BAB 02. Perubahan Status

1895 Kata
Dan di sinilah Dito dan Fania sekarang, duduk di kantin rumah sakit yang sudah sangat sepi seperti orang bodoh. Mereka berdua saling mencuri tatapan. “Sekarang kita harus gimana, Dit?” tanya Fania dengan raut muka memelas. “Ya nggak gimana-gimana. Kamu pelan-pelan aja pindahnya,” jawab Dito dengan santai. Fania yang tidak mengerti dengan ucapan Dito itu menanggapi dengan bodoh. “Hah? Maksudnya?” Dito berdecak. “Pindah ke apartemenku, Fan,” ujar laki-laki itu dengan nada yang tidak ikhlas. “Aku punya rumah, tapi masih dibangun dan kita nggak bisa tinggal di rumah yang belum jadi, kan?” “Dit, kamu kok santai banget, sih!” protes Fania yang mulai berang. “Ini kita dipaksa menikah loh!” Benar, mereka terpaksa menikah. Bahkan saat proses akad pun mereka hanya mengenakan pakaian seadanya yang sudah bau keringat karena belum ganti sejak pagi. Benar-benar pernikahan terburuk yang tidak pernah Fania bayangkan akan ia alami. “Kamu maunya gimana, Fan? Walaupun belum sah secara hukum, aku udah sah jadi suami kamu secara agama. Nggak baik kalau tinggal pisah. Aku juga nggak mau ambil risiko. Jadi, tolong, jangan mempersulit keadaan dengan minta pisah rumah,” kata Dito dengan tenang. “Kalau kamu keberatan, harusnya kamu tolak sebelum aku mengucap ijab tadi.” “Dan bikin papaku sedih terus tambah sakit? Nggak mungkin aku tega ngelakuin itu.” Fania mencebik. Ia memang tidak tega menolak permintaan papanya. Fania adalah anak penurut yang jarang sekali membantah ucapan orang tua. Ya, meski awalnya ia memang sudah berusaha untuk menggagalkan pernikahan kilat itu dengan berbicara empat mata dengan Dito yang tentu saja tidak berhasil karena Dito tidak berniat untuk menolak permintaan para orang tua. Dito menekuk lengan, menggunakan siku sebagai tumpuan di atas meja dan menyangga kepalanya dengan telapak tangan. “Ya udah, terima aja status kamu sekarang." “Tapi, Dit−” Fania tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dan kembali menatap Dito dengan memelas. “Kamu tenang aja, aku nggak akan langsung mendaftarkan pernikahan kita,” ujar Dito yang membuat mulut Fania menganga lebar tidak percaya. “Jadi maksudnya kita nikah siri?!” pekik Fania tak bisa ditahan. Kata siri terasa begitu mengerikan di kepala Fania. Tidak pernah ia sangka akan menyandang status siri. Dan Fania sangat tidak menginginkan itu. Dito sudah gila kalau menjadikan dia istri siri. “Ya kamu maunya gimana?” tanya Dito dengan sabar. “Kalau mau aku bisa langsung daftarkan besok mumpung aku jaga malam.” Fania menimbang-nimbang. Membayangkan dirinya menikah tapi secara siri membuatnya risih. Meski ia tidak menyukai pernikahan ini, namun lebih baik kalau statusnya jelas di mata hukum. “Aku nggak mau kalau cuma dinikahi siri! Gila kalau kamu kepikiran sampai ke situ! Aku laporin ke mama papa kalau kamu sampai berani jadiin aku istri siri!" Dito menatap mata Fania. Membaca ekspresi yang ditampilkan nata itu. Namun tidak menemui apa-apa. “Calm down, Fania. Besok mulai kita urus surat-suratnya. You don't have to worry that much. Aku juga nggak berniat jadiin kamu istri siri." Dito berhenti sejenak sebelum kembali berkata, "Tapi, Fan, kamu yakin, kan?” “Iya,” desah Fania, “tapi kamu yang urus.” Dito tersenyum tipis. “Oke.” “Terus masalah pesta itu gimana?” tanya Fania. Ia menginginkan pernikahan dengan resepsi yang mewah. Memang. Tapi mengingat ia menikahi seseorang yang tidak ia cintai, rasanya terlalu membuang-buang uang dan energi. “Kita ngikut aja gimana? Aku males ngurusin yang ribet-ribet,” kata Dito sembari meringis kecil. Dito sudah cukup tahu kalau mengurus acara pernikahan yang sudah tentu rumit dan memusingkan. Ia tidak ingin menambah beban di kepalanya dengan keruwetan itu. Fania mencibir. “Cih, aku juga males tahu! Apalagi nikahnya sama kamu.” “Nggak cuma kamu ya yang terpaksa nikah. Mukanya biasa aja!” balas Dito sebal. Dito juga merasa dijebak. Namun, ia sebagai laki-laki dewasa, tahu bahwa ijab yang sudah ia ucapkan dari mulutnya sendiri itu adalah sebuah janji di hadapan Tuhan. Meski terkesan dipaksa, tetapi Dito sendirilah yang memutuskan bahwa dia mau menikahi Fania. Dan dia harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah ia pilih. “Aku biasa aja kok.” “Biasa aja tapi sewot mulu.” “Nggak usah mancing emosi deh, Dit,” sergah Fania. Dito mengendikkan bahu sambil terkekeh. “Perasaan aku nggak ada mancing-mancing. Kamu aja yang sensi.” “Bacot banget kamu, tuh! Ngeselin!” sembur Fania lalu melemparkan tisu ke muka Dito. “Astaghfirullah, Fania. Aku suami kamu loh sekarang. Dosa ngatain suami pakai kata-kata kasar,” tegur Dito. Laki-laki itu tertawa karena sekarang ia bisa menggunakan alibi itu untuk membungkam mulut Fania yang suka semena-mena kepadanya. “Nggak cuma ke suami, ke orang lain juga dosa kali.” Fania langsung bergidik ngeri saat kata suami keluar dari bibirnya. Ia tidak menyangka akan menyematkan kata suami pada seorang Dito. Tetangga sebelahnya semasa kecil dulu. Ya, Fania dan Dito pernah bertetangga dari mereka lahir hingga Dito lulus SMP dan pindah rumah. Saat itu Fania masih kelas tiga SD. “Mulai sekarang, kamu nggak boleh ngomong kasar,” perintah Dito tiba-tiba. “Belum ada sejam ngucap ijab tapi udah banyak ngatur. Duh, nggak bisa bayangin hidup serumah sama kamu.” “Terima nasib aja, Fan. Aku yang kepala keluarga di sini.” Fania terperangah. “Kalau kamu boleh ngatur, berarti aku juga boleh ngatur kamu, dong?” “Wow, jadi kamu sekarang udah yakin mau sungguh-sungguh ngejalanin kehidupan rumah tangga, ya?” Dito lagi-lagi terkekeh. “Dit, bisa nggak, sih, kamu nggak bikin aku makin nyesel nikah sama kamu?” “Belum ada sejam kamu udah nyesel nikah sama aku? Wah, aku sakit hati loh, Fan.” “Shut up, Dit! Kamu bikin kepala aku pusing.” Fania menyugar rambut panjangnya dengan gerakan asal. Dito baru akan menanggapi ucapan Fania saat ponselnya berbunyi nyaring. “Sorry, Fan. Aku ada panggilan darurat dari UGD. Aku tinggal nggak papa?” tanya Dito. Laki-laki itu mnatap Fania dengan tak enak hati. “Pergi aja, Dit. Aku mau menenangkan diri dulu. Masih syok sama status baru.” Dito tertawa. Ia langsung berdiri dari duduknya dan berlalu dari hadapan Fania beberapa detik kemudian. Melesat menuju UGD untuk mengurus pasien-pasien yang membutuhkan bantuannya. *** Fania menatap kepergian Dito dengan ekspresi yang sulit diartikan. Belum ada lima menit Dito pergi, ponsel Fania berdering. Ada panggilan masuk dari Emi, sepupunya yang tadi menjadi salah satu saksi pernikahannya dengan Dito. “Halo, Em,” ucap Fania setelah menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga. “Lo di mana? Masih di rumah sakit?” tanya Emi. “Iya. Kenapa?” “Lo mau balik sendiri atau bareng gue?” “Lo duluan aja, Em. Gue balik sama Dito," balas Fania. Tadi sebelum meninggalkan Fania, Dito sempat mengatakan kepada perempuan itu untuk menungguinya pulang karena waktu praktiknya sudah hampir habis. Dito mengatakannya dengan nada yang sangat menyebalkan. Fania tidak membantah karena tidak punya sanggahan yang kuat. Dito akan dengan mudah menyerangnya dengan 'kita sudah menjadi suami istri'. Fania sangat paham kalau Dito akan mengatakan hal itu. “Lupa gue kalau lo baru aja ganti status jadi istri orang.” Terdengar tawa renyah dari seberang telepon. Fania gemas ingin memukul orang. “Diem lo, Em!” “Dito balik jam berapa emang?” Emi kembali bertanya. “Nggak tau, tadi cuma bilang ke gue suruh nunggu bentar. Dia lagi ngecek pasien.” “Lah terus lo di mana sekarang? Nggak sama Dito, dong?” Emi bertanya dengan nada kebingungan dalam suaranya. “Udah nggak. Dito barusan dapet panggilan darurat dari UGD,” terang Fania. “Gue di kantin rumah sakit, tapi ini udah mau balik ke tempat bokap. Gue mau nungguin Dito di kamar bokap aja.” Emi ber-oh ria. Kemudian berucap, “Oke, kalau gitu. Gue balik duluan nggak papa, ya?” “Yoi. Thanks udah jengukin papa, Em," ujar Fania dengan tulus. "Bilangin sama si Nino juga, ya." “Cuma itu doang?” “Maksud lo?” “Lo lebih berutang ke gue dan Nino soal jadi saksi kawinan lo sama Dito, Fan,” sahut Emi dengan tawa kecil menyertai. “Si Kampret!” Tawa Emi bukannya mereda, tetapi justru semakin keras membahana. “Udahan, ya. Sekali lagi, congratulations for your new status. Yang akur sama suami. Nggak boleh durhaka ke suami. Dikurang-kurangin bacot jeleknya,” ujar Emi memberikan wejangan. Fania memutar bola matanya dengan malas. Ia jengah mendengar wejangan-wejangan yang membuat telinga panas. “Lo jadi mirip Dito, deh. Ngatur-ngatur!” Lagi-lagi, terdengar tawa nyaring Emi. Perempuan itu sama sekali tidak terdengar kesal meski mendapat balasan judes dan galak dari Fania. Emi justru semakin gencar menggoda Fania dengan melontarkan, “Ciye, yang sekarang punya suami yang suka ngatur. Dibetahi-betahin, ya. Selamat main dokter-dokteran sama Pak Dokter!” “Kurang ajar! Kalau lo ada di depan gue, udah gue sambit bibir lo biar nggak bisa lagi dipake buat cipokan sama pacar lo!” Fania mengucapkan kalimat itu dengan agak keras hingga membuat orang-orang yang Fania lewati meliriknya dengan tatapan tidak suka dan menilai. “Sialan! Mulut lo dibikin dari kumpulan sampah apa gimana, sih, Fan? Kotor amat!” hardik Emi. “Lo yang mancing-mancing gue ngomong kasar,” kata Fania dengan suara yang lebih rendah. Tidak terlalu memusingkan tatapan dari orang-orang. Emi berdeham sebelum berkata,“Gue serius soal main dokter-dokteran, Fan. Cerita-cerita ke gue gimana rasanya dibobol sama Dito yang jadi idola serumah sakit ini.” “Enak aja lo!” Fania hampir mengeluarkan sumpah serapah lagi, tetapi ia tahan. “Udah, ah. Ngobrol sama lo jadi nggak bener otak gue. Bye, Em!” Secara sepihak, Fania mengakhiri panggilan. Ia sudah terlalu lelah utuk meladeni Emi yang terlalu banyak bicara. Energinya sudah cukup terkuras saat berbicara dengan Dito tadi, Fania sudah tidak sanggup lagi jika masih harus mengais sisa-sisa energinya hanya untuk berdebat tidak penting dengan Emi. Setelah sambungan terputus, Fania berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran melayang. Ucapan Emi tentang ‘dokter-dokteran’ memenuhi kepala Fania. Kalau ia dan Dito pulang bersama, apa itu berarti mereka akan mewujudkan malam pertama malam ini juga? Fania tidak siap. Sungguh. Membayangkan harus tidur di atas ranjang yang sama dengan laki-laki asing, yang dulu sering mengejeknya karena dekil dan gembul saat masih bertetangga, Fania bergidik ngeri. Meski perangai Dito yang menyebalkan saat masih bocah itu sudah agak lebih mendingan karena si bocah cungkring itu telah menjelma menjadi sosok dewasa, tidak lagi kekanakan. Tubuh cungkringnya yang membuat laki-laki itu seperti tiang berjalan juga sudah berevolusi menjadi sosok yang tegap dan lebih enak dipandang. Fania tiba-tiba membayangkan bagaimana rasanya saat ia berada di bawah Dito? Apakah menyenangkan? Melihat Dito tidak mengenakan baju hanya pernah Fania saksikan saat Dito masih SMP dan sedang bermain hujan-hujanan di depan rumah dengan Nino, kakak sepupu Fania yang seeumuran dengan laki-laki itu. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Dito yang sudah balig. “Gila, Fania! Jangan dibayangin!” gerutu Fania. Ia memukul-mukul kepalanya yang dengan liar berfantasi. Tepat saat itu, Fania sampai di depan kamar inap Abizar. Ia masuk ke ruang inap VVIP itu dan mendapati Abizar sedang disuapi oleh Sarah. Fania mendudukkan diri di sofa. Matanya tidak lepas memperhatikan kedua orang tuanya yang masih tanpak mesra meski sudah berpuluh-puluh tahun menikah. Ada perasaan gundah yang memenuhi hatinya. Ia pun bertanya-tanya, apakah kehidupan pernikahannya bisa langgeng dan selalu mesra seperti papa dan mamanya? Tidak ada jawaban yang Fania dapatkan. Yang Fania bisa simpulkan, ia tidak akan tahu sebelum mencoba menjalaninya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN