4. Malam

1224 Kata
Tik tik tik. Detik jam terus bergerak dan berdetak. Malam semakin pekat, hawa dingin pun semakin melekat. Seseorang gadis menarik tirai jendela sebuah ruangan, menampakkan gelapnya malam. Dengan ditemani cahaya bulan dan bintang, ruangan ini terlihat semakin remang. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri yang sudah dilapisi sweater. Tempat yang gadis itu singgahi termasuk tempat yang terlalu menyenangkan. Tempat yang menjadi segala kisah akan dimulai dan diselesaikan. Tempat yang menumbuhkan jati diri seorang gadis dengan sweater pinknya. Gadis yang sedang duduk di sofa dekat tirai jendela itu sedang menutup matanya, mendengar alunan musik klasik yang membuatnya lebih tenang. Semakin hanyut dalam nyanyian musik yang mengalun, semakin dibuat pekat juga malam oleh suasana gadis itu. Gadis yang menarik ujung tangan sweaternya untuk melindungi tangan dari hawa dingin di kota, menjalankan kakinya menuju sebuah meja, lalu mengambil gelas dan satu sachet coklat panas. Entah mengapa gadis ini merasa hawa dingin tengah gila-gilanya menyeruak. Entah mengapa gadis ini ingin membuat coklat panas untuk menemani malamnya yang pekat. Sudah jadi, sebuah coklat panas yang akan menemani beberapa jam ke depan, gadis itu menarik tangannya dari dalam lengan panjang sweater untuk melihat angka berapa yang sedang disinggahi oleh jam tangan. Pukul setengah delapan malam, padahal termasuk waktu yang masih sore, belum terlalu malam. Tapi mengapa hawanya seperti berbeda malam ini? Tapi mengapa cengkeraman angin malam jauh lebih menyapa kulitnya malam ini? "Mamah sama papah apa kabar, ya? Vania kangen banget sama mereka," batin Vania, gadis yang memakai sweater pink tersebut. Gadis cantik itu langsung membawa cangkir berisi coklat panas menuju sofa di dekat tirai yang ia singgahi tadi. Merebahkan tubuhnya untuk menyender pada sofa. Huh. "Capek banget hari ini, padahal gak ngapa-ngapain. Kangen mamah sama papah, deh. Apa aku hubungi mereka aja, ya?" gumam gadis itu. "Jangan, deh. Biarin mereka tetep nyariin. Eh, apa mereka nyariin? Apa mereka masih peduli? Apa mereka khawatir?" Gadis juwita dengan kalung hati itu menjentikkan jarinya ke dagu, memikirkan apa yang terjadi pada orang tuanya. Apakah orang tuanya memikirkannya, apakah orang tuanya merindukannya, mengingatnya, atau bahkan sudah tidak peduli kepadanya. "Kapan ya mamah sama papah bisa bersatu lagi? Kapan ya mamah sama papah bisa tinggal satu atap sama Vania lagi?" tanya Vania pada dirinya sendiri. Vania meraih ponselnya yang berada di nakas, dekat dengan sofa yang ia duduki. Gadis itu membuka kunci ponselnya dan membuka galeri pada ponselnya, melihat foto bahagia keluarga kecilnya, dulu. Senyum manis nan mata sipit yang terpancar di wajah Vania sangat alami. Genggaman tangan orang tua Vania yang terpampang nyata nan ada. Ringisan serta cengiran mamah yang alami sempurna, menampakkan semua baik-baik saja. Oh iya, jangan lupakan gaya papah yang selalu nampak berwibawa, sangat-sangat membuat banyak kaum tergila-gila. Tapi itu dulu, sebelum Vania sampai ke pintu gerbang kesengsaraannya, sebelum semua masalah satu persatu berganti, sebelum semua kisah dihadiri. Itu dulu, kenangan indah yang memang ada. Kenangan indah yang memang terpampang sempurna membuat hati Vania semakin digenggam erat dan merasa diremas oleh kenyataan. Hati Vania seolah diterjang ribuan pisau yang membuatnya semakin terluka tentang yang namanya realita. "Kenapa papah tega sama aku, Pah? Kenapa papah tega menghancurkan semuanya? Kenapa papah tega ninggalin aku sama mamah? Kenapa papah memilih Tante Safira daripada keluarga kecil kita?" racau Vania yang menyipitkan matanya untuk melihat foto di dalam kegelapan seperti ini. "Mamah juga kenapa seperti ini? Kenapa mamah tega membalas apa yang papah perbuat? Api kalau dilawan sama api gak akan menang, Mah. Api kalau dilawan dengan air lah yang akan padam. Kalian semua emang sama aja. Sekarang Vania yang jadi korban, Mah, Pah. Vania yang harus memilih salah satu di antara kalian berdua. Vania yang harus menerima realita yang bahkan gak pernah Vania suka. Vania anggap dunia ini gak adil, Mah, Pah. Vania anggap dunia ini terlalu kejam menguji Vania, Vania gak tau Vania bisa bertahan atau enggak. Vania gak tau kalau Vania bisa melewati ini semua atau enggak." CEKLEK Mendengar suara pintu yang dibuka membuat Vania terburu-buru mengusap air matanya, membuat Vania terburu-buru tersenyum dan seolah baik-baik saja. Lampu menyala menampakkan sosok pria berbadan tegak nan tegas. Pria dengan pahatan sempurna di setiap inci wajahnya. Pria dengan tatapan redup yang membuat menggila. "Loh Vania? Kamu ngapain di sini?" tanya Adev yang terkejut melihat Vania berada di ruang tamu, ruang sepi yang jauh dari kamar para anak panti. Vania tersenyum tipis sambil menggigit bibir bawahnya, berusaha mencari jawaban apa yang akan ia berikan. "Emm gapapa, aku cuma lagi kedinginan aja, udara di luar benar-benar dingin. Makanya aku pakai sweater sama bikin coklat panas." Adev menyeringai saat melihat jejak air mata Vania yang masih membekas di bawah pelupuk mata. Tak lupa juga mata sembab Vania yang semakin memperkuat opininya. "Kamu gak bisa tidur?" tanya Adev kepada gadis yang memilin ujung roknya. Vania hanya mengangguk sebagai jawaban dan matanya terus menatap ke bawah, seperti seorang maling yang ketahuan mencuri. "Mau jalan-jalan sama aku gak? Nanti aku yang izin ke Bu Naira deh, janji. Lagian ini belum ada jam delapan, pasti diizinin kok." Adev mengajak Vania untuk pergi sebentar, berniat ingin menghibur gadis baru yang memang baru beberapa hari ia kenal. "Emm, emang boleh, ya?" tanya Vania ragu-ragu. Vania juga ingin seperti itu, menghabiskan waktunya di luar panti, namun ia takut Bu Naira marah dan menganggap dirinya seperti apa, gadis tidak ada moral, atau tidak ada etika. Apalagi Vania anak baru di sini. Ia belum mengenal daerah sekitar. "Boleh, pasti boleh kalau sama aku mah. Kamu tenang aja, Bu Naira gak segalak itu untuk memarahi anak panti, Bu Naira juga orang yang humble parah, gak akan mengejudge orang yang baru beberapa kali ia temui." Adev yang mengetahui pikiran Vania langsung mengatakan bahwa pikiran Vania tentang Bu Naira itu salah, pikiran Vania tentang ibu panti di sini itu salah. "Boleh deh, yuk." Akhirnya Vania setuju dengan ajakan Adev. Adev langsung tersenyum lebar dan melangkahkan kakinya menuju ruangan Bu Naira. TOK TOK TOK TOK! Adev mengetuk pintu ruangan Bu Naira sepelan mungkin, guna tidak menganggu anak panti yang sudah tidur ataupun sedang bermain. "Masuk!" jawab Bu Naira dari dalam, Bu Naira memerintahkan Adev dan Vania untuk masuk. "Ada apa Adev?" tanya Bu Naira yang melihat Adev dan Vania memasuki ruangannya. "Emm jadi gini, Bu, saya sama Vania mau izin ke luar sebentar saja boleh? Ini belum jam delapan loh, Bu. Masa gak boleh sih?" tanya Adev yang membujuk Bu Naira untuk memberikan izin. "Kalian berdua mau ke mana memangnya?" tanya Bu Naira kepada kedua remaja di hadapannya. "Ke luar, Bu. Sebentar aja, janji." Bukannya menjawab dengan spesifik, Adev malah hanya menjawab ke luar. "Ya udah, ibu izinkan. Tapi pulangnya jangan malam-malam ya," peringat Bu Naira. Adev langsung memposisikan tangannya seperti sedang berhormat. "Siap, Bu! Makasih ya, Bu." "Iya." Jawaban Bu Naira langsung membuat Adev dan Vania keluar dari ruangan. Mereka berjalan menuju parkiran diselingi tawa yang meledak-ledak. "Bisa aja kamu ngerayu Bu Naira!" decak kagum Vania kepada Adev. "Iya dong. Aku kan udah kenal Bu Naira lama, jadi ya gampang aja." Adev semakin membanggakan dirinya yang bisa menaklukkan hati Bu Naira. "Makasih ya Dev udah mau ada di samping aku," lirih Vania saat menerima helm pemberian Adev. Adev menggenggam erat punggung tangan Vania, mengusap secara lembut tangan gadis itu. "It's okay, Vania. Padahal aku belum berbuat apa-apa loh. Padahal aku baru ajak kamu jalan-jalan loh, belum jalannya," ledek Adev yang membuat Vania melengos sebal. "Ih!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN