BAB 03. New Life

1993 Kata
Fania mengepak barang-barangnya−yang ternyata sangat banyak−ke dalam kardus dan juga pakaian-pakaiannya ke dalam koper dengan malas-malasan. Perubahan status di KTP-nya−meski masih belum sempat diubah−dari single menjadi kawin secara tiba-tiba masih belum bisa dipercaya sepenuhnya oleh wanita itu. Selama satu minggu terakhir ini Fania dan ibunya saling bergantian menjaga ayahnya yang masih diopname di rumah sakit. Selama rentang waktu itu pula Dito disibukkan dengan pekerjaan di rumah sakit. Dan dalam kurun waktu itu, Dito dan Fania hanya sempat bertemu beberapa kali. Itu pun hanya menyempatkan waktu di tengah-tengah jam makan siang dan berjumpa di kantin rumah sakit sambil makan. Fania ogah-ogahan, tetapi mau tidak mau tetap harus bertemu laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu−meski secara tersurat masih belum resmi karena surat-suratnya baru diurus oleh Dito dua hari yang lalu. Fania sedang berkutat dengan tumpukan buku-buku yang tersebar di sekelilingnya saat ponselnya bergetar dan layarnya berkedip-kedip. Melihat nama dan foto si penelepon memenuhi layar, Fania mendesah. Sebenarnya ia malas sekali berinteraksi dengan sosok yang menghantuinya selama seminggu terakhir. “Apaan sih nih manusia, ganggu aja,” gerutu Fania. Ia tak begitu berminat menanggapi. Pada panggilan pertama, Fania abaikan hingga sambungan terputus karena tak terjawab. Fania kira si penelepon akan menyerah dalam satu kali percobaan, tetapi ternyata tidak. Beberapa detik kemudian, ponsel Fania kembali bergetar dan menampilkan nama dan foto yang sama. “Kenapa, Dit?  Kalau nggak urgent, chat aja. Aku lagi hectic,” sembur Fania dengan agak ketus. Wanita itu menyalakan loudspeaker dan meletakkan ponselnya di lantai, di dekat kakinya. Sementara dirinya duduk merapikan buku-buku yang sedang ia pilih mana yang akan ia bawa ke apartemen Dito dan mana yang akan ia jual atau mungkin akan ia sumbangkan karena sudah tak ia baca lagi. “Kamu di mana, Fan?” tanya Dito. Ia tampaknya tak begitu mendengarkan saat Fania berkata sedang sibuk. “Di apartemen, aku lagi sibuk banget, Dito. Kenapa?” Fania berujar dengan nada tak sabaran. “Malam ini ada acara di rumah sepupuku di Bogor. Beberapa hari lalu istrinya lahiran. Kamu siap-siap ya, aku jemput jam lima,” balas Dito tanpa basa-basi. Jawaban Dito membuat Fania mendesis kesal. “WHAT?! Kok dadakan, sih? Kenapa nggak bilang dari kemarin? Kamu kira aku nganggur?” sungut Fania. Wanita itu paling membenci acara dadakan. Dan ia semakin malas karena Dito yang mengajaknya. Ia sama sekali tak berminat pergi ke mana-mana dengan suami yang masih sangat asing untuknya itu. Ia merasa akan sangat canggung meski baru membayangkan saja jika mereka berdua akan terjebak dalam satu mobil. Fania bukan tipe orang yang susah bergaul. Sebaliknya ia malah sangat ramah dan bisa berteman dengan siapa saja. Hanya saja dengan Dito berbeda. Ia sudah mengenal Dito dari kecil hingga berusia sepuluh tahun lalu mereka tidak pernah bertemu lagi setelah keluarga Dito pindah rumah. Dipertemukan lagi saat dewasa tidak lantas membuat hubungan mereka berdua menjadi sama seperti dulu. Fania sesungguhnya bingung harus bersikap seperti apa. “Aku tahu kamu lagi nganggur. Ini weekend, by the way. Kamu cuma di apartemen aja, kan?” Dito menebak dengan tepat. Ia memang di apartemen, tetapi sama sekali tidak sedang menganggur. Siapa lagi kalau bukan Dito yang sengaja membuat dirinya sibuk dengan urusan pindahan? Baru dua hari resmi menjadi pasangan suami istri, Dito sudah bergerak cepat dengan menawarkan apartemen Fania untuk disewakan saat wanita itu sudah sepakat pindah−awalnya Fania bersikukuh tidak mau menjual apartemen yang dibelinya berkat kerja kerasnya menjadi designer artis-artis ternama−dan bisa mendapat penyewa hanya dalam kurun waktu beberapa hari. Si penyewa sudah sempat survei tempat dan langsung membayar uang muka. Rencananya akan ditempati mulai minggu depan. Maka, cepat atau lambat, Fania harus segera pindah dari sana. “Kata siapa aku nganggur? Aku lagi packing, barang-barangku kan banyak yang mau aku angkut ke tempat kamu,” cetus Fania sambil merekatkan lakban di salah satu kardus berisi buku yang sudah penuh kemudian menuliskan 'BUKU (ASET PENTING PUNYA FANIA)' menggunakan spidol. Menggesernya ke sudut ruangan, kemudian berkutat dengan tumpukan buku-buku yang masih tersebar di lantai. “Besok aku bantu packing. Kamu tinggal duduk manis kalau mau.” Dito menawarkan. Sebelum Fania sempat menjawab, Dito lebih dulu kembali berkata, “So, back to topic, aku ngajak kamu nggak dadakan, Fan. Aku udah chat kamu dari pagi tapi kamu nggak baca. Chat semalam juga kamu anggurin. Salah kamu sendiri. Kalau aja kamu bales tadi malem, aku udah mau kasih tahu kamu.”  Fania melongo. Agak tak terima disalahkan. Ia menghentikan pekerjaannya memilah buku dan meraih ponselnya. Lalu mengecek laman chat. Shit! Fania menjerit kesal dalam hati. Ternyata Dito memang telah mengiriminya beberapa pesan. Ada empat pesan dari Dito yang belum terbaca sejak semalam. Fania mengerang kesal karena kebodohannya. Ia sering lupa kalau ia memberi nama Bapak Subagja untuk kontak Dito karena kelakuannya yang kuno dan seperti bapak-bapak.   Bapak Subagja Jangan lupa packing barang2 kamu, Fan. Apartemen kamu udah mau ditempati penyewa mulai minggu depan   Itu adalah pesan dari Dito yang dikirimkan semalam. Fania sempat membacanya saat muncul di pop-up notification di ponselnya sebelum ia memejamkan mata. Sengaja tak ia buka karena baginya tak terlalu penting untuk dibalas. Pasalnya Dito terus mengirimkan pesan yang sama seperti sengaja membuat Fania kesal sejak Dito mengabarkan bahwa ia sudah mendapatkan penyewa apartemen Fania beberapa hari yang lalu. Fania bahkan sampai hapal kata demi kata. Fania lanjut membaca pesan-pesan yang dikirimkan Dito di pagi hari, lebih tepatnya di pagi buta, karena Dito mengiriminya pesan saat masih pukul empat. Sudah gila kalau Dito mengira Fania akan membaca pesan yang dikirim sepagi itu. Tentu saja mustahil Fania membacanya, karena sudah pasti ia belum bangun! Sepagi-paginya Fania bangun, pasti tidak pernah di bawah pukul lima. Kecuali dibangunkan langsung.   Bapak Subagja Fania, hari ini kamu sibuk nggak? Nanti sore aku jemput ya, kita ke Bogor, jengukin istri sepupuku yang baru aja lahiran Fan, kalau kamu nggak bales aku anggap kamu nggak sibuk   Setelah selesai membaca semua pesan dari Dito, Fania sibuk menggerutu hingga tak terlalu mendengarkan Dito yang entah mengatakan apa kepadanya selama ia membaca pesan-pesan dari lelaki itu. “Fania,” panggil Dito dengan gemas dan sedikit lebih keras. “Apa, sih, Dit?” Fania menimpali sambil menggerutu. Ia sudah kembali meletakkan pomselnya dan lanjut menata buku-bukunya. Menyisihkan beberapa tumpuk buku yang akan ia loakkan karena sudah tidak ia baca lagi. “Kamu dari tadi nggak dengar aku ngomong apa?” Suara Dito mulai terdengar kesal.   Fania berdecak. “Aku denger, ya, Pak Dokter. Aku harus udah siap jam lima, nggak boleh telat. Harus pakai baju yang sopan. Dandan nggak usah menor-menor. Udah, itu aja, kan?” “Good.” “By the way, lain kali kalo mau nge-chat, tolong di jam-jam normal,” omel Fania teringat pesan yang masuk tadi. “Jam-jam normal gimana? Emang ada jam yang nggak normal?” Fania memutar bola mata dengan malas. “Ada. Kamu nge-chat jam empat pagi, siapa juga yang udah bangun jam segitu?” “Aku udah, tuh. Kamu aja yang kebo, bangunnya siang,” ejek Dito dengan luwes seakan-akan laki-laki itu memang sudah sering melakukannya.  “Itu karena kamu nggak normal.” Rasanya Fania ingin memukul wajah Dito karena menurut dirinya, laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya sejak satu minggu yang lalu itu sangat menyebalkan. “Fan, nggak boleh ngomong gitu ke suami kamu,” protes Dito dengan nada bicara yang masih normal. “Coba kalau kamu yang dikatain nggak normal. Kamu terima?” Lagi, Fania berdecak kesal. Dito selalu saja memanfaatkan situasi. “Kamu udah beli kado, kan?” tanya Fania mengalihkan pembicaraan. “Udah.” “Kadonya apa?” “Car seat.” Fania langsung mendesah. Kado yang dibeli Dito jelas tidak memuaskan Fania. “Dit, masih bayi nggak mungkin tiba-tiba langsung bisa duduk. Harusnya kamu beli kado yang lebih berguna dan bisa dipakai sekarang.” “Ya udah biar dipake nanti kalo udah bisa duduk. Berguna, kan?” “Aku yakin sepupu kamu udah nyiapin car seat buat baby-nya. Bisa jadi sepupu kamu yang lain juga ada yang beliin itu,” keluh Fania. “Terus aku harus tukar yang lain gitu? Aku nggak ada waktu.” Fania mengabaikan ucapan Dito dan bertanya hal lain. “Buat ibunya kamu beli apa?”  “Nggak ada. Aku titip temen yang kebetulan mau ngadoin temennya yang baru lahiran juga, Fan. Aku bilang terserah dia, terus dibeliinnya itu.” Fania bisa langsung menebak kalau Dito bukanlah orang yang mau repot mengurus hal-hal remeh soal kado. “Justru kado buat ibu bayinya lebih penting, Dit,” ucap Fania. “Pasti udah banyak yang ngadoin si bayi. Padahal yang paling butuh kado dan apresiasi tuh ibu yang baru aja ngelahirin bayinya. Yang udah mengandung sembilan bulan, berjuang meregang nyawa waktu lahiran, harus nyusuin ….” Suara Fania perlahan mengecil. Ia tak melanjutkan ceramah dadakannya karena ia tak yakin kalau Dito akan mengerti. Fania mendesah. Selama tiga tahun terakhir, teman-teman Fania banyak yang menikah dan punya anak. Saat datang membesuk, sebagian besar dari mereka selalu mengeluhkan soal terlalu banyaknya hadiah yang diberikan untuk si bayi sedangkan sang ibu yang berjuang sampai meregang nyawa malah tidak diperhatikan. “Terus gimana? Kan udah terlanjur dibeli. Nggak mungkin dibalikin lagi, Fan,” gerutu Dito bingung. Mungkin tak menyangka akan diomeli oleh Fania hanya karena ia ‘salah’ membeli kado. “Kamu beli kado buat ibunya juga, jadi kadonya nanti dobel,” jawab Fania memberi solusi. “Udah aku bilang aku nggak ada waktu. Aku sibuk, Fan. Aku masih di rumah sakit. Nggak sempet kalau harus cari kado,” jelas Dito yang lebih terdengar seperti keluhan. Fania langsung menatap kalender di ponsel, memastikan kalau ia tidak salah hari, sebelum kemudian menjawab, “Ini weekend, Dit. Ngapain kamu di rumah sakit? Kamu nggak ada waktu libur apa gimana?” “Ada pasien yang harus aku tangani karena kondisi darurat,” jelas Dito lagi. Fania mengecek jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang. Ia berpikir dengan cepat lalu memutuskan untuk mengalah. Ia pun berkata, “Ya udah, kalo gitu aku aja yang beli.” Ia sebenarnya kesal dan ingin protes, namun ia merasa tak berhak melakukannya. Ia memang telah menyandang menjadi istri seorang Dito Subagja, tetapi mereka belum sedekat itu untuk berkomentar soal jadwal pekerjaan laki-laki itu yang cukup berantakan. “That’s good. Kalau gitu aku matiin ya. Aku sibuk. Inget ya, jangan ngaret! Bye, see you later,” ucap Dito cepat-cepat. Belum sempat Fania menjawab, sambungan telah terputus sepihak. “Suami kurang ajar!” seru Fania dengan kekesalan yang memenuhi hati. “Emang lo doang yang sibuk, hah?!” Ia semakin kesal karena Dito bahkan tak mengucapkan terima kasih karena ia telah bersedia membantunya untuk membeli kado. Suara Fania menggema di kamar apartemennya yang penuh sesak dengan barang-barang yang harus ia packing sesegera mungkin karena penyewanya ingin segera menempati apartemen itu. Ya, benar. Apartemen yang sudah ditempati Fania selama empat tahun terakhir itu akhirnya disewakan karena Fania harus pindah dan tinggal seatap dengan Dito−dengan amat sangat terpaksa−atas permintaan orang tua mereka. Fania sempat bernegosiasi dengan Dito kalau ia ingin tinggal di apartemennya sambil beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai istri Dito. Tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Dito, dan dengan ekspresi polos di wajah−yang entah kenapa selalu tampak menyebalkan di mata Fania−Dito mengancam akan membeberkan hal ini kepada para orang tua. Ditambah lagi, Dito menyinggung soal kesediaan Fania menikahi Dito dan bahkan wanita itu sendiri yang dengan sengaja menawarkan di awal agar hubungan mereka dijalani dengan serius yaitu dengan mengusulkan agar Dito segera mendaftarkan pernikahan mereka karena tidak ingin menjadi istri siri, jadi tidak ada lagi bantahan yang bisa Fania lontarkan. Itulah kenapa Fania tak bisa berbuat apa-apa selain tinggal bersama Dito. Dan sekarang, Fania sedikit menyesal. Seharusnya ia lebih pintar lagi mencari alasan agar tak perlu melepaskan apartemennya untuk orang lain. Fania menyelesaikan merapikan buku-buku untuk ia masukkan ke kardus hingga pukul dua sambil menggerutu. Kamarnya masih sangat berantakan dan ia putuskan untuk menyudahi kegiatannya karena ia harus segera bersiap untuk ke mall, mencari kado untuk istri sepupu Dito yang lupa ia tanyakan namanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN