5. Bianglala Kehidupan

1071 Kata
Saat ini Vania dan Adev sudah berada di pasar malam. Mereka melihat bagaimana indahnya malam dengan penuh permainan. Bagaimana rasanya mengulang kembali masa kecil, masa di mana mereka bermain di sini. Masa di mana mereka merengek meminta ke sini. "Pasar malam?" beo Vania yang tidak tahu apa maksud Adev mengajaknya ke sini. Vania memang sangat menyukai pasar malam, tapi dari mana Adev bisa mengerti itu? Apakah Adev cenayang? Atau apa? "Aku tau kalau kamu lagi sedih, Van. Makanya aku ajak kamu ke sini. Ini termasuk salah satu tempat favoritku. Ini termasuk tempat di mana kita bisa bahagia, loh." Akhirnya Adev menjawab semua teka-teki yang berada di pikiran Vania. "Kok kamu tau kalau aku lagi sedih? Ini juga salah satu tempat favoritku, kamu cenayang ya?" tanya Vania dengan lugu nan polosnya. Adev yang mendengar lawakan Vania tersebut langsung tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin Adev yang biasa-biasa saja seperti ini bisa cenayang? Aneh sekali. "Ya kali aku cenayang, aku ini orang biasa, gak bisa lah yang namanya cenayang gitu," jawab Adev sambil berjalan menuju tukang jagung bakar. Vania langsung mengikuti langkah Adev, berjalan menuju arah tukang jagung bakar. Apakah Adev mengajaknya untuk memakan jagung bakar? Apakah Adev mengajaknya untuk bercerita sambil menikmati indahnya pemandangan malam dan nikmatnya satu jagung bakar? "Mau jagung bakar?" tanya Adev kepada Vania. Vania yang sangat menyukai jagung bakar pun sama sekali tidak menolak. Bodoh sekali jika sampai ia menolak tawaran tersebut. "Mau!" "Jagung bakarnya dua ya, Bu." Adev memesan dua jagung bakar kepada ibu penjual, cowok itu langsung duduk di tikar yang sudah disediakan. Melipat kedua tangannya di depan d**a sambil melihat bagaimana indahnya permainan anak kecil. "Kamu ajak aku ke sini untuk apa sih?" tanya Vania yang langsung mengambil duduk di sebelah Adev. "Menikmati malam, Van. Supaya kamu gak sedih terus. Tadi pas aku mergokin kamu di ruang tamu aku liat ada jejak air mata di bawah mata kamu, makanya aku langsung mengambil keputusan kalau kamu lagi sedih, aku tau itu dari gimana gemetarnya kamu, aku tau itu dari gimana sorot mata kamu." Adev menceritakan apa yang ia lihat dari semua tingkah laku Vania. "Sedetail itu kamu perhatiin aku?" tanya Vania dengan senyum yang melebar. Adev hanya mengangguk sambil mengambil jagung bakar yang sudah diantarkan oleh penjual. "Jauh lebih detail dari itu malah," jawab Adev. "Kamu lagi ada masalah, kan? Coba deh cerita sama aku, siapa tau aku bisa bantu masalah kamu," lanjutnya. Vania hanya bisa tersenyum simpul sambil mengambil jagung bakar miliknya, gadis itu langsung menggigit salah satu makanan favorit yang jarang sekali ia makan ini. "Gapapa kok, cuma kepikiran mamah sama papah aja. Gimana caranya gak kepikiran sama orang tua coba? Aku mikirin mereka, mereka lagi apa, apa mereka bahagia atau enggak, mereka nyariin aku atau enggak, atau justru mereka lagi foya-foya. Aku rindu mereka, tapi aku juga kecewa sama mereka. Aku kecewa sama semua keputusan yang mereka ambil, mereka cuma ambil keputusan yang mereka suka, mereka mengorbankan aku. Mereka gak mikirin gimana kehidupanku selanjutnya setelah mereka berpisah, aku depresi atau enggak, aku frustrasi atau enggak, aku capek atau enggak, aku gimana ke depannya. Mereka benar-benar egois ambil keputusan yang mereka suka. Mereka gak adil." Adev mengusap lembut punggung tangan Vania, memberikan kekuatan di dalam usapan tersebut. "Vania ... aku yakin gak ada orang tua yang egois, aku yakin gak ada orang tua yang mau menyakiti perasaan anaknya sendiri. Mungkin emang orang tua kamu udah mikirin itu mateng-mateng. Mungkin emang itu jalan yang terbaik buat ke depannya. Mereka juga akan menyiksa kamu terus kalau mereka masih bersama, mereka masih bertengkar, mereka masih ribut, batin kamu juga sakit. Mereka hanya ambil jalan tengah yang menurut mereka itu semua adalah jalan yang terbaik. Kamu bisa jauh lebih tenang kalau gak mendengarkan keributan kedua orang tua. Kamu bisa jauh lebih tenang kalau mereka bahagia sendiri-sendiri. Mereka memilih jalan masing-masing." "Tapi aku gak suka sama jalan ini, Dev. Ini semua menurutku gak adil. Ini semua menurutku bukanlah jalan penengah, ini adalah jalan dari pilihan mereka masing-masing. Mereka yang ingin bahagia dan lain sebagainya." Vania tetap tidak mau mengubah mindsetnya. Menurutnya mengorbankan salah satu pihak bukanlah jalan penengah, menurut Vania mengorbankan anak yang masih lima belas tahun usianya bukanlah suatu penyelesaian. "Kamu yang sabar aja, Van. Allah udah kasih jalan yang terbaik, Allah udah takdirin jalan hidup kita bagaimana. Allah pasti tau seberapa besar batas kemampuan kita menerima masalah. Allah pasti tau seberapa besar rasa sabar kita menghadapi suatu masalah juga. Allah gak akan pernah tidur. Allah melihat semua yang kita alami, yang kita lakukan, dan segalanya. Allah udah siapin rencana yang indah untuk kita semua. Mau naik bianglala?" tanya Adev pada Vania yang dengan kilat menerbitkan senyum pada bibir gadis itu. Bagaimana mungkin Vania menolak jika Vania sangatlah suka bianglala. Bianglala adalah sebuah tempat di mana kenangan masa kecil terjadi. Bianglala adalah segalanya bagi Vania dahulu kala. Dengan cepat Vania langsung bangkit dari tempat duduknya. "Yuk!" seru gadis itu. Adev menggenggam tangan Vania dengan erat, membawanya menuju tempat bianglala itu berada. Setelah sampai di tempat bianglala, Adev membeli tiket masuk untuk dua orang, lalu mereka menunggu arahan untuk masuk. Dan sekarang mereka sudah bisa masuk. Satu persatu orang memasuki bianglala, kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang membawa putri atau putra mereka semua. Ya, pasti mereka akan menghibur putra putrinya. Adev dan Vania memasuki bianglala di urutan akhir. Baru beberapa detik yang lalu mereka masuk, bianglala sudah berputar saja. Vania melihat bagaimana indahnya pemandangan dari atas, dari tempatnya duduk di bianglala. Justru ini sangatlah indah. "Van!" panggil Adev yang melihat senyum Vania terbit. Dengan cepat Vania langsung menolehkan wajahnya lalu mengangkat alisnya, seolah bertanya kenapa. "Kamu tau kenapa aku mau kita naik bianglala ini? Kamu tau kenapa aku ajak kamu ke sini?" tanya Adev seolah memberikan teka-teki kepada Vania, membuat Vania menggeleng lemah sambil mengerutkan keningnya. "Bianglala kehidupan. Aku mau kamu mempelajari kehidupan ini layaknya bianglala, kadang di atas, kadang di bawah. Kita gak bisa selamanya berpijak di sini, di tempat yang sama, entah itu di atas maupun di bawah. Kita gak bisa minta sama sang pengendali supaya membuat kita terus berada di atas, nanti banyak dari mereka yang marah, yang mencak-mencak karena tidak bisa merasakan bagaimana rasanya berada di atas. Hidup itu gantian tempat, Van. Hidup itu gak boleh egois. Harus bersabar saat di bawah, dan jangan pernah sombong saat di atas." Vania melangkahkan kakinya menuju ke arah Adev. Gadis itu berwajah datar sekali, entah marah atau bagaimana. "Dev ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN