Fania sudah siap sejak pukul lima kurang lima belas menit, tetapi justru Dito yang datang terlambat. Laki-laki itu baru sampai di apartemen Fania pukul setengah enam, padahal ia sendiri yang mewanti-wanti agar Fania tidak molor. Hal ini jelas membuat Fania dongkol setengah mati. Ia tak bisa menoleransi dan paling benci dengan orang yang tidak tepat waktu. Tak peduli karena alasan apa pun.
“Apa semua dokter kelakuannya kayak kamu?” omel Fania.
“Maksud kamu?”
“Hobi telat,” ujar Fania ketus.
“Astaga, Fania, aku baru telat sebentar doang. Cuma beberapa menit.”
Ekspresi kesal memenuhi wajah Fania yang terpoles make up tipis. Ia sejak awal sudah malas pergi secara dadakan tanpa rencana dan kekesalannya bertambah karena Dito yang terlihat tidak merasa bersalah padahal sudah datang terlambat dan membuatnya menunggu.
Fania bersedekap. Memandang Dito dengan tatapan menghakimi. “Beberapa menit yang kamu sebut itu, udah bisa aku pakai buat ngerjain hal-hal penting, Dit. Kamu juga tadi yang minta aku buat nggak telat, kan? Tapi malah kamu sendiri yang nggak tepa waktu.”
“Maaf.” Dito mengalah tanpa berusaha membela diri.
“Kenapa kamu telat?” Fania menurunkan suaranya yang tadinya meninggi karena kesal.
“Tadi diajak ngobrol sama orang tua pasien. Maaf, ya, Fannia. Nggak akan aku ulang lagi, oke? So, let’s go?”
Fania masih kesal. Namun, tak ada gunanya juga ia mengulur waktu lebih lama hanya untuk mengomeli Dito. Pembicaraan tentang masalah itu pun berakhir. Fania tak berniat untuk membahasnya lagi.
Biarlah terserah Dito, bukan urusan gue. Gue baru jadi istrinya beberapa hari, itu pun kepaksa, jadi nggak usah sok ngatur-ngatur, apalagi sampe komplain soal kedisiplinan, begitu pikir wakita itu.
“Sepupu kamu yang melahirkan namanya siapa?” tanya Fania sambil memainkan ponselnya setelah mobil Dito meninggalkan kawasan apartemen Fania.
“Sepupuku yang laki-laki, namanya Dewa. Istri dia namanya Luna,” jawab Dito. Matanya fokus memperhatikan jalanan yang ramai dan padat.
Fania manggut-manggut. Kemudian bertanya dengan canggung. “Keluarga kamu tahu nggak … kalau kamu nikah?”
“Tahu. Mama yang kasih tahu di grup. Jadi, nanti baru pertama kalinya kita akan announce langsung di depan keluarga besar. Aku juga kasih tahu di grup kalau kamu hari ini ikut datang ke rumah Dewa.”
Fania refleks mengangkat kepala dan menatap Dito dengan tatapan khawatir yang kentara. “Keluarga besar yang literally big?”
“Cukup besar. So, yeah, you’ll meet the Subagja’s soon.”
Fania langsung pusing membayangkan harus siap ditanya ini-itu oleh banyak orang yang pasti menaruh banyak ekspektasi. Ia terbayang akan sosok tante-tante yang cerewet dan demanding, membandingkan si ini dengan si itu. Seperti yang selalu terjadi di keluarga besarnya saat ada acara kumpul-kumpul, terutama saat acara nikahan atau ada saudara yang baru habis lahiran.
“Relax, Fania. Sepupuku banyak yang seumuran kamu,” kata Dito menenangkan.
“Keluarga kamu semua dokter atau bukan?”
Dito mengangguk dan kemudian menggeleng. “Dari keluarga ibu, hampir semua bergelut di bidang kesehatan. Kalau dari keluarga ayah sebagian besar ambil bisnis. Kenapa?”
“Do you think they’ll like me?”
Dito melirik Fania dan tertawa kecil. “Why not?”
“Aku bukan dokter.”
Ada sorot pengertian yang membayang mata Dito. “But you are a successful businessman, Fania. You’re a great designer. Aku nggak paham fashion, tapi sepupu-sepupuku beberapa kali ngomongin brand kamu, Fan. Some of them want to meet you so badly.”
“Really?”
Dito mengangguk. “Kamu nggak perlu khawatir, Fan. Keluarga aku nggak akan meremehkan kamu.”
“Siapa yang khawatir? Aku cuma nanya,” kata Fania agak sewot untuk menyembunyikan rasa gengsi.
Sesungguhnya, Fania memang agak khawatir dengan pandangan orang-orang terhadapnya. Dalam beberapa tahun terakhir bergelut dalam bidang design, tidak hanya satu dua orang yang meremehkan pekerjaannya. Fania sudah kebal dengan itu, tetapi kalau menghadapi situasi yang sama di hadapan keluarga Dito−keluarga suami, yang sekarang juga menjadi bagian dari keluarganya−sepertinya ia tidak akan bisa bersikap sama.
“Lagian ada ayah sama ibu juga, kok,” kata Dito yang dengan mudah melihat kekhawatiran Fania. “Kamu kan menantu kesayangan, pasti dibela mereka habis-habisan kalau ada yang ganggu kamu.”
Fania mendengkus dan kemudian menggerutu kecil, “Ya iyalah menantu kesayangan. Kan menantunya cuma aku.”
Dito tertawa karena jawaban Fania. Mereka berdua adalah anak tunggal. Jadi keduanya memang menjadi menantu kesayangan mertua. Hal itu sudah sangat terlihat jelas di depan mata meski mereka berdua baru menikah selama satu minggu. Orang tua Fania begitu perhatian terhadap Dito. Selama di rumah sakit, Dito yang hampir setiap mempunyai waktu luang akan mengunjungi kamar ayah mertuanya dan di sana mereka banyak berbincang seperti ayah dan anak kandung yang sangat akur dan dekat. Dengan ibu mertuanya, Dito pun begitu diperhatikan. Meski sedang menunggui orang sakit, wanita paruh baya itu tak lupa memperhatikan Dito. Membelikan vitamin, mengingatkan Dito agar makan tepat waktu, bahkan menawarkan akan memasakkan semua makanan yang Dito ingin makan. Tak berbeda dengan orang tua Dito yang juga tak kalah antusiasnya karena akhirnya memiliki anak perempuan yang bisa dimanjakan.
“Jadinya kamu beli apa tadi? Aku ganti nanti,” kata Dito saat mobilnya memasuki kawasan Bogor.
“Nggak usah diganti. Tadinya aku mau ajak kamu patungan kalau kamu belum beli kado. Jadi, karena kadonya udah ada dua, ya udah. Nggak usah saling ganti,” terang Fania.
“Kalau kamu lupa, kamu sekarang udah jadi istri aku, Fan.”
Fania kelihatan bingung. Ia tidak menemukan korelasi antara status mereka sekarang dengan masalah kado. “Hubungannya kalau kita udah nikah sama masalah kado apa?”
Dito mengendikkan bahu. “Aku kepala keluarga, dan aku yang wajib keluar uang untuk keperluan kita berdua. Termasuk beli kado.”
Mata Fania memicing. Ia menatap Dito dengan kekesalan yang semakin menumpuk. “Dit, aku punya uang. Cuma buat beli kado aku juga mampu.”
Disinggung soal status baru membuat Fania senewen. Selain tak suka dengan orang yang hobi terlambat, Fania juga tak suka mempermasalahkan uang dengan laki-laki. Ia wanita mandiri dan ia membenci kenyataan saat ada laki-laki yang memandangnya seolah-olah ia tidak mampu.
“Aku tahu kamu mampu, gaji kamu juga lebih besar dari aku yang cuma jadi dokter, tapi Fan−”
“Nanti, Dit. Kalau kita udah bener-bener settle buat ngatur keuangan dan ini itu, we will find out later, okay? Kita bahas nanti lagi, aku males ribut di jalan. Mending kamu fokus nyetir aja. Dan soal kado, aku anggap selesai dan nggak ada masalah. Aku nggak butuh uang ganti.”
Dito membuka mulut untuk menyanggah. Namun ia urung dan memilih untuk mengalah saja.
***
Waktu Dito berkata tentang keluarga besarnya yang katanya ‘cukup besar’, yang dimaksud Dito ternyata adalah keluarga yang benar-benar besar. Fania sempat terkaget-kaget karena jajaran mobil mewah di depan rumah besar dan mewah milik sepupu Dito. Ia lebih kaget lagi ketika melihat manusia-manusia yang tumpah ruah di rumah luas itu.
Fania sudah mendengar kalau keluarga Subagja merupakan keluarga yang berada. Namun, tidak benar-benar tahu kalau ternyata sebelas dua belas dengan sultan. Fania tidak benar-benar tahu karena Dito tidak tampak begitu.
“Aku boleh minder nggak, sih?” bisik Fania saat mereka mulai menyapa satu per satu sepupu Dito yang sebagian berpenampilan glamor. Sebagian lagi berpakaian santai, tetapi terpancar aura kemewahan yang membuat Fania menciut.
“Ngapain minder? Karena kita tinggalnya cuma di apartemen?” Dito terkekeh. “Kamu mau tinggal di rumah segede ini juga?”
“Nggak, makasih. Rumah segede ini pasti ART-nya ada belasan, ya? Kayak di rumahnya Anang-Ashanty.”
“Kayak rumahnya siapa?”
“Anang Hermansyah, Dit. Mantan suaminya Krisdayanti.”
Dito langsung mendengkus malas. “Kamu punya suami yang keturunan Subagja juga.” Dito kemudian tersenyum jemawa. “Kalau mau nanti aku bilang sama Ayah, beliau bakal dengan senang hati bangunin rumah kayak gini buat menantu kesayangannya.”
“Kenapa bilang ke ayah? Kenapa bukan kamu sendiri?”
“Sorry not sorry, tapi kalau ngandelin gaji dokterku, aku nggak yakin aku mampu bangun rumah segede ini.” Dito berbisik. “By the way, rumah ini yang ngerancang arsitek kenalanku, jadi aku tahu berapa duit yang abis buat bangun rumah ini.”
Fania terperangah. “Cool, sih. Tapi aku males punya rumah gede-gede. Mau ke dapur aja jauh.”
Dito tertawa.
Fania menatap Dito dengan serius. “Aku juga udah dengar soal rencana kamu bangun rumah sakit khusus anak. Daripada buang-buang uang buat bangun rumah segede lapangan sepak bola gini mending buat wujudin impian kamu aja.”
“Aw, sweet. Tapi kalau emang kamu mau, aku beneran bisa bilangin ke ayah, Fan. Anggap aja sebagai hadiah pernikahan,” canda Dito.
“No, thanks. Aku nggak mau dianggap gold digger. Lagian kamu juga nggak cocok tinggal di rumah segede ini. Kamu nggak cocok jadi orang kaya.”
Dito geleng-geleng kepala. Tak percaya baru saja dicemooh istrinya sendiri. “Maksud kamu aku madesu?”
Fania tertawa. “Aku nggak bilang loh ya. Kami sendiri yang barusan bilang.”
***
Fania dikenalkan ke sana sini. Tetapi tidak benar-benar mengingat setiap nama sepupu Dito yang sebagian besar seumuran Dito dan beberapa dari mereka seumuran Fania, sisanya masih di bawah 25 tahun. Mereka semua sangat ramah dan terlihat begitu ingin mengenal Fania. Fania sempat menciptakan kerumuman karena ada salah satu sepupu Dito yang mengenakan gaun buatannya dan dengan bangga memamerkannya di depan wanita itu. Ternyata Dito tidak hanya bicara omong kosong. Beberapa sepupu laki-laki itu benar-benar ‘mengenal’ Fania Sasmito si designer yang tersohor di kalangan artis dan public figure.
Fania bersyukur, tetapi juga merasa canggung dan tak enak hati. Pasalnya dirinya masih begitu asing, yang tahu-tahu menjadi bagian keluarga Dito.
Sebenarnya Fania merasa sangat asing, karena di dalam ingatannya, ia mengenal keluarga Dito yang sederhana, yang belasan tahun yang lalu tinggal di dekat rumahnya. Rumah Dito dulu memang besar dan tampak mewah di periode itu. Namun, tidak semewah rumah sepupu Dito ini, yang empat atau lima kali lebih besar dari rumah Dito kala itu. Rumah ini setiap lapis tembok, ubin, atap, dan perabotnya berlapis kemewahan. Fania beberapa kali datang ke rumah klien yang kebanyakan artis, public figure, atau pejabat, yang memesan gaun pesta atau gaun pengantin. Rumahnya hampir serupa dengan rumah ini. Namun, entah kenapa sebelum-sebelumnya ia merasa biasa saja. Mungkin karena ia hanya orang luar. Sedangkan di sini, Fania sudah resmi menjadi bagian keluarga. Ia bukan orang luar.
Fania menatap Dito yang tengah berbincang dengan Malik. Sepupu Dito yang saat itu hadir menjadi saksi nikahnya bersama Mila.
Dito yang beberapa hari terakhir Fania kenal juga tak menunjukkan kemewahan berlebih. Kecuali mobil Audi R8-nya yang berwarna grey metallic, seharga sekitar 8 miliar yang membuat Fania tak cukup berani untuk sekadar mendekat dalam radius satu meter. Selain itu, Dito tak terlalu mengumbar kekayaan. Apartemennya juga tak semewah milik anak orang-orang kaya yang ada di drama-drama korea. Yang Fania bisa lihat, Dito adalah keturunan dari keluarga kaya yang ingin dikenal sebagai Dito si dokter. Bukan Dito dari keluarga Subagja yang bergelimang harta.
Fania sudah hampir merasa bosan, tetapi untung saja di sana ada sosok yang Fania sudah kenal cukup dekat. Mila, sepupu terdekat Dito yang saat itu menjadi saksi ijab qabul Dito dan Fania di rumah sakit.
“Astaga, Mil. Gue masih nggak nyangka kalau keluarga lo ternyata nggak cuma kaya. Tapi tajir banget.”
“Yang tajir kakek nenek gue, Fan. Anak cucu sama cicitnya cuma menikmati hasil jerih payah aja. Ini juga nggak bertahan 7 turunan, anak cucunya pada banting tulang juga.” Mila tertawa.
Orang tua Fania dulu pernah bercerita kalau kakeknya juga merupakan orang yang cukup kaya yang bersahabat karib dengan kakeknya Dito. Namun, kakek Fania bangkrut. Fania agak lupa keseluruhan ceritanya. Setelah kebangkrutan bisnis keluarga, kakek Fania pindah ke luar kota dengan anak-anaknya. Sebelum pergi, ia bertemu dengan kakek Dito. Hingga tercetuslah keisengan ingin menikahkan salah satu cucu mereka masing-masing suatu hari nanti jika mereka dipertemukan lagi. Dan nasib mengarah pada Fania dan Dito yang akhirnya terikat dalam pernikahan setengah paksaan itu.
“Jangan bilang rumah lo juga semewah ini,” kata Fania. Ia menahan diri untuk tidak terlalu terlihat kampungan.
Lagi-lagi Mila tertawa. “Nggak lah. Gue nggak cocok jadi orang kaya. Rumah sultan kek gini bukan selera gue. Lo santai aja, Fan. Rumahnya Bang Dito kan juga nggak segede ini. Nggak usah minder.”
“Tahu aja gue minder.” Fania meringis. “By the way, gue belum pernah main ke rumah orang tuanya Dito.”
“What?” Mila melotot tak percaya. “Serius Bang Dito belum ngajakin ke rumah Om Damar?”
“Belum sempet. Semingguan kemarin kan gue sibuk kerja sama bolak-balik ke rumah sakit nungguin bokap,” cerita Fania. “Ini aja gue baru mau packing pindahan ke apartemen Dito, tapi malah ada acara dadakan ke sini.”
“Bang Dito emang gitu. Kalau dia ngabarinnya dadakan itu berarti dia lupa. Tadi siang gue baru ingetin.”
Fania tertawa. Diam-diam ia merasa kesal karena Dito bukannya berniat memberitahunya dari semalam. Tapi laki-laki itu memang sebenarnya kelupaan dan baru diingatkan Mila siang tadi. Hah, bisa saja mengarang alasan!
***