PLAK!!!
"YANG SOPAN KAMU SAMA OM GENTA!" bentak mamah.
Lengkap sudah penderitaan Vania. Papahnya sudah pernah menampar pipinya demi Tante Saf. Kini mamahnya menampar pipinya demi Om Genta.
"Dia anak tante. Jangan kasar dengan anak sendiri, itu tidak baik!" sentak Adev menjauhkan Vania dari Kiara.
Vania mengajak Adev ke kamarnya, ia ingin segera pergi dari sini, dari rumah mamahnya. Dari rumah yang dulu menjadi tempatnya berlindung, dari rumah yang dulu menjadi tempatnya tersenyum dan bahagia. Kini rumah ini telah berbeda, rumah ini telah membuat ribuan luka di relung hati Vania. Rumah ini adalah kesengsaraan Vania sekarang.
Vania membereskan bajunya satu-persatu. Ia mengingat seberapa banyak kenangan di setiap sudut bahkan setiap inci di rumah ini. Dari di mana ia bermain bersama ayahnya, bermain bersama ibunya, bercerita bersama kedua orang tuanya, voting liburan, menonton film bersama, kemping di taman saat sedang jenuh, dan lain sebagainya. Setiap inci dan sudut yang banyak cerita.
Vania berpindah ke meja belajarnya, ia melihat banyak foto-foto kenangan juga di sana, foto-foto mood boosternya yang sengaja ia pajang supaya menambah semangat. Foto-foto yang banyak mengandung kisah. Ia mengusap foto-foto tersebut dengan kasih sayang, seolah foto tersebut adalah barang yang berharga. Ya, Vania menganggap itu semua adalah barang berharga, di mana ia tersenyum manis dan lebar tanpa mengetahui pintu gerbang kesengsaraan akan hadir menjemputnya.
"Vania kangen kalian semua. Vania kangen sama keluarga kecil kita, Mah, Pah. Vania kangen bagaimana dulu kita bersama, berkeluh kesah di atap yang sama, berbagi cerita di ruangan yang sama, bercerita penuh semangat di dinding yang sama. Aku rindu kalian semua, di mana kalian masih memikirkan putri kecil kalian, di mana kalian belum memikirkan bagaimana senangnya perselingkuhan." Vania membatin dengan isak tangis yang tak bisa dikendalikan lagi, ia benar-benar menangis sejadi-jadinya. Ini semua seperti masalah yang sangat berat yang menimpa Vania. Vania tidak sanggup menerima ini semua.
"Van, are you okay?" tanya Adev yang melihat Vania menangis. Adev tahu jika Vania tidak baik-baik saja. Adev tahu jika Vania terluka. Adev tahu jika Vania membutuhkan seseorang untuk berbagi keluh kesah. Dan Adev pun bersedia jika ialah orang yang Vania butuhkan itu.
"Gak ada anak yang baik-baik aja saat ditampar oleh orang tuanya, Dev. Bukan seberapa kencangnya tamparan itu, bukan seberapa keras bunyi tamparan itu, tetapi seberapa terluka hati anak yang ditampar. Sakit, jujur sangat sakit sekali. Seorang wanita yang melahirkan kita rela menampar kita di depan pacarnya, pacar yang mungkin akan menjadi ayah tiri kita." Vania menangis sesenggukan menceritakan apa yang hatinya rasakan kepada Adev. Jauh di lubuk hati Vania masih tersimpan seberapa sakit yang jauh lebih dalam, saat dirinya dijadikan seperti tumbal perselingkuhan.
"Aku ada di sini, Van. Aku akan menemani kamu sampai kapanpun. Di saat kamu membutuhkan waktu, aku akan menunggumu. Di saat kamu membutuhkan telinga, aku siap menjadi pendengarmu. Di saat kamu butuh bahu, aku siap menjadi sandaranmu. Gapapa kalau kamu sendiri, ada aku yang terus berada di sampingmu. Gapapa kalau kamu terluka, aku siap menjadi plestermu. Kamu masih punya aku, Van. Sejak kamu kenal aku, aku lah yang akan beriringan di samping kamu." Adev menyenderkan kepala Vania tepat di bahunya, mengusap lengan Vania dengan penuh kasih sayang, memberikan pengertian kepada Vania bahwa Vania tidaklah sendirian.
Vania adalah hidup Adev, Vania adalah semesta Adev. Vania adalah segalanya bagi Adev. Entah sejak kapan dan bagaimana, Vania berhasil masuk dan mendobrak pintu hati Adev. Entah bagaimana caranya, Vania sudah berhasil mengisi singgasana hati yang Adev kunci.
"Van, kamu itu segalanya bagiku. Jangan menangis, jangan bersedih, aku gak mau kalau semestaku menangis dan bersedih. Kamu itu wanita yang harus aku jaga, bukan karena apa-apa, tapi aku merasa kamu itu istimewa." Adev kembali memberikan pengertian kepada Vania. "Jangan bersedih lagi, kamu berhak bahagia. Jangan menangis lagi, kamu jauh lebih pantas tersenyum manis. Kamu harus menerima permainan takdir ini, Van. Kamu harus lebih menerima semua jalan Tuhan ini, ikhlaskan aja semuanya. Tuhan pasti bakalan ganti yang jauh lebih baik. Tuhan pasti memberikan pelangi di ujung jalan sana," lanjut Adev.
Vania tersenyum manis saat diberikan pengertian oleh Adev. Vania harus berubah. Ia harus jauh lebih menerima permainan takdir seperti yang Adev katakan tadi. Vania harus jauh lebih ikhlas terhadap jalan yang Tuhan berikan juga. Vania juga harus yakin bahwa ada pelangi di ujung jalan sana yang harus dengan segera Vania temui.
"Makasih ya, Dev. Aku gak tau lagi kalau misalnya gak ada kamu aku harus gimana, aku gak tau lagi kalau gak ada kamu dan gak ketemu kamu aku harus bersandar sama siapa, cerita sama siapa, dan segalanya. Jalan yang aku ambil di saat hujan-hujanan menuju panti adalah jalan yang aku kenang selamanya, jalan itu enggak akan aku lupakan sama sekali. Aku bahagia bisa mengikuti arus dan jalan itu, gak ada di pikiran aku menyesal sedikitpun. Aku bahagia bisa bertemu dengan seorang pria tampan seperti kamu, aku bahagia bisa bertemu seseorang yang sangat aku butuhkan." Vania berterima kasih kepada Adev. Entahlah, Vania tidak tahu bagaimana lagi caranya berterima kasih, ia sangat bahagia karena di balik ini semua, ada juga rencana Tuhan yang indah.
Adev mengangguk sambil membenarkan anak rambut Vania yang berjatuhan sampai mengenai mata gadis tersebut. Ia mengecup kening gadis tersebut dengan sangat lembut, menyalurkan seberapa sayang serta takut kehilangannya pria itu kepada Vania. "Sama-sama, Van. Aku juga bahagia bisa bertemu dengan kamu, aku juga bahagia bisa kenal sama kamu. Aku bahagia bisa menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup kamu. Yang harus kamu ketahui juga, aku sangat-sangat menginginkan kamu bahagia, aku gak mau kalau kamu sedih sama sekali. Oleh karena itu, aku minta sama kamu untuk bahagia, lupakan semua kesedihan kamu. Lupakan semua kejahatan takdir yang mempermainkan kamu. Ikhlaskan semua yang menyakitimu. Terima saja semua takdirmu, kamu pasti bahagia."
Vania mengerjapkan matanya berulang kali. Gadis itu sangat-sangat bersyukur mempunyai sandaran seperti Adev. Gadis itu sangat-sangat senang mempunyai sosok pria tampan berhati tampan pula seperti Adev. Vania sangat menyayangi Adev, Adev adalah kehidupan Vania. Adev adalah segalanya bagi Vania. Di saat semua orang menghindar dari Vania, hanya Adev lah yang mendekati Vania dan merangkulnya. Di saat semua orang memberikan kenangan buruk bagi Vania, hanya Adev lah yang melukiskan sesuatu kenangan yang baik. Adev adalah kehidupan Vania.