BAB 06. Adaptasi [2]

2044 Kata
Dito benar-benar tidak kembali ke apartemen. Laki-laki itu tidak pulang dan entah menginap di mana semalaman. Fania tahu karena ia terjaga hingga jam dua pagi. Ia merasakan bagaimana rasanya saat mamanya dulu seringkali terjaga hingga tengah malam, menunggui papa Fania yang sedang dalam perjalanan pulang dari dinas luar kota. Mungkin bedanya, mama menunggu papa dengan kekhawatiran dan rasa rindu yang menumpuk kepada pria yang dicintainya. Sedangkan Fania menunggu dengan cemas karena rasa bersalah, tetapi juga tersimpan amarah. Rasanya benar-benar tak menyenangkan. Selama berada di apartemen sendirian, sambil merapikan barang-barangnya yang belum selesai ditata, Fania tak henti-hentinya mengumpati Dito. Kekesalannya tak mudah lenyap begitu saja. Dan pada akhirnya wanita itu tertidur di sofa dikelilingi kardus-kardus yang setengah terbuka karena barang-barangnya masih belum seluruhnya dikeluarkan. Ia tidak mendengar suara pintu dibuka karena memang Dito sama sekali tak kembali sejak laki-laki itu memutuskan untuk pergi dari apartemen. Saat Fania terbangun−dengan kondisi badan pegal karena tidur meringkuk di sofa dan juga karena ia tak bisa tidur nyenyak−keadaan di apartemen masih sama seperti sebelum ia ketiduran. Meski sudah tahu Dito tidak pulang, Fania tetap mengecek kamar Dito dan seperti yang sudah ia duga, Dito tak ada di kamar. “Ngapain gue masih kepikiran Dito, sih,” gerutu Fania sambil menjejalkan paksa barang-barang yang wajib ada di dalam tas seperti dompet, make up, charger HP, powerbank, handsanitizer, sketchbook untuk menggambar desain baju-baju buatannya, dan printilan lainnya. “Dia tuh nggak penting. Nggak usah lo pikirin, Fan,” kesal Fania yang kini sudah beranjak keluar dari apartemen. Sayangnya, kekesalan Fania masih kalah oleh rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran terhadap laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu. Logikanya mungkin memang sempat menahan Fania agar tetap mengedepankan ego, tetapi sudut hatinya mendorong jari-jemarinya untuk mengetikkan pesan dan mengirimkannya kepada Dito sebelum ia melajukan mobilnya menuju butik. Fania Sasmito Kamu semalam tidur di mana, Dit? Mungkin, memang Fania saja yang terlalu berlebihan menuruti kecemasan di d**a, sementara Dito sama sekali tak memikirkan hal yang sama. Karena laki-laki itu baru membalas−lebih dari empat jam sejak Fania mengirimkan pesan itu−saat Fania akan keluar makan siang dengan pegawai-pegawai di butiknya. Bapak Subagja RS. Hanya dua huruf itu. Singkat dan terasa pedas menusuk. Fania kembali diserang rasa kesal. Padahal ia sudah mengalah dan berusaha untuk beradaptasi dengan keadaan dan status barunya menjadi istri orang. Tetapi tampaknya Dito sedang tak mau mengerti. Dito seperti sengaja ingin membuat Fania naik darah. Dan Fania masih saja berbaik hati saat mengirimkan balasan. Fania Sasmito Aku kirimin makan siang. Kamu mau apa? Bapak Subagja Nggak usah, Fan. Aku makan di kantin RS aja. Fania mendesah. Kesal dengan tingkah Dito yang menurut dirinya sangat kekanakan. Fania tidak membalas pesan Dito dan memilih untuk menghubungi laki-laki itu langsung. Saat telepon darinya diangkat, tanpa basa-basi ia mencerocos, “Dit, I’m trying to make this right. Kenapa sekarang malah kamu yang nyebelin sih?” “Aku nggak mau—” “Nggak mau ngerepotin?” Fania tertawa sinis. “Lucu. Kalau aku ngerasa direpotin, aku nggak akan nawarin. Just say it, kamu mau apa? Aku udah kelaparan ini.” “Kalau kamu kelaparan ya makan, Fan. Ngapain malah nawarin aku yang mau makan apa. Aneh kamu.” Suara Dito sudah lebih ramah ketimbang semalam. Sepertinya sudah melupakan apa yang semalam mereka perdebatkan. “Kalau ada orang yang mau berbaik hati beliin kamu makan siang, kamu harusnya berterima kasih, Dit. Bukan malah ngatain.” “Fania−” “I insist, Dito! Tinggal jawab kamu mau apa kok susah banget sih,” geram Fania. Tangannya yang bebas sudah mengepal di depan d**a. Kalau Dito ada di depannya mungkin sudah ia tonojk mukanya. “Mau apa, Dit? Aku go food-in sekarang!” tanya Fania untuk yang ke sekian kali. Terdengar helaan napas Dito sebelum menjawab, “Aku mau bakmi GM tapi makan bareng sama kamu. Kalau emang kamu nggak repot, kamu bisa sekalian makan di sini sama aku. Kalau nggak mau ya udah. Kamu makan sendiri. Aku makan sendiri.” “Kok jadi ngelunjak?” “Itu sebagai syarat buat permintaan maaf kamu.” “Aku nggak inget pernah minta maaf.” “Oke. Kalau gitu nggak usah repot-repot gofood-in aku makanan. Aku laki-laki dewasa yang tahu gimana caranya beli makan sendiri.” Fania terperangah hingga tak bisa berkata-kata. “Udah nggak ada yang mau kamu omongin lagi kan. Aku matiin−” “You are unbelievable!” pekik Fania tertahan. Ia tak mau pegawainya mendengar dirinya mengomel tidak jelas kepada suami yang masih belum diketahui sosoknya kecuali keluarga. “Jadi gimana, Fan?” Suara Dito terdengar lebih ceria dari sebelumnya. “Aku anggap kedatangan kamu sini bawa makan siang sebagai cara kamu minta maaf karena bicara ngawur tadi malam. Gimana? Kalau nggak bisa ya udah nggak usah. Aku udah bilang tadi, aku nggak mau kamu repot.” “Kurang ajar.” Fania mengumpat setelah sedikit menjauhkan ponsel agar Dito tidak mendengar suaranya barusan. “Oh, jadi sekarang aku kurang ajar?” sahut Dito. Fania menggeram kesal karena telinga Dito ternyata terlalu peka. “Aku nggak bisa kalau sekarang. Jam satu ada meeting sama klien. Kalau bolak-balik butik ke RS nggak cukup waktu. Kamu di RS sampe malem?” “Nggak. Tapi nanti malem aku mau futsal.” “Excuse me?” “Futsal, Fania. Kalau nggak tahu apa itu futsal, kamu bisa browsing.” Fania menabahkan diri untuk tidak kembali menyemburkan umpatan meski saat ini Dito benar-benar luar biasa menyebalkan. “Berarti kamu makan malem sama temen-temen futsal kamu nanti?” “Why?” “Ya udah.” “Kok ya udah? Terus gimana dong? Kalau kamu nggak berusaha lebih keras minta maaf ke aku, aku juga belum berniat maafin kamu. Kamu masih mau tidur sendirian di apartemen? Tega kamu ngebiarin suami kamu tidur di rumah sakit terus?” cecar Dito yang membuat telinga Fania panas. Entah apa yang sebenarnya diinginkan laki-laki itu. “Jadi Anda maunya gimana, Bapak Dito? Aku kirimin makan siang nggak mau.” Fania mulai geram dan kehilangan kesabaran. “Gini, Fan, aku belum berniat maafin kamu dalam waktu dekat kalau kamu belum usaha lebih keras minta maafnya ke aku. Jadi, aku nggak akan pulang ke apartemen sebelum aku bisa maafin kamu. Paham?” Astaga. Dito ternyata sangat pendendam. “I’m trying. Tapi nggak kamu hargai usahaku minta maaf.” “Try harder.” Fania mengembuskan napas. Bersamaan dengan ketukan di pintu ruangannya dan suara salah satu pegawai butiknya meminta Fania untuk segera keluar. Fania menjawab dengan setengah berteriak kalau dirinya akan keluar lima menit lagi, kemudian kembali berfokus pada sambungan teleponnya dengan Dito yang masih menyala. “Kamu jangan ngarep aku samperin ke tempat futsal, Dit. I won’t go there.” Dito tertawa. Yang membuat Fania mendesah lega karena itu artinya Dito sudah kembali menjadi Dito yang Fania kenal, bukan Dito yang sinis yang sedang marah seperti semalam. Fania kesal sendiri karena tak seharusnya ia merasa lega. Seharusnya ia masih kesal karena Dito sengaja menguji kesabarannya! “Kita makan abis aku futsal aja,” kata Dito. Sepertinya sudah cukup puas membuat emosi Fania naik turun. “Good. Aku yang pilih tempat.” Dito tidak mempersulit dan langsung setuju. “Langsung ketemu di sana atau kamu jemput aku?” Fania membutuhkan beberapa detik untuk memproses ucapan Dito. “I’m sorry, what? Nggak salah kamu minta dijemput?” “Nggak ada yang salah, kan, istri jemput suami? Yang salah kalau jemput suaminya orang. Nah ini suami kamu sendiri.” Dito memang selalu saja punya jawaban yang membuat Fania tak dapat membantah. “Mobil kamu di mana emangnya?” tanya Fania. “Di parkiran apartemen.” “Kamu mau futsal nggak balik apartemen dulu?” “Nggak, Fan. Baju sama sepatu futsalku ada di RS. Aku juga ada baju ganti buat makan malam nanti, kok. Santai aja.” Fania menimbang-nimbang. Sebenarnya ia bisa tinggal bilang kalau mereka langsung bertemu di tempat saja. Seperti yang Fania katakan sebelumnya, ia tak berniat menyusul Dito ke tempat futsal. Namun, apa yang kemudian keluar dari mulutnya tak sesuai dengan isi pikirannya. “Fine. Aku jemput nanti.” “Aw, sweet. You do good, Wifey.” “Shut up, Dit! Bye!” *** Dito masih mengenakan pakaian futsalnya saat berlari kecil ke tempat Fania memarkirkan mobilnya. Saat posisinya sudah semakin dekat, Fania bisa melihat Dito bersimbah keringat. Keringat membasahi wajah Dito. Rambut laki-laki itu juga basah, entah basah hanya oleh keringat atau campuran dari guyuran air dan keringat, yang menetes turun ke leher, dan membasahi baju futsalnya. Fania tak sadar kalau dirinya semoat terpana selama lebih dari tiga detik, memandangi Dito dalam penampilan yang berbeda. Ia belum terlalu banyak melihat Dito mengenakan kostum berbeda selain pakaian kerjanya—kemeja dan celana panjang—dan seringnya berlapis jas dokternya. Sneli putih bersih yang membuat Dito terlihat gagah dan keren. Karena selama sepuluh hari terakhir ini, Fania hampir setiap hari bertemu Dito hanya di rumah sakit. Fania sedikit mengingat Dito kecil yang mengenakan seragam, Dito kecil mengenakan pakaian santai, Dito kecil mengenakan jersey. Namun, menatap Dito dewasa menghantarkan perasaan aneh. Bagaimana mungkin sosok Dito yang dulu dekil dan menyebalkan itu bisa berubah menjadi laki-laki dewas memesona—yang masih menyebalkan—seperti sekarang? Fania ingin protes terhadap semesta. Namun, juga ingin berterima kasih, sejujurnya, karena laki-laki ini adalah suaminya. “Kamu mau nonton aku main satu babak lagi? Atau mau nunggu di kafe sebelah aja?” tanya Dito yang kini tengah menatap Fania dengan kernyitan di kening. Seperti tengah bertanya-tanya kenapa Fania malah bengong menatap ke arah lehernya. Fania menaikkan pandangan dengan agak gugup. “Ada cewek-cewek yang nungguin temen-temen kamu juga?” Dito mengangguk. “Ada yang ditungguin pacar, gebetan, istri, selingkuhan juga ada.” “Dito! Serius, dong.” Fania menggeram kesal. Candaan Dito sama sekali tidak lucu. “Aku serius kok.” Fania merasa sangat aneh dengan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah berganti status menjadi istri Dito. Biasanya setelah ia pulang kerja, jika sedang tidak lelah, ia menghabiskan waktu untuk me time. Entah nonton film di bioskop, window shopping, atau sekadar binge watch serial N*tflix di apartemen. Kalau sedang butuh teman bicara, sesekali ia akan main ke apartemen Puspa, teman dekatnya sejak SMA. Dan hari ini, bukannya melakukan salah satu kegiatannya itu, ia malah terdampar di sini. Menjemput Dito yang sedang futsal hanya untuk makan malam bersama. Sesuatu yang baru dan sebenarnya Fania merasa tidak begitu nyaman. Namun, ia menahannya demi bisa berbaikan dengan Dito dan bisa kembali mendiskusikan masalah kamar. “Fania, hei! Kok malah bengong sih,” tegur Dito. “Gimana, Fan?” Fania mengerling. “Aku nunggu di kafe aja, deh. Lagi males ngobrol sama orang banyak.” “Serius? Nggak papa nunggu sendirian?” “It’s okay. Aku bisa sambil kerja.” Fania menunjuk tumpukan kertas di kursi penumpang. “Lagian aku yang nyusulin kamu lebih awal sejam dari yang kamu minta, kan. So it’s okay, aku tungguin.” “Oke kalo gitu. Aku masuk lagi, ya.” Dito sudah hampir berbalik, tetapi kemudian berkata, “Mau cium dulu nggak?” “Dito!” Dito tertawa. “Nggak usah histeris gitu, dong, Fan. Kayak nggak pernah ciuman aja.” “Please, Dit. Sekali-sekali jangan mancing emosiku, bisa kan?” Dito geleng-geleng kepala sambil menyunggingkan senyum geli. “Hidup jangan dibawa terlalu serius dong, Fan. Cepet tua.” Berbicara dengan Dito yang sedang dalam mode ‘on’ untuk berdebat bukan menjadi pilihan yang bagus untuk kesehatan mental. Fania hampir selalu kalah dan terpojok. “Terserah kamu aja.” “Terserah aku, ya,” Dito menggumam kecil. “Oke, buat pemanasan, cium pipi dulu aja ya.” Dan Dito benar-benar melakukannya. Sebelum berlari masuk ke tempat futsal, Dito melabuhkan kecupan singkat di pipi Fania dan kemudian melambaikan tangan. Ini ciuman kedua yang Fania dapatkan. Ciuman pertama adalah ciuman di kening saat keduanya baru saja resmi dinikahkan. Fania sudah pernah merasakan ciuman lebih dari itu—berbagi ciuman panas di bibir—dengan mantan kekasihnya, tetapi saat bibir Dito menyentuh kening dan pipinya, rasanya seperti ada badai yang membuat seisi perut porak poranda. Fania menatap punggung Dito hingga laki-laki itu menghilang di balik pintu masuk gedung futsal tempatnya bermain. Sejenak, Fania berpikir bahwa mungkin saja hubungan suami istri normalnya memang seperti ini. Mereka ribut, lalu berbaikan. Fania hanya perlu beradaptasi, bukan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN