Dinikahi Bocah Prik S2

Tidak ada yang tau jika pada akhirnya semua ini terjadi, Rangga baru saja bangun daritidur panjangnya yang memakan waktu seminggu itu, tetapi ia harus menelan pil pahit kenyataan. Ia mendapati surat dari istrinya yang menyatakan perpisahan, dimana ia membuatnya menangis. Inginnya ketika ia bangun, orang yang pertama bersyukur atas bangunnya ia adalah Dinda. Sungguh ia mencintai istrinya dan ingin melihat wajahnya, tetpi sekarang, ia harus merasakan sakitnya mencintai dan melihat rangkaian kata yang sangat menyayat hati. Dimana Dinda sekarang? Ia ingin memeluknya dan menyatakan cinta berkali-kali, inginnya sesederhana itu, tetapi menjadi salah ketika berhadapan dengan idealisme kehidupan kapitallis yang mencekam. “Kenapa harus begini?” tanya Rangga pada Brylee yang juga tak bisa berkata-kata. Brylee juga menangis atas semua yang terjadi pada adiknya dan adik iparnya. Cinta mereka sesulit itu, padahal cinta mereka sederhana dan tak menunut banyak. “Aku juga gak tau, Ga. Tapi untuk sekarang ini, please sembuh dulu … baru setelah itu kamu bisa bawa Dinda kembali dan kalian bisa hidup bersama lagi. Itu hanya bisa dilakukan ketika kamu sehat, kamu gak akan bisa lakuin banyak hal dengan keadaanmu yang sekarang. Jadi, sekarang misi utamamu adalah sehat, ya?” Rangga mengangguk, benar apa kata Brylee, ia harus sembuh dulu sebelum akhirnya bisa menjamput Dinda pulang ke pelukannya. Namun jika situasinya tak memungkinkan ia rela harus tinggal di sebuah desa terpencil bersama Dinda yang ia cinta, lalu membangun kehidupan bahagia bersama anak-anak mereka kelak. Maka kondisinya sekrang tidak bisa menjawab semua itu, ia tak bisa melakukan apapun dengan kondisinya yang sekarang. Tak lama, Clarissa datang bersama Darius, Rangga langsung menyembunyikan surat tersebut dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Darius dan Clarissa tampaknya tak menyadari sikap mencurigakan Rangga karena terlalu senang mendengar berita Rangga siuman. “Rangga, kamu bangun, Nak?” ujar Clarissa sebelum memeluk putranya. Wanita bule itu terlihat mengalirkan air mata. Meski wanita itu seperti iblis dalam bisnis, ia sangat mencintai anak-anaknya. Ia tak bisa menahan diri untuk menangis ketika ia melihat Rangga yang ia tunggu kabarnya telah bangun dan duduk di ranjang. Darius juga mengelus tangan kiri Rangga yang tidak dipasang infus, ia terlihat masih lemah tetapi pembawaannya tak berubah saat sebelum kecelakaan itu terjadi. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan yang meminta penjelasan, dan ia menatap ke sekeliling ketika tak mendapati yang ia cari. “Dinda ….” sebutnya membuat Clarissa melepas pelukannya. Ia menatap putranya shock, sementara Darius membuang muka tak suka. Susah payah ia menyempatkan ke rumah sakit dan meninggalkan berates tugasnya hari ini, tetapi putranya malah mencari seorang gadis tak tahu malu yang dengan tanpa perrsetujuan keluarga Utama, menikah dengan pewaris tunggalnya. “Dinda kemana?” tanya Rangga lagi. Kali ini ia beralih ke Brylee yang menunduk, ia tak kuat dengan situasi ini. Ia tau Rangga sedang menggertak kedua orang tuanya agar mengaku, tetapi ia masih sedih kalau mendengarnya berulang kali. Ada luka besar di dalam bertanyaan Rangga, itu menyayat hatinya sampai ia tak bisa bernapas dengan lancer seperti biasanya. Ia tak bisa melakukan hal lain selain diam dan menyimak apa yang terjadi selanjutnya. “Dinda-ku dimana, Pih, Mih?” tanyanya pada kedua orang tuanya. Clarissa tak menjawab, ia menjauhi ranjang Rangga dan duduk di sofa sambil menutup wajahnya frustasi. Ia ingin menjauhkan Dinda demi kebaikan Rangga, bukan untuk menyiksanya. “Papi, Mami please … kemana Dinda?” tanya Rangga untuk kesekian kali. “Dinda di luar, ya? Tolong panggilin Dinda, Kak, aku ingin ketemu,” ujarnya pilu. Namun, Brylee tambah menangis dan menggeleng, “Dinda pergi,” ujarnya. “Kenapa, Kak? Kenapa Dinda pergi, apa salahku?” tanya Rangga meraung. Ruangan yang tadinya sepi menjadi bergemuruh dengan suara Rangga yang baru siuman, Darius juga merasa terganggu dengan situasi itu, hingga ia tak sengaja membentak Rangga balik. “Diam!!!” Rangga, Clarissa dan Brylee kaget dengan bentakan Darius yang sejak lama tidak mereka dengar. Darius biasa menggunakan suara pelan dan menekan jika marah, sudah lama ia tak mengalami lepas kendali begitu. “Kenapa, Pih? Papi ngelakuin sesuatu sama istriku?” “Jangan sebut perempuan rendahan itu istrimu, Rangga. Dia sudah setuju dengan surat cerai, kamu tinggal tanda tangani saja dan semuanya selesai.” Rangga menggeleng keras, “Sampai mati pun aku gak akan melepas Dinda, camkan itu Pih!” “Kurang ajar kamu! Jangan sampai kamu dan Dinda kami pisah secara paksa, dan Papi gak segan-segan bunuh dia!” “Pih!” panggil Brylee yang melihat Darius pergi dari sana dengan tampang marah. “Aku gak akan biarin itu terjadi, aku juga bisa lakuin hal yang bisa buat Papi berhenti!” teriak Rangga sebelum punggung Darius terhalang pintu. “Rangga sabar ….” Ujar Brylee. Clarissa tak melakukan apa-apa, ia bingung dengan situasi itu, ia tak bisa melakukan apapun untuk mencari jalan tengah. “Lihat, Mi. Papi gak ada perasaan belas kasih sama anaknya sendiri, apa salahnya jika Rangga mencintai Dinda?” tanya Brylee pada Clarissa. Clarissa menggeleng, ia juga tak tau jawabannya, ia tak memngerti dan bingung. “Tapi Utama butu pewaris yang kuat,” ujarnya. “Apa pewaris yang kuat harus menikah karena bisnis juga?” tanya Rangga yang masih menahan emosinya. “Setidaknya dia punya backing kuat untuk semuanya,” jawab Clarissa. “Biarkan aku yang akan jadi backing terbaik anak kami, jika takaran kalian adalah harta.” “Mami udah gak tau lagi harus bagaimana, kamu bisa perjuangkan itu sendiri, karena Mami gak bisa berbuat apa-apa.” Clarissa lebih menyayangi anaknya, ia tak bisa berbohong atas itu. Daripada ia menyakiti anaknnya lebih jauh, ia memilih berselisih dengan suaminya sendiri yang tetap gigih menjadikan Rangga sebagai pewaris ideal yang diidealkan kalangan mereka. Rangga tak bisa mendesak ibunya lagi, bagaimanapun sifat ibunya, ia mencintainya dan tak ingin menekannya. Ia tak ingin membuat ibunya sedih terus menerus dan membuatnya terguncang. “Rangga akan perjuangin ini semua, Mami gak perlu khawatirkan aku, aku sudah dewasa MI.” Clarissa tak menjawab, ia tak tau kenapa kata-kata Rangga sangat dewasa dan membuatnya terharu. Ia menyesali masa lalu dimana ia selalu membatasi anak-anaknya karena sibuk dengan urusannya sendiri. Padahal Rangga adalah anak lucu yang pintar sejak kecil, hal yang tak bisa dipungkiri kini ia adalah pemuda tampan beristri yang bertanggungjawab. Meski ia tak setuju dengan kenyataan bahwa DInda yang Rangga cinta, tetapi ia tak bisa apa-apa kecuali menerimanya diam-diam. Jika Dinda adalah kebahagiaan Rangga, sebagai ibu, ia bisa apa. Sejauh ini pun ia tak bisa memberi yang Rangga butuh tentang kasih sayang seorang ibu. Akan tidak adil jika ia tiba-tiba menuntut Rangga untuk bersikap manis, padahal ia sendiri tak melakukan itu pada Rangga.