Panti Asuhan ini adalah segalanya, segala kisah aku dengannya pun ada di sini, bermula di sini pula. Aku tak akan pernah melupakannya, melupakan di mana dan bagaimana aku bisa dengan dia.
-Vania Raselia Arkarna.
---------------------------------------------
Saat ini Vania tengah duduk di bangku taman belakang panti asuhan. Gadis itu tidak pulang semalam, lagian pulang ke mana? Dirinya saja sudah tidak ada rumah untuk berlindung. Dirinya saja sudah tidak punya keluarga untuk tempat kembali.
Hari ini Vania menatap langit biru, langit yang indah dan cerah seperti hidupnya, dulu. Sekarang yang ada di kehidupannya hanyalah kehampaan, kesunyian, kemuraman, bahkan tak ada bintang yang bersinar di kehidupannya.
"Kak Vania!" Salah satu anak panti asuhan membuyarkan lamunan Vania, membuat Vania dengan sontak membalikkan badannya.
Gadis dengan rambut panjang yang digerai itu melihat seorang anak kecil perempuan dengan kisaran usia enam tahun, anak yang sangat cantik, manis, bahkan lucu.
"Iya Rembulan, ada apa?" tanya Vania sambil membawa Rembulan ke pangkuannya.
Rembulan Malam, nama anak perempuan yang kini duduk di pangkuan Vania, anak yang sangat menggemaskan bagi Vania. Namun naas, nasib Rembulan tidak seindah namanya, tidak sebersinar namanya. Rembulan adalah anak perempuan yang katanya ditemukan di depan panti asuhan tanpa tahu siapa orang tua sebenarnya. Malang seribu malang sekali anak ini, jauh lebih beruntung Vania ternyata.
"Tadi kata Kak Adev, Rembulan suruh panggil Kak Vania. Katanya sih Kak Vania dipanggil Bunda, Rembulan sendiri gak tau karena apa."
Vania tersenyum simpul mendengarkan ucapan anak kecil menggemaskan di depannya itu. "Makasih ya, Sayang. Kakak mau ke ruangan Bunda dulu, Rembulan mau ikut?" tawar Vania kepada Rembulan untuk mengikutinya ke ruangan Bunda—Bu Naira.
"Gak deh, Kak. Rembulan mau di sini aja, kakak aja yang ke sana, kan Kak Vania yang dipanggil, siapa tau penting." Pintar, sangat pintar sekali pemikiran anak kecil ini.
"Okey, Sayang. Kakak ke ruangan Bunda dulu, ya."
Rembulan mengangguk mengiyakan perkataan Vania. Vania melangkahkan kakinya menuju ruangan Bu Naira. Mungkin Bu Naira ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada Vania.
Gadis yang memakai anting-anting mutiara itu langsung membuka pintu ruangan kerja Bu Naira, ia dapat melihat Adev dan Bu Naira yang asik berbincang di sana.
"Permisi, Bu. Apa ibu memanggil Vania?" tanya Vani sesopan mungkin kepada Bu Naira.
"Ah iya, Vania. Sini, ibu tunggu kamu dari tadi padahal," sambut Bu Naira dengan baik.
Vania langsung mendekati Bu Naira dan Adev, gadis itu langsung mengambil duduk di sebelah mereka. "Ada apa Bu Naira memanggil Vania ke sini?"
Bu Naira mengambil napasnya, ia mengusap punggung tangan Vania dengan lembut. "Hmm, jadi gini, Nak. Nanti akan ada jadwal bermain di panti asuhan seperti biasanya. Apa kamu mau membantu Adev untuk mengajak semua anak bermain? Ibu nanti tidak bisa lama-lama di panti soalnya."
"Boleh, Bu. Vania kira ada apa, ibu tenang aja, nanti Vania yang ajak anak-anak untuk bermain." Vania menyetujui apa yang Bu Naira minta, toh ia juga tidak pernah keberatan dengan apa yang namanya bermain.
"Ya udah, Adev sama Vania kumpulin anak-anak untuk bermain aja dulu, ibu mau cepet-cepet pulang, soalnya anak ibu lagi sakit di rumah, mau ibu bawa ke rumah sakit."
Vania dan Adev langsung mengiyakan perintah dari Bu Naira, mereka keluar dari ruangan Naira dan langsung mengumpulkan anak-anak untuk dibawa ke taman bermain.
"Kak mau main apa kita hali ini?" tanya salah satu anak laki-laki yang masih berusia lima tahun, nada bicaranya masih cedal. Sangat menggemaskan.
"Hasbi mau main apa?" tanya Vania berusaha menanyakan apa yang sedang anak itu inginkan.
"Main mobil-mobilan, Kak. Pasti selu deh, apalagi sama Kak Adep." Semua anak langsung menyetujui apa yang Hasbi katakan, bermain mobil-mobilan.
Mereka bermain dari pagi sampai siang, bermain bersama dari satu permainan ke permainan yang lainnya, dari satu topik ke topik yang lainnya. Vania merasakan hangat kembali, merasakan hangatnya keluarga. Merasakan hangatnya bisa berkumpul seperti bersama keluarga.
"Van!" panggil Adev yang melihat Vania melamun di depan jendela kaca.
Tidak ada sahutan, Vania masih terdiam dengan tatapan kosong. Gadis itu masih terhanyut dalam pikirannya sendiri, pasti sedang memikirkan keluarganya, pasti sedang memikirkan tentang bagaimana kondisi orang tuanya.
"Van!" panggil Adev lagi sambil menggenggam tangan Vania.
Vania yang mendapatkan genggaman tiba-tiba pun langsung tersentak kaget. "Eh, iya Dev?" tanya Vania dengan nada yang gemetar.
"Kamu kenapa sih? Kok kamu kaya lagi banyak pikiran gitu, ada apa emangnya? Ada masalah, ya?" Adev langsung to the point bertanya langsung pada intinya kepada Vania.
Vania hanya menggelengkan kepalanya, ia masih memandang jauh ke luar, entah ke mana juga. "Aku cuma lagi mikirin mamah sama papahku aja."
Gotcha! Tepat sekali bukan tebakan Adev? Adev sudah tahu pasti Vania sedang memikirkan tentang keluarganya, ya lagian mana ada seorang anak yang tidak memikirkan keluarga saat keluarganya hancur seperti ini?
"Pasti berat ya, Van? Tapi kamu harus yakin kalau kamu pasti bisa lalui ini semua. Mungkin emang ini jalannya Tuhan untuk hidupmu, mungkin ini emang takdir Tuhan supaya kamu lebih menghargai hidup. Tuhan sayang kamu, Tuhan ingin kamu tetap mengingatnya, Tuhan tau kalau kamu bisa. Aku juga yakin kalau kamu pasti bisa. Inget, Van. Seberat apapun masalahnya, pasti akan ada solusinya. Sekokoh apapun pintunya, pasti akan ada gagangnya." Adev menyemangati Vania supaya Vania bisa menerima semua keadaannya dengan baik. Supaya Vania tidak merasakan sepi dan kesendirian.
"Berat banget, Dev. Sangat berat sekali. Aku pengen mamah sama papah kaya dulu lagi, Dev. Aku pengen mamah sama papah bisa balikan lagi. Aku pengen tinggal dan menua bersama mereka, aku butuh yang namanya keluarga."
Tes. Tes. Tes.
Air mata Vania menetes dari mata turun ke pipi, Vania langsung menyeka air matanya tersebut, ia memejamkan mata supaya tidak menangis lagi, bahkan bibirnya ia gigit sedemikian rupa supaya tidak membunyikan suara.
"It's okay kalau nangis, Van. Jangan ditahan. It's okay kalau kamu gak kuat, Van. Kamu bisa melewati ini semua bareng aku kok, kamu bisa lewati ini semua bareng keberanian kamu. Kamu pasti kuat. Kamu bukan cewek lemah, Vania yang aku kenal itu kuat." Lagi-lagi Adev menyemangati Vania untuk kuat, lagi-lagi Adev menyemangati Vania supaya bisa melalui ini semua.
Tapi ... apakah Vania sanggup dan bisa? Apakah Vania bisa melewati semuanya seorang diri? Apakah Vania bisa melewati semuanya dengan hatinya sendiri? Apakah Vania sanggup juga?
"Aku gak percaya kalau aku bisa, Dev." Vania mengatakan apa yang ia pikirkan, seperti terlalu berangan-angan sekali jika Vania bisa melewati ini semua sendirian.
Adev menggenggam tangan Vania semakin erat, seolah menyalurkan perasaan yang sangat tentram di sana. "Kamu pasti bisa kok, Van. Kamu pasti bisa lalui semua ini. Ke mall yuk? Kita jalan-jalan."