Gak tahu kenapa, pikiranku sekarang memang seperti itu. Aku terlalu trauma tentang perpisahan.
-Vania Raselia Arkarna.
---------------------------------------------
"Aku gak percaya kalau aku bisa, Dev." Vania mengatakan apa yang ia pikirkan, seperti terlalu berangan-angan sekali jika Vania bisa melewati ini semua sendirian.
Adev menggenggam tangan Vania semakin erat, seolah menyalurkan perasaan yang sangat tentram di sana. "Kamu pasti bisa kok, Van. Kamu pasti bisa lalui semua ini. Ke mall yuk? Kita jalan-jalan."
Vania langsung mengembangkan senyumnya saat diajak ke mall. Gadis itu memang sangat menyukai mall, bukan karena ia matre atau bagaimana. Menurutnya mall adalah moodboster paling terbaik, melihat barang-barang kesukaannya, dan lain sebagainya. Melihat brand-brand ternama yang memenuhi mall, melihat makanan yang sangat ia favoritkan, serta banyak hal lainnya juga.
"AYO!" balas Vania dengan sangat antusias.
Adev langsung menggenggam erat tangan Vania dan membawa gadis itu ke parkiran yang berada di sebelah panti asuhan, memberikan helm kepada Vania karena Adev hanya membawa motor setiap harinya. Menurut Adev ia bisa lebih cepat sampai ke suatu tempat saat mengendarai motor, menurutnya ia bisa jauh lebih gesit saat bisa menyalip beberapa kendaraan lainnya.
Vania menerima helm yang Adev berikan dengan senyuman yang terus terpatri tanpa memudar. "Makasih, Dev."
"Sama-sama, Van. Ayo buruan naik!" perintah Adev sambil menyalakan motornya. Vania yang mendengarkan perintah Adev langsung menaiki motor Adev dengan lincahnya. "Yok!"
Motor besar berwarna hitam milik Adev melaju, tidak dengan kecepatan di atas rata-rata. Kali ini laju motornya cukup santai karena bersama sosok wanita yang harus ia jaga, Vania Raselia Arkarna. Deru motor itu membelah jalanan ibu kota dengan diselingi beberapa candaan bersama gadisnya.
"Van!" panggil Adev yang terhalang angin kencang.
"Iya? Kenapa?" balas Vania sedikit berteriak karena takut Adev tidak mendengarnya.
"Gapapa deh," balas Adev yang langsung menghasilkan cubitan di pinggangnya.
"Ih kesel deh! Masa manggil doang gak tau mau ngapain!" gerutu Vania yang langsung melengos, memalingkan wajahnya.
"Aku suka liat muka kamu kalau ngambek deh," goda Adev sambil menggenggam tangan Vania dengan tangan kirinya.
"Ih kamu mah!" Vania melengos lagi, ia sengaja tidak menampakkan wajahnya karena Adev berhasil membuatnya tersipu malu.
Tiga puluh menit motor Adev membelah jalanan ibu kota, kini motornya sampai juga di parkiran mall.
Vania langsung melepaskan helmnya dan bergegas menuju mall tanpa menunggu Adev. Gadis itu sangat kegirangan, setelah beberapa saat akhirnya ia bisa kembali lagi ke mall ini. Ia bisa bersenang-senang lagi.
Adev yang merasa ditinggalkan begitu saja oleh Vania langsung mengejar Vania dan berusaha berjalan di sampingnya. "Kamu mah ninggalin aku mulu!" gerutu Adev sambil memanyunkan bibirnya.
"Bodo amat! Ih beli es krim yuk, Dev? Aku lama banget gak makan es krim!" Vania meminta kepada Adev untuk membelikannya es krim.
Adev yang senang membantu Vania langsung mengindahkan perintah tersebut. "Siap, Tuan Putri."
Dengan langkah gesit Adev berlari ke kedai es krim dan membelikan es krim coklat kesukaan Vania. Untung saja semalam Vania sempat menceritakan apa saja hal yang Vania suka dan tidak suka, makanya Adev tahu jika Vania menyukai coklat.
"Mba es krim coklatnya dua ya," pesan Adev kepada karyawan yang berada di kedai tersebut.
"Oke, Kak. Ditunggu sebentar, ya." Karyawan tersebut langsung menyiapkan es krim pesanan Adev dengan langkah cepat. Tak sampai dua menit pesanan Adev sudah jadi.
"Makasih ya, Mba." Adev memberikan satu lembar uang berwarna merah kepada karyawan tersebut. "Kembaliannya ambil aja, Mba."
Setelah membayar Adev langsung menghampiri Vania kembali dan memberikan es krim yang ia beli.
"Makasih ya, Dev." Vania tersenyum sambil menerima es krim pemberian dari Adev.
"Sama-sama, Van."
"Kamu tau gak, Dev? Aku tuh suka banget sama mall loh, gak tau kenapa, di sini aku ngerasa nyaman aja gitu. Aku ngerasa kalau di sini ramai, banyak yang bersenang-senang dan lain sebagainya. Aku suka banget sama keramaian karena aku gak suka keheningan. Di mall kita bisa bertemu banyak orang tanpa harus mengenal orang tersebut dan lain sebagainya." Vania menceritakan tentang dirinya kepada Adev.
"Aku juga gitu, Van. Aku juga suka keramaian kok, tapi ya terkadang kita emang harus di keheningan saat waktu-waktu tertentu, saat kondisi-kondisi tertentu."
Benar, apa yang dikatakan Adev memanglah benar. Tak semua yang kita sukai akan kita lakukan selamanya. Bisa jadi yang kita kurang sukai, justru di waktu tertentu kita butuhkan. Seperti saja hujan, banyak sekali yang membenci hujan karena menurut banyak orang mereka harus basah-basahan, kehujanan, dan lain sebagainya. Tapi jika kita sedang ingin berteriak dan menangis, kita membutuhkan hujan. Kita membutuhkan hujan agar tangisan dan teriakan kita tidak didengar serta dilihat orang lain.
Kata orang benci dan cinta itu memang beda tipis, mungkin setipis kertas. Kita tidak boleh membenci dan mencintai secara berlebihan, kita memerlukan keseimbangan di antaranya.
"Kamu lebih suka hujan atau panas, Van?" tanya Adev kepada Vania saat berada di kursi mall.
Vania menjentikkan jarinya, ia berpikir keras terhadap pertanyaan yang diberikan Adev. "Emm aku suka keduanya sih, aku suka kalau hujan bisa menyamarkan tangisanku, tapi aku juga suka sama panas, dia bisa membuat aku lebih bersinar dan lebih terlihat bersemangat. Ada juga yang aku benci dari keduanya, kalau hujan aku jadi becek, basah, dan lain sebagainya. Kalau panas aku jadi keringetan. I mind semua yang ada di muka bumi ini gak ada yang sempurna, termasuk hujan dan panas."
Adev mengangguk setuju dengan jawaban cerdas yang dilontarkan oleh Vania. "Kalau kamu lebih suka senja atau fajar?" tanya Adev lagi, entah mengapa pria dengan jaket hitam tersebut menyukai jawaban logis yang Vania berikan.
"Fajar itu menghadirkan, senja itu merenggut, aku lebih suka fajar, sih. Aku lebih suka dihadirkan sosok baru, aku lebih suka dihadirkan seseorang baru, daripada ada orang terdekat aku yang direnggut. Mungkin ini trauma atau apa ya, tapi aku gak tau, setelah kehadiran selingkuhan papah, aku gak pernah suka lagi sama senja. Aku jadi benci gitu sama senja, senja itu jahat, dia merenggut banyak hal, dia merenggut ketentraman dan cahaya hidup. Walaupun senja itu indah, tapi semua orang gak suka perpisahan. Seindah apapun perpisahannya, gak ada orang yang mengharapkan itu."
Senja memang indah, sangat indah, warnanya yang membuat mata terpesona dan sebagainya. Sampai banyak remaja yang dibuat terhipnotis oleh keindahannya. Namun senja tetaplah senja, senja tetaplah perpisahan. Senja tetaplah suatu akhir dari segalanya, meskipun ujungnya fajar akan kembali lagi, tetapi senja juga akan mengekor di belakangnya.
Senja memang indah, tapi tidak ada yang mengharapkan senja. Tidak ada yang mau mengharapkan perpisahan.