Setelah Diki melepaskan pelukannya dari Dinda akhirnya mereka berdua pun berdiri dan saling salah tingkah.
"Wajar saja bagi seseorang untuk berpacaran di sekolah." Ucap Diki sambil melihat Dinda.
"Apakah mereka terlihat seperti orang pacaran?" tanya Dinda.
"Sepertinya wanita tua kaya memaksa pria lebih muda untuk pacaran dengannya, ini seperti drama tingkat tinggi." Ucap Dinda.
"Benar, kau hanya melihat apa yang kau ketahui bahkan percintaan sedih seperti itu bagimu semuanya berhubung dengan uang." Ucap Diki.
"Kau harus tahu kenapa dirimu kehilangan uang." Ucap Diki.
"Apa?" tanya Dinda.
"Kau ternyata masih pandai menyakiti seseorang tanpa mempunyai alasan." Ucap Dinda yang langsung pergi.
Di sebuah cafe Pak Asep dan Bu Engkes saling bertemu.
"Sebenarnya saya tahu saya harus menemui Anda di sekolah, tapi saya tidak berani lagi menginjakan kaki saya ke sekolah itu, itulah sebabnya saya meminta untuk anda menemui saya di luar sekolah. Saya merasa sangat aneh tentang apa yang di pikirkan oleh Diki." Ucap Bu Engkes yang langsung meminum minumannya.
"Kurasa Diki mengambil kesempatan ini untuk melupakan rasa sakitnya di masa lalu, itulah sebabnya dia kembali ke sekolah dan mungkin sekarang keadaannya baik-baik saja, tapi sejak kejadian itu terjadi dia berjuang untuk menjadi dewasa terlalu cepat, dan itu membuatku sakit melihatnya seperti ini. Aku percaya Diki juga memberikanku kesempatan ke dua dan kali ini aku pasti akan melindunginya sampai kapan pun." Ucap Pak Asep.
Bu Engkes yang mendengar perkataan Pak Asep ia pun lalu mengeluarkan amplop.
"Ini tidak banyak, tapi terimalah sebagai rasa terima kasih." Ucap Bu Engkes yang memberikan amplopnya kepada Pak Asep.
"Tidak tidak, anda tidak perlu memberikan ini kepadaku karena aku nanti bisa mendapatkan masalah, aku nanti bisa dipecat, tidak tidak. Ucap Pak Asep yang menahan amplopnya dengan kedua tanganya.
"Anda tidak bisa memberikan ini, jika itu tentang Diki." Ucap Pak Asep yang memberikanya kembali kepada Bu Engkes.
"Aku melakukan ini untuk Diki." Ucap Bu Engkes lalu memberikan amplopnya kembali kepada Pak Asep.
"Aku hanyalah seorang wanita tua dan inilah satu-satunya cara, aku mohon untuk anda menerimanya." Ucap Bu Engkes sambil menundukan kepalanya dan langsung pergi dari sana.
"Bu anda tidak bisa... Tunggu Bu Bu." Ucap Pak Asep yang mencoba mencegah Bu Engkes namun Bu Engkes tetap pergi.
Pak Asep lalu membuka amplop dari Bu Engkes itu dan ternyata isinya hanyalah kumpulan tiket makan di wartegnya Bu Engkes.
Di kantor, Raihan di marahi oleh Wali Kelasnya yaitu Pak Bambang
"Hei kau, selama bebapa hari ini kau telah di tempatkan di kelas Mewah tapi lihat kelakuanmu, kau harus di pindahkan ke kelas Murni." Ucap Pak Bambang yang marah.
"Jika kau pindah ke kelas Murni kau akan menjadi yang terpintar di sana, ayo cepat beres-beres mejamu. Kau mengerti ucapan Bapak tidak?" tanya Pak Bambang.
"Jawab Bapak!" teriak Pak Bambang yang membuat Raihan langsung pergi dari kantor itu.
"Hei, Raihan." Teriak Pak Bambang.
"Aku adalah anak kelas Mewah, aku tidak akan pergi dari kelas itu." Ucap Raihan saat berjalan pergi dengan wajah kesal lalu mengepalkan ke dua tangannya.
"Hei sampah, buang sampah ini. Ucap El yang menghalangi jalan Raihan lalu melemparkan tong sampah kepadanya.
"Semua murid di kelas ini merasa sedih karena kesalahanmu, makanya aku memintamu untuk membuang sampah ini dan sekarang kau mau apa?" tanya El.
"Aku bukan sampah." Teriak Raihan yang marah dan ia pun lalu membanting tong sampahnya ke lantai yang membuat semua murid melihat kepadanya.
"Dasar brengsek." Teriak El sambil memukul wajah Raihan hingga membuat Raihan terpental ke tembok.
"Raihan, kau gila?" tanya El yang memegang kerah baju Raihan dan saat El akan memukul Raihan lagi Diki pun datang dan menahan tangan El.
"Sudah cukup, hidungnya sudah berdarah." Ucap Diki dengan santai sambil memegang tangan El dan menatapnya.
"Pergi, pergilah seperti orang lain, sebelumnya kau tak pernah peduli kepadaku." Ucap Raihan kepada Diki.
"Cepat pergi!" teriak Raihan.
"Hei berhenti." Ucap Pak Bambang yang berjalan menuju mereka.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Pak Bambang.
"Semuanya masuk ke kelas masing-masing." Ucap Pak Bambang sambil menunjuk para murid.
"Kalian sedang apa? Apakah kalian mau di kurangi nilanya?" Ucap Pak Bambang yang membuat para murid masuk ke dalam kelas.
Raihan pun lalu pergi dari sana.
"Kau mau pergi ke mana Raihan? Raihan." tanya Pak Bambang yang melihat Raihan pergi dan berlari menjauhi Pak Bambang.
Pak Bambang pun lalu mengejar Raihan namun Pak Bambang terlambat karena Raihan sudah masuk ke ruangan khusus kelas Mewah dan mengunci pintunya.
"Raihan! Raihan! buka, kau harus pindah ke kelas mawar." Teriak Pak Bambang yang mencoba membuka pintu kaca ruangan itu.
"Buka pintunya!" Teriak Pak Bambang sambil memukul-mukul pintu kaca, yang membuat para murid yang sedang belajar di sana keluar dari ruangan khususnya.
Semua guru pun lalu datang, termasuk Ibu Dinda yang memcoba untuk membujuk Raihan dan mengajaknya untuk berbicara baik-baik.
"Ketua dewan akan marah jika ia mengetahui hal ini." Ucap Pak Bambang kepada para guru.
"Buka pintunya!" teriak Pak Bambang.
"Ini mejaku, dan ini adalah tempatku." Teriak Raihan yang tidak mau dipindahkan ke kelas Mawar.
Di pintu masuk kelas Mewah, Pak Heri sedang bersama para orang tua murid kelas Mewah dan juga bersama Ketua Dewan dan Ibu mantan Ketua Dewan.
Pak Heri sedang menjelaskan sistem baru yang dibuat di sekolah dan Pak Heri memberitahu bahwa Ketua Dewanlah yang mempunyai ide seperti ini.
Mereka yang sudah dekat dengan ruangan khusus murid Mewah lalu mendengar suara teriakan Pak Bambang.
"Apa yang terjadi?" tanya Fauzi kepada Pak Heri.
"Raihan, buka pintunya!" teriak Pak Bambang yang membuat para orang tua melihat kepada para guru.
Pak Asep yang melihat banyak para murid yang menonton, ia pun lalu menyuruh kepada para guru untuk membuat anak-anak pindah ke kelas.
Fauzi dan para orang tua pun akhirnya sampai di tempat kejadian Raihan yang di susul oleh murid-murid yang berdatangan dari belakang.
Bukannya masuk ke dalam kelas, para murid malah banyak yang menonton dan merekam aksi dari Raihan.
Salah satu Ibu dari murid di sana yaitu Ibunya El mengatakan.
"Apakah itu Raihan? Cepat panggil Ibunya sekarang dan minta dia untuk membawa Raihan pergi." Ucap Ibu El.
Pak Ucok yaitu kepala sekolah lalu menyuruh kepada Pak Heri untuk memanggil orang tua Raihan, namun Fauzi menyuruh Pak Heri untuk tidak memanggil orang tua Raihan karena Fauzi sendiri yang akan turun tangan dan akan mencoba untuk membujuk Raihan.
"Raihan, tolong tenang." Ucap Fauzi.
"Hei!" teriak Diki dari kejauhan yang membuat semua orang di sana melihat kepadanya.
Diki yang melihat di sebelahnya ada kursi ia pun lalu membawanya dan berjalan menuju orang-orang.
"Menyebalkan sekali, aku tidak bisa diam saja." Ucap Diki sambil berjalan.
"Minggir... minggir... minggir." Ucap Diki kepada orang-orang yang menghalangi jalanya.
Para murid dan guru-guru yang tahu jika Diki akan melemparkan kursi itu ke pintu kaca, mereka pun menyuruh Diki untuk tidak melempar kursi itu.
"Tidak , jangan." Ucap semua orang.
Diki tidak mendengarkan perkataan orang-orang dan dia langsung melemparkan kursi itu ke pintu kaca hingga pintu kacanya retak.
Saat Diki melemparkan kursi itu, para guru dan orang tua murid pun berteriak karena terkejut.
"Sedang apa kau?" tanya Raihan.
"Menurutmu sedang apa?" jawab Diki.
"Tidak bisakah kau melihat aku berusaha untuk tidak mengabaikanmu?" ucap Diki.
Diki lalu melihat ke seluruh pintu kaca dan mundur untuk memberi jarak supaya ia dapat menendang pintu kaca itu dengan maksimal dan akhirnya dengan dua kali tendangan Diki berhasil memecahkan pintu kaca itu.
Dengan pecahnya pintu kaca itu, wajah Diki akhirnya terkenal serpihan dari kaca yang pecah itu, hingga wajahnya tergores dan berdarah.
Setelah pintu kaca itu pecah Diki lalu masuk ke dalam ruangan kaca itu dan jongkok dihadapan Raihan.
"Hei Raihan, Nagato Uzumaki pernah berkata : "Tidak ada satu orang pun yang dapat mengerti perasaan kita, kecuali diri kita sendiri." Ucap Diki.
"Yang menekanmu selama ini bukanlah Ibumu atau pun sekolah, melainkan dirimu sendiri." Ucap Diki.
"Lihat, kaca setebal ini bukan apa-apa setelah kau memecahkannya." Ucap Diki sambil menginjak pecahan kaca dengan sepatunya.