar, Felix segera memanggil Karl, alias sekretaris serbaguna-nya.
"Ya, Sir?" Tanya Karl di seberang sana.
Felix mengetukkan jarinya pada meja rias. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. "Karl, aku ingin memberimu tugas. Carilah informasi tentang Valerie Dandelion Selvig sampai ke akar-akarnya. Aku memiliki perasaan tidak menyenangkan tentang ini."
"Baik, Sir."
"Apakah 3 hari cukup untukmu?"
"Saya rasa..."
"Ya kalau tidak bisa, kau bisa menyerahkan surat pengunduran dirimu saja. Aku akan memberikan pesangon. Khusus untukmu."
"Saya rasa bisa, Sir. Saya tidak sempat menyelesaikan ucapan saya tadi."
"Oh benarkah? Kukira kau tadi memberikan nada ragu-ragu padaku."
"Saya hanya berakting, Sir."
"Oh ya? Kau ingin jadi artis? Kenapa harus berakting segala denganku?"
"Saya harus mematikan sambungan telefon segera, Sir. Saya takut ada pramugari yang menegor atau melempar saya dari pesawat. Sampai jumpa, Sir."
Felix terkekeh pelan, dan perlahan terdiam menatap pantulan dirinya di cermin. Memang tidak ada kemiripan sama sekali dari Felix dengan Felly. Namun jelas, ada kemiripan yang sangat besar setelah melihat Felly versi sedewasa ini. Sangat mirip dengan Valerie Dandelion Selvig, sekretaris sahabatnya yang entah kenapa membuatnya teringat dengan Felicia, adik kecilnya yang dulu menghilang.
Dan jika terbukti benar, apa yang harus Felix lakukan agar Felicia menjauh lagi darinya dan keluarganya?
Terlebih..., Felix tidak ingin Felicia mendekati Felly.
Sedangkan di tempat lain, Felly tengah menatap anaknya yang sedang tidur. Tangannya terulur, mengusap kening anaknya yang basah oleh keringat. Helaan napas panjang kemudian keluar dari Felly. Bohong jika pertemuannya degan Felix tidak memengaruhi apa-apa. Nyatanya, saat ini Felly sudah dilanda berbagai macam perasaan. Dan Felly tidak tahu perasaan mana yang mendominasi ketika segalanya campur aduk.
Apalagi..., dengan Samuel Christine yang sekarang menjadi anaknya.