BAB 05. Adaptasi

2169 Kata
Sepuluh hari setelah ijab qabul dadakan yang dilakukan di rumah sakit, juga setelah Abizar keluar dari rumah sakit, Fania akhirnya pindah ke apartemen milik Dito. Dan sekarang sudah pukul setengah lima sore saat Dito meletakkan kardus terakhir berisi barang-barang milik Fania yang dibawa dari apartemen milik wanita itu, yang akan disewakan mulai hari Senin. “Aku nanti tidurnya di mana, Dit?” tanya Fania setelah Dito selesai menunjukkan satu per satu ruangan di apartemen yang cukup luas, namun terlihat menjadi agak sempit karena tumpukan kardus milik Fania yang masih belum dibongkar. Dito tidak langsung menjawab. Ia malah melenggang ke dapur. “Dit, di mana?” “Di kamar utama,” jawab Dito beberapa detik kemudian sambil membuka kulkas untuk mengambil air minum dingin. “Wait, kita nanti tidur bareng? Aku sama kamu?” Suara Fania agak melengking saat mengucapkan dua kalimat bernada tak percaya itu. Seolah-olah ia memang tidak mengharapkan jawaban itu keluar dari mulut Dito. Dito menuang air mineral dingin dari tumblr berukuran 1 liter ke dalam gelas sebelum meminumnya dan menyahut dengan ringan, “Kamu di sini bukan lagi numpang, Fania. Kamu udah jadi istri aku. Dan normalnya pasangan suami istri itu tidurnya satu kamar. Iya, kan?” Fania memandang Dito dengan tatapan horor. Saat setuju untuk pindah, Fania sama sekali tak mempertimbangkan soal di mana ia akan tidur karena ia sama sekali tak kepikiran. “No way,” desis Fania. “Kita nggak akan tidur satu kamar. Aku nggak mau,” sergahnya. Keseriusan dalam tatapan dan suara Fania berhasil membuat Dito berbalik menatap wanita itu. Dito meletakkan gelasnya di meja, lalu menyilangkan kedua tangan di depan d**a dan kembali berujar dengan santai, “Terus kamu mau tidur di mana? Di gudang? Kalau mau ya silakan. Tapi aku nggak ada waktu buat bantu bersih-bersihnya. Kamu bersihin sendiri.” Gudang yang dimaksud Dito adalah salah satu ruangan yang seharusnya merupakan kamar tamu, tetapi malah digunakan Dito untuk menampung berbagai barang yang tak terpakai. Kalau Fania berkeras ingin memakai kamar tersebut, tidak akan mungkin bisa selesai dibersihkan hari ini. Sudah terlalu sore. Fania pun sudah terlalu lelah angkat-angkat barang meski sebagian besar Dito dan satpam yang kebagian mengangkut barang-barang bessar dan berat. “Kamu harusnya nggak pakai kamar tamu jadi gudang, Dit,” keluh Fania. Dito mengendikkan bahu. “Mana aku tahu kalau aku bakal tiba-tiba punya istri yang nggak mau tidur sekamar sama suaminya sendiri.” Kalau kemarin-kemarin saat tiba-tiba ditodong untuk menikah segera, Fania masih punya suara untuk menyuarakan pendapat dan ketidaknyamanannya. Namun, kali ini ia merasa dijebak hingga rasanya ia marah sekali. Bagaimana bisa Dito menawarkan untuk tinggal di satu atap, tetapi tidak menyediakan tempat tidur yang layak untuk dirinya? “Kalau kamu sekarang lagi ngebatin dan ngerasa apartemen ini nggak layak huni, kita bisa pindah kok.” “Apartemen ini jauh lebih layak dan lebih gede dari apartemenku. Masalahnya aku nggak punya kamar di sini.” Dito tiba-tiba menarik Fania menuju kamar utama yang tadi sudah Dito tunjukkan. “Ini kamar kamu, Fania. Kamar kita. Tempat tidurnya gede. Dipake buat tidur empat orang dewasa juga muat banget.” “Bukan masalah muat atau enggak, Dit. Tapi aku nggak mau tidur seranjang sama kamu.” Dito mengeluarkan ponsel dari saku celana. “Mending tidur di sini, sekamar sama aku, atau kita pindah ke rumah orang tuaku. Di sana ada banyak kamar, kamu bisa tinggal pilih mau tidur di mana.” “Kamu nyebelin banget, tahu nggak sih?” sungut Fania. Fania memandang Dito dengan sengit. Namun, yang bersangkutan tidak terpengaruh oleh tatapan itu. Dito tahu-tahu sudah keluar dari kamar.   “Sekarang mending kamu bongkar barang yang penting-penting dulu. Aku udah sisihin tempat di lemari di kamar utama buat naruh baju-baju kamu.” “Dit, kamu beneran serius soal tidur sekamar?” tanya Fania yang mulai linglung. Ia mengikuti Dito yang ternyata kembali ke dapur dan sibuk sendiri. Laki-laki itu kembali membuka kulkas, mengambil satu buah apel dan memakannya tanpa menawari Fania. Fania terperangah. Gagasan menikah dengan Dito dan tinggal bersama dengan laki-laki itu mulai Fania sesali. “Dit, nggak usah pura-pura nggak denger. Kamu nggak serius, kan?”   Dito berhenti mengunyah apel yang baru ia makan beberapa gigit dan meletakkannya di meja. Ia mendekat ke tempat Fania berdiri, menatapnya lurus-lurus. “Kamu serius nggak mau tidur sekamar sama suami kamu sendiri?” Fania menggigit bibir dan menggeleng. “Nggak gini caranya, Dit. You’re totally a stranger. Aku nggak kenal kamu. Kamu nggak kenal aku. Gimana bisa aku tidur seranjang sama orang asing?” Kalau sebelumnya Dito tampak tenang dan santai saat menanggapi semua keluhan Fania, kali ini ia terlihat agak sakit hati. Terlihat dari perubahan ekspresi dan tatapan yang diberikan laki-laki itu. “Yang kamu bilang orang asing itu suami kamu, Fania, yang akan hidup bareng sama kamu, yang akan kamu termui setiap hari. Iya, aku ngerti. Aku paham. Kita nikah tiba-tiba, nggak ada persiapan sama sekali. Wajar kalau sekarang kamu masih ngerasa begitu, tapi kalau kita tidurnya terpisah, selamanya aku akan jadi asing buat kamu. Dan aku nggak mau kita begitu. Mungkin kamu nggak yakin, aku juga masih belum yakin dengan perubahan status kita. Tapi nggak terus  ukan cuma buat tinggal satu atap lalu kita tidurnya pisah. Kamu kira lagi tinggal di kos-kosan?” Fania bungkam selama beberapa saat. Dito benar tentang hal itu. Fania juga sebenarnya memikirkan hal yang sama. Namun, justru karena hal itu, Fania keberatan. Ia tidak siap harus membangun kehidupan rumah tangga yang ‘nyata’ dengan Dito, menjadi dekat, dan mengenal laki-laki itu lebih dalam. Fania takut membayangkan masa depan keduanya.   “I get your point. Aku juga bukan mau main-main sama pernikahan, Dit. Aku cuma nggak bisa kalau tiba-tiba kayak gini.” “All you have to do is try and face it.” Fania mendesah dna mengusap wajah dengan kedua tangan. “Kenapa kayaknya gampang banget buat kamu, Dit?” “It’s not easy for me too. Aku lebih suka menghadapi masalah langsung daripada menghindar. I’m a gentleman.”   Fania seharusnya tidak tertawa. Tetapi ia tak bisa menahan diri. Ia menertawakan nasibnya yang harus terjebak dengan laki-laki senarsis Dito.     ***   “Kamu yakin barang-barang yang kamu angkut ke sini semuanya penting?” tanya Dito. Mereka berdua sedang istirahat sejenak setelah membongkar beberapa barang milik Fania diantaranya ada bertumpuk-tumpuk pakaian yang baru setengahnya dimasukkan ke dalam lemari. Sisanya masih di dalam koper karena lemari Dito yang sudah cukup besar itu masih tidak cukup menampung semua pakaian milik Fania. Kemudian ada dua kardus besar berisi buku-buku. Fania memilik rak buku sendiri dan ikut diangkut ke apartemen Dito. Namun, untuk sementara diletakkan di dekat ruang tamu karena Fania masih bersikukuh tidak mau sekamar dengan Dito. “Penting semua, Dit. Barang-barang yang nggak penting kan udah diangkut mobil lain tadi. Udah aku loakin. Kan kamu juga yang bantu angkat-angkat tadi.” “Tapi ini banyak banget. Barang-barangku di sini aja kayaknya nggak ada setengahnya. Emang dasar cewek ya …,” komentar Dito sambil lalu. Namun, Fania tidak menganggap begitu. Ia menanggapi dengan terlalu serius. “Ya terus gimana? Masa aku buang? Kamu juga yang maksa aku pindah ke sini. Sekarang kamu mau aku balik ke apartemen aku lagi? Fine!” sungut Fania. Tidak terima karena Dito melihat dirinya seolah-olah ia gemar mengoleksi barang-barangnya yang tak berguna. Dito agak kaget dengan reaksi Fania yang langsung defensif. “Kamu tuh kenapa sih, Fan?” “Kamu yang kenapa, Dit! Bisa nggak sih kamu jangan mempersulit aku? Aku tiba-tiba harus pindah ke sini. Tinggal sama orang yang nggak aku kenal, kamu paksa aku tidur sekamar dan sekarang barang-barang aku juga kamu salah-salahin.” Dito mendesah lelah. “Aku ngerti kalau kamu ngerasa nggak nyaman dan canggung banget sekarang. Kamu juga masih belum terima karena mendadak nikah sama aku. I understand. Tapi bisa, kan, nggak usah diungkit-ungkit terus kalau kamu terpaksa, atau ngerasa dipaksa nikah sama aku dan mau nggak mau pindah tinggal seatap sama aku. Apa perlu aku ingetin kalau kamu bisa aja nolak nikah sama aku. Tapi kamu nggak nolak, Fan. Kamu nggak berusaha keras buat nolak. Remember?” Dito menatap Fania lurus-lurus. Ada kekesalan membayangi mata. “Dan soal tinggal satu atap, aku nggak memaksa kamu, tapi memang udah seharusnya kita tinggal bareng.” “Tapi kamu jadi nyalahin barang-barang aku, yang menurut kamu bikin apartemen kamu jadi sempit. Aku juga nggak tahu kalau ternyata barang-barangku bakal menuh-menuhin tempat kamu kali, Dit.” Fania hanya mengucapkan dua kalimat, tetapi sudah terengah-engah. “Kamu udah tahu kalau aku masih bingung sama perubahan status kita, tapi kamu nggak banyak membantu. Malah mojokin aku terus.” “Mojokin gimana, sih?” Dito bersedekap. “Aku tadi cuma nanya loh, Fan. Aku nggak nyalahin barang-barang kamu. Coba kasih tahu aku, kapan aku bilang gara-gara kamu, apartemen ini jadi sempit? Nggak ada. Kamu sendiri yang seenaknya menyimpulkan kayak gitu.” “Iya, sekarang aku lagi yang salah, kan?” Fania terlihat marah sekali. “Astaga, baru sepuluh hari gue kawin, gue udah nggak ngeliat harapan. Sialan!” erangnya dalam suara yang lebih kecil. Namun, tentu saja masih didengar dengan jelas oleh Dito. Fania sadar ia sudah keterlaluan karena bicara seperti itu. Meski tidak secara gamblang, wanita itu seakan menyatakan penyesalan karena sudah menikahi Dito. Ia bahkan belum mengusahakan apa-apa, tetapi sudah bisa bilang kalau pernikahannya tidak ada harapan. Siapa yang tidak sakit hati saat pasanganmu yang bicara seperti itu di depan wajahmu sendiri? Tatapan Dito terkunci pada Fania. Dan dengan rasa kecewa yang semakin penuh ia menjawab, “Kalau ngomong hati-hati, Fan. Bisa-bisanya kamu ngomong gitu di depan aku.” Fania membuang muka. Ia terlalu marah kepada Dito sehingga ia tak benar-benar menyesal sudah mengatakannyaa. Ia sedang merasa tidak dihargai, padahal ia sudah mengalah untuk pindah ke apartemen Dito yang memang lebih luas daripada apartemen Fania sebelumnya. Seolah-olah ia tidak berhak merasa dilema. Seolah-olah ia dipaksa untuk langsung bisa beradaptasi dengan mudah.  Sesungguhnya, Fania pun juga sadar diri kalau ia tidak benar-benar merasa telah ‘dipaksa’ oleh siapa-siapa dengan cara yang kasar saat ia memutuskan untuk menikah dan akhirnya pindah ke tempat Dito, tetapi ia merasa kalau ia seakan terperdaya oleh setiap ucapan Dito dan juga orang tuanya sehingga ia tidak menolak saat diminta untuk melakukan ini dan itu. “Kamu nggak bisa menghargai aku? Fine. Kamu nggak suka sama aku? It's really fine. Tapi setidaknya hargai ikatan pernikahan kamu, Fan,” ucap Dito lagi. Ia menahan geramam. Ekspresi di wajahnya saat ini sangat kaku. Ia seperti sudah hampir meledak karena kecewa dan amarah. “Kamu mau ke mana?” tanya Fania saat Dito tiba-tiba berdiri untuk mengambil ponsel dan dompetnya yang ada di meja. “It’s none of your business.” Fania cukup terkejut karena suara rendah Dito yang terdengar dingin dan sinis. “Dit, kita belum selesai bicara. Kamu jangan seenaknya kabur,” tahan Fania dengan suara pelan. “Kamu nggak berhak ngatur-ngatur. Kamu juga silakan kalau mau berbuat sesuka kamu. Kamu maunya begitu, kan?” Kesinisan Dito meningkat beberapa persen. Benar-benar sebuah pemandangan baru bagi Fania. Meski baru mengenal Dito versi dewasa selama beberapa hari, Fania selalu mengira kalau Dito bukan tipe orang yang mudah marah karena kepribadiannya yang ramah dan menyenangkan. Laki-laki itu pun biasanya lebih suka mengalah. Tetapi kali ini tidak. Entah karena Dito memang sedang tidak mau mengalah hingga disenggol sedikit saja langsung tersinggung atau mungkin karena Fania yang memang sudah cukup keterlaluan hingga membuat seorang Dito marah. “Okay, fine. I’m so sorry,” ucap Fania dengan setengah terpaksa. Terdengar sangat tidak tulus. Mungkin Dito pun menangkap ketidaktulusan itu. “Apa pun yang bikin kamu semarah ini, aku minta maaf. Sekarang kamu bisa duduk dulu, kan? Kalau kamu keberatan soal barang-barangku, nanti sebagian aku pindahin ke rumah mama. Udah, kan?” “Terserah kamu aja.” Dito berbalik dan melangkah menuju ke arah pintu.  Fania masih berusaha menahan Dito agar tidak pergi begitu saja. “Dit, please, bisa nggak sih kamu−” Sayangnya, Dito tak membiarkan Fania menyelesaikan ucapannya. Ia kembali menatap Fania dengan tajam dan dingin. Ia menyela dengan suara rendah, “Kamu nggak mau tidur sekamar, kan? Fine, as your wish. Kamu bisa tidur di kamar, without me. Aku tidur di luar.”    Dalam sekejap, Dito sudah pergi dari apartemen. Meninggalkan Fania yang tergugu di tempat duduk. Kepergian Dito membuat tekanan emosi di d**a Fania meluap-luap. “Dito sialan!” teriak Fania yang mulai berkaca-kaca. Ia melemparkan buku-buku yang masih berserakan di sekitarnya ke arah pintu karena kesal. Tidak peduli kalau buku-buku kesayangannya rusak. Tidak pernah terbayang di kepala Fania kalau ia akan menghadapi ini di hari pertama pindah ke apartemen Dito. Baru sepuluh hari menikah dan ia sudah dibuat menangis oleh Dito karena pertengkaran sepele. “Lo mau tidur di luar? Fine! Nggak usah balik sekalian. Gue nggak peduli!” Fania kembali berteriak lantang. Namun, tentu saja tidak ada sahutan karena Dito benar-benar sudah pergi. Fania hanya bicara kepada kekosongan. Fania mengusap air mata yang jatuh melintasi pipi dengan kasar. Kemudian dengan setengah hati melanjutkan menata buku-bukunya di rak buku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN