Seorang Penolong

2545 Kata
“Ah, sakit,” ucap Velia saat dirinya tersandung akar tanaman. Dia tidak menyadari bahaya apa yang tengah mengintainya. Sulur-sulur dari tanaman pemangsa sudah mulai menjalar dengan cepat mendekati sumber suara. Velia, Wanda dan juga laki-laki misterius bertudung merah mulai tampak panik. Mereka sudah jauh di dalam hutan, rasanya mustahil bisa mencapai tepi hutan dengan selamat tanpa tersentuh sulur-sulur. Sulur-sulur tanaman melecut memburu mereka bertiga, kecepatan dan ketepatannya sungguh perlu diwaspadai. Setiap gerakan mereka bertiga selalu dapat diikuti oleh sulur-sulur, seperti punya mata di ujungnya. Sulur itu mengejar tangan dan kaki calon korban untuk kemudian membelit hingga tidak bisa bergerak, membuat mereka bertiga lebih giat mengayunkan pedang untuk menebas sulur-sulur yang terus berusaha menangkap mereka. “Aaaa.... Velia, awas!” Wanda berteriak memperingatkan Velia namun terlambat, beberapa sulur sudah melilit tangan dan kaki cewek cantik itu. Velia mencoba menggerakkan tangan untuk meraih tongkat sihir yang terjatuh di dekatnya. Sulur itu melilit semakin kencang hingga membuatnya kesulitan bergerak. Wanda sendiri juga tidak dalam kondisi yang baik, tubuhnya terseret mendekati sebuah tanaman yang bersiap menelan mangsa. Wajahnya sudah pucat pasi, dia bahkan sudah tidak bisa menggerakkan tubuh. Butiran air mata mulai jatuh membasahi pipi, dia mengingat keluarga yang mungkin akan ditinggalkan. Dia menyesal tidak meminta bantuan orang tua dan juga kakaknya, tidak ada yang tau keberadaannya sekarang. Bagaimana cara mereka mendapatkan pertolongan? Lelaki bertudung merah berkelit dari sulur yang menyerangnya, dia mengutuk mulut cewek yang sudah mengeluarkan suara saat berburu merak. Apa dia tidak tahu resiko jika mengeluarkan suara di hutan kesunyian? Dasar cewek ceroboh. Beruntung dia melihat Wanda yang sudah lemas terseret mendekatinya, dengan satu gerakan cepat dia menebas sulur yang mengikat tubuh cewek berkacamata itu. Wanda mencoba melepaskan diri dari ikatan yang mulai mengendur, meskipun tubuhnya sudah tidak bertenaga dia tetap memaksakan diri berlari mendekati Velia. Laki-laki bertudung merah itu berlari menyusul Wanda, menebas sulur untuk membuka jalan. Mereka berdua bahu membahu menebas sulur yang mengikat Velia. Tubuh Velia sudah terbungkus semua, Wanda ragu temannya itu masih bertahan. Sedikit demi sedikit lilitan mulai mengendur karena tebasan pedang Wanda, dia menangis terisak melihat kondisi Velia yang tidak bergerak. Lelaki itu mengelesaikan tebasan terakhir, dia membantu mengurai lilitan di tubuh Velia. Lelaki itu menggendong Velia, memberi kode Wanda untuk mengikutinya. Wanda berusaha mengimbangi lari laki-laki itu, dia sedikit kepayahan karena seluruh tenaga sudah terkuras saat menghadapi serangan sulur. Langkah kakinya sudah mulai goyah, dia berjalan lambat-lambat dengan terhuyung-huyung. Laki-laki itu memperlambat langkahnya, meletakkan Velia dengan hati-hati di atas rumput. Tubuh Wanda ambruk di samping Velia, cewek itu sudah tak sadarkan diri setelah memaksakan diri menolong temannya. Hari menjelang sore saat Wanda membuka mata, dia merasakan sedang terbaring di atas rumput yang lembut. Telinganya samar-samar mendengar bunyi gemericik air, pasti ada sungai yang mengalir tenang. Beberapa detik kemudian dia terlonjak karena mengingat Velia, dia harus mencari cewek itu. Wanda mengedarkan pandangan keseluruh penjuru arah,  tak jauh dari situ dia melihat Velia tengah terbaring ditunggui oleh laki-laki asing. Wanda merangkak mendekati Velia dan laki-laki bertudung merah, dia masih merasa lemas tapi tetap berusaha keras menjangkau tempat itu. Laki-laki itu sedang mengompres dahi Velia saat merasakan ada yang menarik ujung jubah hingga membuat laki-laki itu berjingkat terkejut. “Dia masih pingsan,” kata laki-laki itu sontak membuat Wanda ketakutan, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan waspada. “Kita sudah berada di luar hutan kesunyian, sudah aman untuk mengeluarkan suara.”Laki-laki itu mengerti arti tatapan mata yang ditujukan oleh Wanda. “Bagaimana kondisinya?” tanya Wanda dengan setengah berbisik setelah yakin kalau perkataan laki-laki itu benar. Laki-laki itu memandang Velia dengan iba sebelum menunduk untuk menggelengkan kepalanya, “Dia masih bernapas tapi tidak juga sadar. Dia cewek ceroboh, sudah membuat kita berada di dalam bahaya.” Wanda tidak suka mendengar perkataan pria tersebut, meskipun itu adalah kenyataan tapi Velia tetaplah temannya. “Apa kamu melihat ransel kami?” Laki-laki itu mengalihkan pandangan mata ke arah kiri, melewati tubuh Velia. Wanda bernapas lega karena ransel bisa terselamatkan. Apa jadinya kalau itu menghilang, semua keperluan selama perjalanan ada di situ. Wanda mengulurkan tangan untuk mengambil ransel coklat. Wanda menggenggam kotak kecil yang berisi berbagai jenis obat, dia mengambil satu untuk di masukkan dalam mulut Velia. Itu adalah obat pemulih yang langsung lumer di dalam mulut, sengaja diciptakan seperti itu agar dapat menolong orang yang tidak sadar. Obat ini bekerja cepat karena mudah di serap tubuh. “Makanlah.” Wanda mengulurkan sebuah obat lagi kepada lelaki itu. Laki-laki itu menerima dan memakannya, “Obat apa ini? Rasanya tubuhku jadi semakin segar dan kuat.” Wanda tersenyum sebelum memakan obat yang sama, “Ini obat yang diramu oleh keluargaku, obat pemulih.” “Wan,” panggil Velia dengan suara serak, Wanda menggenggam tangan Velia untuk menyatakan kalau dia mendengar panggilan itu. “Apa kita mendapatkan bulu merak itu?” Wanda terdiam sedih, “Kita bisa mencoba lagi besok, yang penting saat ini kita selamat.” Velia bangun dibantu oleh Wanda, dahinya berkerut melihat pria asing yang duduk tak jauh dari dia. Pria ini yang sudah merebut merak yang sudah tertangkap. Tinggal sedikit lagi sampai bulu merak itu tercabut tapi orang ini sudah menggagalkan usaha mereka. “Jangan memandang seperti itu, Vel. Dia sudah menyelamatkan kita,” tegur Wanda seolah mengetahui isi kepala Velia. “Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu,” ujar Wanda mewakili Velia. Laki-laki itu mengangguk sekilas, “Kita harus mencari tempat bermalam, hari mulai gelap. Mungkin kita bisa mencari gua, tapi di padang rumput seperti ini tidak ada gua.” Wanda berdiri memegang ransel, melayangkan pandangan menilai sekeliling. Dia menganggukkan kepala mantap sebelum mengambil tenda yang tersimpan dalam ransel. Dia mengibaskan tenda yang terlipat hingga tenda itu terpasang sempurna seperti kemarin malam. Laki-laki itu tercengang melihat perbuatan Wanda, “Kamu cewek yang cerdas, tidak seperti temanmu yang bodoh dan ceroboh.” Velia tersinggung dengan ucapan pria asing itu, dia bangkit dari duduk lalu bergerak ke depan tenda untuk merapal mantra pelindung. “Aku tidak sebodoh yang kamu kira,” ucap Velia sambil menahan marah. Dia memasuki tenda tanpa memperdulikan pria itu. “Lebih baik kamu bergabung dengan kami di dalam tenda agar aman. Tenda ini cukup untuk menampung kita dan yang pasti aman karena Velia sudah membuat pelindung untuk kita.” Wanda berusaha menyakinkan pria yang masih memandang tenda dengan ragu-ragu. Akhirnya laki-laki  itu ikut masuk bersama Wanda. “Wah, ini tidak bisa dibilang tenda. Ini seperti rumah kecil, semua ada di sini.” Laki-laki itu merentangkan kedua tangan dengan bahagia, terasa seperti kembali ke rumah. “Silahkan duduk, kita tunggu makan malam kita,” ujar Wanda sambil membaca buku ramuan. “Kamu tidak membantu dia? Bagaimana rasa makanan kita kalau yang masak adalah orang yang ceroboh dan bodoh. Lebih baik aku memakan rotiku saja.” Wanda terkekeh mendengar perkataan yang begitu jujur, Velia dengan sigap mengambil sendok dan melempar hingga mengenai orang itu. Laki-laki itu mengaduh saat sendok itu mendarat di kening. “Cewek yang sedang memasak itu bernama Velia, dia sangat pintar memasak. Semua masakan yang dibuat selalu menggiurkan dan lezat,” puji Wanda membuat Velia mengembangkan senyum. “Meskipun dia ahli memasak tapi dia merupakan orang yang ceroboh,” tambah Wanda sebelum terbahak-bahak karena membuat wajah Velia kembali masam setelah tersenyum senang mendengar pujian. “Cewek yang sedang tertawa penuh kemenangan itu bernama Wanda, dia sangat pintar dalam segala hal tapi jangan suruh dia memasak karena dia bisa saja menghanguskan dapurmu. Seluruh dapur, bukan hanya panci dan masakan yang dimasak.” Velia membalas perlakuan Wanda, matanya melirik tajam Wanda dan mulutnya mengerucut karena masih sebal dikatai ceroboh dari tadi. “Kalian sahabat dekat yang menarik, namaku Xonxo.” “Kami bukan sahabat!” teriak Velia dan Wanda bersamaan. “Lalu?” tanya Xonxo tak mengerti. “Kami musuh,” jawab Velia. “Yang kebetulan harus bersama dalam sebuah misi,” lanjut Wanda. “Apa kalian tahu kalau seorang musuh adalah sahabat yang paling dekat? Musuh pasti tahu dengan detail setiap kelemahan sekaligus kelebihan dari lawan. Berita terbaru dari lawan pasti juga tahu dengan cepat. Sahabat saja pasti tidak memahami sebaik musuh. Aku rasa kalian adalah sahabat sejati.” Xonxo menjelaskan dengan senyum menggoda, sesekali memainkan alis naik turun membuat kedua cewek itu cemberut. “Pemikiran yang konyol,” ejek Velia. “Omong-omong kamu mau kemana? Kenapa bisa sampai di sini?” tanya Wanda mengalihkan perhatian Xonxo. “Aku hendak ke Jumre mencari obat untuk ibuku, tapi aku juga butuh bulu merak yang bermata putih. Sebenarnya aku pengembara waktu.” Xonxo menunjukkan sebuah weker kecil. “Aku meminjam dari teman dekatku, dia orang yang pintar seperti Wanda. 1 jam di weker setara dengan 1 hari di sini. Aku harus kembali seminggu lagi kalau tidak nyawa ibuku tidak tertolong. Penyembuh Rorina mau membuatkan ramuan asal aku mencari bahan-bahan sendiri karena beliau tidak bisa meninggalkan anak cewek kesayangannya.” Wanda membeku karena mengingat ibu yang selalu sayang dan memperhatikannya, Velia mendekati cewek itu untuk dipeluk. Velia tahu kalau Wanda pasti merindukan ibunya karena Xonxo menyebut nama Rorina-ibu Wanda-, dia membisikkan kalau mereka pasti bisa mengatasi masalah ini dan pulang dengan segera agar Wanda lebih tenang. “Aku tidur duluan,” pamit Wanda yang kemudian di susul oleh Velia. Xonxo merasa tidak enak, dia takut sudah salah bicara di depan kedua teman baru. ... Pagi harinya Xonxo mengusulkan untuk sarapan dengan ikan, dia dan Wanda hendak menangkap di sungai dekat tenda mereka. Velia bersikeras menolak untuk membantu memancing, dia memilih duduk di tepi sungai dan bermain-main dengan kelopak bunga yang tadi dipetik dekat tenda. “Dasar cewek manja dan ceroboh,” gerutu Xonxo. “Dia bukan cewek manja, dia cuma tidak tega.” Wanda menjelaskan sambil terus berkonsentrasi menangkap ikan, dia memilih menggunakan jaring daripada pancing. Baru sebentar saja dia sudah menangkap 3 ikan berukuran sedang. “Itu sama saja dengan manja,” cibir Xonxo. “Velia memiliki keistimewaan, dia bisa berbicara dan memerintah hewan maka dari itu dia tidak tega jika harus memburu dan membunuh binatang secara langsung. Dia lebih memilih memasak dalam keadaan mati daripada mendengar rengekan buruan yang minta dilepaskan,” kata Wanda. Xonxo mengamati Velia yang sedang memperhatikan Wanda, “Lalu mengapa dia tidak menggunakan keahlian itu untuk menangkap merak?” “Merak di hutan kesunyian sama sekali tidak mengeluarkan suara jadi Velia tidak bisa berkomunikasi untuk memerintah mereka.” “Hai, lihat! Merak-merak itu mendekati sungai untuk minum. Aku mendengar mereka berbicara,” ujar Velia berlari mendekat untuk memanggil kedua temannya. Wanda mengkode Velia dengan gerakan alis, tanda Velia harus mencoba keahlian menaklukan binatang saat ini juga. Velia mengelus tato peri hingga terlihat pendar kekuningan mengiringi kemunculan Yelzi. Mulut Yelzi danVelia mengucapkan kata-kata yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Peri Yelzi terbang menuju kawanan merak dengan membuat jejak berupa pendar kekuningan. Yelzi mengelilingi kawanan merak hingga membuat merak-merak itu memandangi peri cantik yang bersayap kuning. Mantra yang diucapkan Velia membuat dua ekor merak berjalan anggun meninggalkan kawanan untuk mendekati Velia. Merak berbulu putih bermata putih dan merak berbulu ungu bermata ungu seperti terhipnotis karena dengan suka rela mendekati tangan Velia. Velia mencabut masing-masing sehelai bulu setelah itu Yelzi terbang rendah hingga tepat berada diantara kedua merak. Yelzi dan Velia mengucap mantra yang membuat merak itu kembali sadar hingga mereka melarikan diri untuk bergabung bersama dengan kawanan merak. “Ini aneh, bagaimana mereka bisa bicara padahal saat di hutan mereka diam saja,” ucap Velia saat melihat dua helai bulu yang berada di tangan. “Mungkin karena mereka memahami bahaya bersuara di hutan kesunyian, aku dengar merak itu memang mencari makan dari biji tumbuhan perdu yang tumbuh di bawah batang pohon pemangsa.” Xonxo bergerak mendekati Velia untuk menerima bulu merak. “Aku menemukan sebuah jembatan di sini,” teriak Wanda sambil menunjuk jembatan yang berjarak sekitar setengah meter dari permukaan air, tidak terlihat ada tali untuk pegangan saat lewat. Wanda sedikit was-was membayangkan menyebrang di atas aliran air tanpa pengaman, walaupun aliran itu tenang tapi dia tetap kuatir. “Wan, aman nggak?” tanya Velia saat mengintip kondisi jembatan dari tepi sungai. “Sebaiknya kita berkemas.” Xonxo mengalihkan perhatian kedua cewek yang tampak cemas memikirkan cara untuk menyeberang. Mereka bertiga berkemas dalam diam, Velia dan Wanda jelas cemas dengan perjalan mereka ke tempat berikut. Xonxo sesekali melirik kedua teman baru yang akan menemani perjalanan kali ini, dapatkan dia percaya pada mereka. “Jangan kuatir, aku akan menjaga kalian. Aku rasa jembatan ini cukup aman dilewati tiga orang sekaligus, aku akan berdiri di depan untuk menstabilkan langkah kita. Jangan melakukan gerakan tiba-tiba, saat ini angin bertiup cukup kencang hingga dapat menjatuhkan kita bertiga sekaligus,” kata Xonxo memperingatkan. Xonxo melangkah pertama dengan memegang tangan Wanda sedangkan Wanda menggenggam tangan Velia. Tangan Velia terasa berkeringat dan dingin, Wanda mengusap perlahan telapak tangan Velia agar cewek itu lebih santai. Jembatan bergoyang seiring langkah kaki mereka bertiga, angin bertiup makin kencang membuat mereka semakin merapatkan diri dan mempererat genggaman tangan. Velia semakin merasa takut saat mereka sudah sampai di tengah jembatan, dia memandang ke bawah dan merasa aliran air semakin deras. Saat Velia kembali melangkah, dia tergelincir membuat sebagian tubuhnya masuk ke dalam sungai. Wanda dengan sigap memegang tangan Velia menjaga agar cewek itu tidak terbawa oleh aliran sungai. Wanda sendiri merasa ketar-ketir karena jembatan semakin miring dan dia merasa takut karena pegangan tangan Xonxo terlepas saat Velia terjatuh, dengan kedua tangan dia berusaha menarik tubuh Velia. Perjuangannya terasa sia-sia karena angin memperburuk keadaan membuat sedikit demi sedikit kaki Wanda bergerak mendekati pinggir jembatan. Hantaman angin kencang membuat tubuh Wanda terbang terbawa angin, sebentar kemudian angin berhenti bertiup membuat tubuhnya meluncur ke bawah menuju sungai. Wanda memejamkan mata seolah pasrah kalau dirinya juga ikut tercebur bersama Velia. Bayangan ketakutan itu semakin menjadi buruk saat dia merasakan ada tanaman merambat yang mulai melingkari perut dan menarik tubuhnya sedikit demi sedikit hingga dia tidak terjatuh, tanaman yang sama juga menarik Velia. Wanda semakin ketakutan, terasa seperti lepas dari mulut harimau masuk dalam mulut buaya. Cewek itu membayangkan kalau dia terseret bagian lain dari tanaman pemakan daging, Velia terlihat tak sadarkan diri membuat dia terisak sedih dan berusaha menggapai tangan Velia. “Sttt ... stt.... Jangan takut, kalian sudah aman.” Suara Xonxo membuat Wanda menoleh, hatinya dipenuhi kelegaan karena Xonxo lah yang menolong mereka. Tanaman itu bukan bagian dari pohon pemakan daging tapi muncul entah dari mana yang pasti sudah menyelamatkan nyawa mereka berdua. “Terima kasih,” ucap Wanda dengan bercucuran air mata kelegaan. Tangannya masih gemetar saat mengeluarkan obat pemulih untuk dimasukkan dalam mulut Velia. “Temanmu yang ceroboh lagi-lagi membuat kita jatuh dalam bahaya,” ujar Xonxo saat menunggu Velia sadar, tapi ucapannya kali ini tidak bernada mencemooh melainkan nada kelembutan dan maklum atas keadaan cewek cantik yang tergeletak tak sadarkan diri. Velia membuka mata dan mulai menilai sekeliling, dia merasa sehat padahal saat terakhir yang ditangkap otaknya adalah posisi hampir terseret oleh arus sungai. Velia melihat air mata Wanda dan wajah lega Xonxo, saat itu juga dia mengerti kalau sekali lagi berada dalam bahaya dan sudah ditolong oleh kedua orang yang sekarang berdiri dengan senyum menghiasi wajah mereka. “Terima kasih atas pertolongan kalian. Maaf sudah melibatkan kalian dalam bahaya,” kata Velia. “Kapan sih kamu tidak ceroboh hingga selalu mengumpankan diri pada malaikat maut?” Wanda mendengus sambil membuang muka. Velia melompat bangun dan langsung memeluk Wanda hingga cewek itu terhuyung ke belakang akibat tidak siap menerima perlakuan Velia. Velia bahkan masih menyempatkan diri menarik tangan Xonxo hingga cowok itu menubruk tubuh Wanda membuat cewek itu memekik terkejut. “Bagaimana ceritanya hingga aku selamat?” Velia memandang Wanda dan Xonxo bergantian. Wanda menunjuk Xonxo yang berdiri tak jauh dari mereka, cewek itu juga tidak tahu bagaimana mereka berdua bisa selamat. Satu-satunya orang yang ada di belakang mereka adalah Xonxo, dia juga ingin mendapatkan penjelasan. “Aku menggunakan mantra tumbuhan yang memunculkan tanaman merambat untuk menangkap tubuh Wanda yang hampir ikut jatuh. Diperlukan konsentrasi tinggi untuk mengeluarkan mantra tersebut jadi aku agak lama bertindak.” Xonxo memberikan penjelasan. “Sekali lagi terima kasih karena menolongku.” Velia mengucapkan dengan tulus. “Lebih baik kita melanjutkan perjalanan.” Wanda melangkah menjauhi sungai dengan langkah ringan, sekali lagi mereka sudah terbebas dari bahaya entah berapa banyak rintangan yang harus mereka hadapi setelah ini. “Berapa lama kita bisa mencapai Jumre?” Wanda menoleh ke belakang karena Velia dan Xonxo masih tertinggal. “Tiga hari perjalanan dengan berjalan kaki. Kita tidak mungkin lebih cepat karena tidak ada kendaraan umum lewat daerah terpencil ini. Aku kuatir waktuku habis dan tidak bisa menolong ibu,” ujar Xonxo. “Aku rasa Velia bisa membantu kita.” Wanda mengerling pada Velia. “Aku?” tanya Velia dengan heran sambil menunjuk dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN