Bab 1. Sial Hari Pertama Kerja
"Sial! Pakai acara ban kempes segala, jadi terlambat' kan. Sial!" umpat pengendara sepeda motor yang baru saja lepas dari lampu merah dan langsung memacu kendaraannya begitu lampu berubah hijau.
Hari pertama masuk kerja di tempat baru justru terlambat, di tambah padatnya lalu lintas semakin membuat mood Alina Fauziah berantakan. Terbiasa berkendara di jalanan padat membuat Alina terlihat gesit, hingga pada tikungan yang cukup ramai arus lalu lintasnya emosi Alina kembali naik.
"Woi! Bisa bawa mobil nggak?" teriak Alina yang melihat seorang ibu-ibu setengah baya yang hampir tertabrak mobil yang melintas dengankecepatan tinggi.
“b******k! Malah melarikan diri,” teriak Alina melihat mobil keluaran Leipzig Jerman itu justru menambah kecepatannya, dan kabur.
Melihat ibu-ibu yang terjatuh sudah ada yang menolong, Alina gegas tancap gas mengejar mobil berwarna hitam tersebut. Tidak sia-sia gadis berambut sebatas punggung itu selalu rajin berlatih menggeber kendaraan di sirkui balap, hingga dalam waktu singkat bisa memangkas jarak antara kendaraannya dengan mobil yang jadi targetnya.
Alina cukup gesit mengendalikan sepeda motornya meliuk di antara kendaraan yang lainnya. Begitu berhasil mensejajarkan posisi kendaraannya dengan mobil targetnya, Alina menberi kode supaya pengemudi sedan mewah itu menepikan mobilnya, tapi usaha Alina sia-sia. Bukannya mengidahkan isyarat yang diberikan Alina, pengemudi ugal-ugalan itu justru semakin tancap gas.
“b*****t! Awas aja kalau sampai bisa menghentikanmu,” umpat Alina dengan emosi yang semakin memuncak melihat mobil yang melaju semakin kencang di depannya.
Kebut-kebutan antara dua kendaraan beda jenis jelas tidak bisa dihindarkan. Alina yang keukeh ingin memberi pelajaran pengemudi Porsche tidak berniat sedikitpun ingin melepas targetnya. Begitu juga dengan pengendara yang nyatanya melakukan kesalahan dan lari dari tanggung jawab.
Suara decit ban beradu dengan aspal terdengar jelas ketika pengemudi Porsche berusaha mengehentikan kendaraanya karena motot Alina tiba-tiba memotong jalannya. Gadis yang sudah merantau sejak duduk di bangku SLTA itu memang senagaja melakukan hal itu demi bisa menghentikan mobil yang hampir mencelakakan pengguna jalan lain itu.
“Turun!” teriak Alina sambil menggebrak kap mobil mahal tersebut.
Tidak mendapat tanggapan dari pengemudi mobil, Alina semakin marah. Ditendangnya pintu depan bagian pengemudi.
“Turun nggak? atau aku teriak biar massa yang bertindak!” ancam Alina. Nyatanya tetap taka da tanggapan dari orang yang ada dalam mobil tersebut.
“Budeg ya? turun!” Alina semakin dibuat marah, jemari lentiknya berusaha membuka tuas pintu mobil, nyatanya terkunci dari dalam.
Ditendangnya lagi pintu mobil sekuat tenaga, meninggalakan goresan di body mobil tersebut. Alina sudah tidak peduli dengan resiko dengan perbuatannya, gadis itu nekat mengambil batu yang dilihatnya di tepi jalan, dan kesempatan itu justru dimanfaatkan pengemudi mobil untuk kabur. Setelah berhasil memundurkan kendaraannya, pengemudi yang belum diketahui siapa dan apa gendernya itu langsung tancap gas, bahkan sempat menyenggol kendaraan Alina sampai terjatuh.
“b*****t!” umpat Alina melepar batu yang sudah ada ditangannya.
Suara benturan dua benda keras terdengar nyaring. Lemparan Alina tepat sasaran mengenai kaca belakang mobil.
“Mampus!” walau tidak bisa memberi pelajaran pengemudi ugal-ugalan tersebut, paling tidak apa yang dilakukannya cukup memberikan pelajaran.
“Dasar orang kaya nggak punya otak! Yah, lecet deh,” gerutu Alina meneliti sepeda motornya dan merasa kecewa mendapati baretan di bagian belakang samping kanan body motornya.
“Nanti tutup stiker ajalah. Mampus! udah jam segini, jadi tambah telat’ kan?” Alina gegas melanjutkan perjalanannya, hatinya semakin jengkel karena jarak yang ditempuh makin jauh.
“Semoga hidupmu nggak akan pernah tenang.” Alina masih saja ngedumel sendiri dalam perjalanan, dengan sesekali melirik body motornya yang lecet dari kaca spion.
***
“Mbak ada keperluan apa?” Seorang security mendekati Alina yang memarkirkan sepeda motornya tak juah dari pos penjagaan.
“Saya karyawan baru, Pak,” jawab Alina melepas helmnya.
“Jam segini baru datang? Huh, anak muda zaman sekarang. Parkir di lorong sana, di sini khusus untuk tamu perusahaan.” Petugas keamanan itu menunjukan arah tempat parkir khusus karyawan.
“Baik Pak, terima kasih.” Alina gegas memindahkan kendaraan di tempat yang seharusnya.
Alina sedikit berlari saat memasuki gedung menjulang yang akan menjadi tempat menghabiskan separuh harinya untuk mencari pundi-pudi rezeki. Setelah menunggu beberapa saat di bagian resepsionis, Alina diminta ke bagian HRD.
“Alina… Alina, hari ini terlambat tiga puluh menit lebih. Kalau bukan karena kamu berkompeten dan calon karyawan terbaik dari semua yang melakukan interview sudah saya suruh kamu pulang,” ucap kepala HRD dengan wajah kecewa.
“Maaf Pak.” Hanya itu yang Alina ucapkan, karena menjelaskan inseiden yang dia alami pasti tidak akan merubah apapun.
“Ya sudah sana kamu bergabung ke divisi keuangan, waktu kamu tinggal sepuluh menit untuk beradaptasi dan berkenalan dengan tim kamu di sana, karena pagi ini CEO akan memberikan sedikit sambutan untuk karyawan yang baru bergabung di bulan ini.”
“Baik Pak, saya permisi.”
Dengan diantar salah satu staf HRD, Alina menuju divisi keuangan tempatnya bergabung dengan perusahanan yang cukup bonafit ini. Setelah perkenalan singkat dengan orang-orang yang kedepannya akan jadi rekan kerjanya, Alina diminta segera bergabung ke ruang metting.
Ruangan dengan meja berbentuk lonjong melingkar dikelilingi kursi menyambut Alina, di sana sudah ada beberapa orang yang mungkin katyawan baru juga. Bayu—kepala HRD, juga sudah ada di sana.
“Duduk Lin, cari tempat yang nyaman,” pinta Bayu pada Alina.
Baru saja Alina mendaratkan pantatnya di kursi empuk, pintu ruangan terbuka dan masuklah sosok lelaki, tinggi tegap, dengan wajah dingin. Lelaki tersebut rupanya CEO One Diamond tempat Alina bekerja sekarang. Suara baritone yang tegas terdengar memenuhi sudut ruangan. Lelaki yang mengenal diri bernama Arshaka Virendra Shafwan itu tidak banyak berbicara, secukupnya saja, tapi bisa sangat dipahami oleh Alina juga mungkin rekan-rekannya yang lain. Selesai dengan keperluannya dengan semua karyawan baru, Arsha gegas meninggalkan ruangan tersebut tetap dengan wajah dinginnya.
“Lin, setelah ini kamu ke ruangan saya ya!” pinta Bayu pada Alina saat akan keluar ruangan metting mengekor langkah Arsha.
“Baik Pak.”
Selang beberapa menit, Alina sudah duduk di hadapan Bayu. Hatinya jelas siap kalau harus kena tegur karena keterlambatannya hari ini.
“Lin….”
“Iya Pak?”
“Dengan berat hati, saya harus mengatakan kalau kontrak kerja kamu terpaksa kami batalkan, dan kamu tidak jadi bekerja di One Diamond.”
“Mak—sud Bapak saya dipecat bahkan belum sehari bekerja?” Alina cukup terkejut dengan yang disampaikan oleh lelaki di depannya. Bayu hanya mengangguk lemah.
“Apa karena hari ini saya terlambat masuk, Pak?” Alina penasaran dengan alasan pemecatannya yang bahkan belum sempat merasakan kerja di tempat impiannya ini.
Kalau memang benar keterlambatannya yang membuatnya dipecat, memang masuk akal. Namun, apa tidak ada sedikit toleransi untuknya. Paling tidak diberi SP 1 dululah jangan langsung dipecat. Alina belum bisa menerima keadaan yang menurutnya tidak adil baginya.
Bersambung.