Chapter 17

1135 Kata
Diki lalu pergi setelah berbicara kepada Raihan. Semua orang melihat ke arah Diki saat ia berjalan, Diki yang di wajahnya terdapat luka bekas serpihan kaca, ia lalu membersihkan darah yang ada di wajahnya menggunakan tangannya. Mantan Ketua Dewan yaitu Bu Sinta lalu mengadakan rapat dengan para orang tua murid kelas Mewah. Orang tua El mengatakan. "Bagaimana bisa anak-anak kita berada di sekolah dengan preman seperti dia?" tanya Ibu El. Salah satu ibu-ibu di sana ada yang mengusulkan untuk mengusir Diki dan ada juga yang mengusulkan untuk membentuk Komite Pencegahan Kekerasan Sekolah (KPKS) untuk mengusir dan memindahkan Diki. "Bayangkan saja jika anak-anak kita berada di sekolah dengan pria seperti itu." Ucap Ibu El. "Kita tunggu dan lihat bagaimana Ketua Dewan baru menangani situasi ini." Ucap Ibu Sinta. Di ruangan Ketua Dewan Fauzi sedang sendiri dan ia pum lalu mengatakan. "Diki, sekarang bukan waktunya." Ucap Fauzi. Raihan yang terkena serpihan pintu kaca yang dipecahkan oleh Diki ia pun dibawa ke UKS dan di obati oleh Bu Dinda. "Ahhhkk.." Teriak Raihan yang kesakitan saat Bu Dinda membersihkan luka di wajahnya Raihan. "Apakah ini sakit?" tanya Bu Dinda. "Iyalah, kaca bening sebesar itu menggores wajahku." Ucap Raihan. Dinda yang sedang mengobati Raihan lalu mengingat bahwa Diki juga terkena serpihan kaca itu. Dinda yang sedang melamun ia dipanggil-panggil oleh Raihan. "Bu." Ucap Raihan yang melihat Bu Dinda melamun. "Maaf." Ucap Bu Dinda yang sedang membersihkan luka di wajah Raihan namun kapas yang ia tempelkan tidak tepat di luka Raihan. Karena lukanya sudah dibersihkan Bu Dinda pun lalu menempelkan plaster di wajah Raihan yang terluka. "Aku hampir mati karena pendarahan yang berlebihan." Ucap Raihan sambil memegang lukanya. Bu Dinda langsung tertawa mendengar ucapan Raihan. "Maafkan Ibu." Ucap Bu Dinda. "Maaf untuk apa?" tanya Raihan. "Kau tahu, kita hampir mati bersama dan kita seperti rekan saat akan mati dan aku seperti bukan guru yang baik untukmu." Ucap Bu Dinda. "Tidak apa, Ibu ini masih seorang guru honorer." Ucap Raihan. "Hei, sekarang Ibu adalah guru tetap." Ucap Bu Dinda yang marah. "Huuuuhhh..." ucap Raihan sambil bertepuk tangan dan tertawa. "Kau ini, pokoknya kau tidur saja di sini sampai petugas membersihkan ruangan belajar." Ucap Bu Dinda. Setelah mendengar ucapan Bu Dinda Raihan pun langsung berbaring di tempat tidur. "Ibu tahu, aku biasanya menghapal kosakata, bahkan saat aku berbaring sakit di tempat tidur." Ucap Raihan sambil berbaring. "Mau Ibu bawakan catatan kosakatamu?" tanya Bu Dinda sambil tersenyum. "Tidak." Jawab Raihan sambil tersenyum. Di luar sekolah Diki sedang berjalan sendirian dengan wajah tidak bersemangat. Di belakang Diki di ikuti oleh Pak Asep. Pak Asep lalu menepuk pundak Diki. Saat Diki berbalik, Pak Asep kaget dan mengatakan. "Kenapa kau tidak melintir tanganku hari ini?" tanya Pak Asep. "Apa, Bapak ini." Ucap Diki. "Sekarang aku tidak bisa memarahimu atau memujimu." Ucap Pak Asep. "Kenapa sekolah hari ini berakhir seperti ini?" tanya Diki. "Aku tidak tahu, bagaimana bisa seperti ini?" ucap Pak Asep. "Jika Bapak tidak tahu, siapa yang melakukannya?" ucap Diki. "Oh Ini, pakai ini." Ucap Pak Asep yang melihat wajah Diki berdarah lalu mengeluarkan plaster dari kantung jasnya. "Tidak jangan jangan, itu membuatku jijik." Ucap Diki yang tidak mau memakai plaster. "Diam, Ibumu nanti akan terkejut, bagaimana bisa kau membuat masalah seperti ini saat kau baru beberapa hari di sekolah." Ucap Pak Asep sambil membuka plasternya. "Bapak bilang tidak bisa memarahiku? berikan padaku, biar aku saja." Ucap Diki yang mengambil plasternya dari tangan Pak Asep. "Apa menurutmu tindakanmu tadi itu bagus? Kau harus bicarakan dulu jangan langsung bertindak saja." Ucap Pak Asep yang marah karena Diki tadi memecahkan pintu kaca di sekolah. "Apa yang kau gunakan untuk mulutmu itu, apa hanya makan saja?" tanya Pak Asep. "Bapak memarahiku lagi, aku akan pergi." Ucap Diki sambil membuka plaster. "Hei." Ucap Pak Asep yang mencegah Diki untuk pergi. "Tidak tidak, aku tidak peduli." Ucap Diki dan langsung pergi. "Dia tumbuh dengan baik." Ucap Pak Asep. Pak Asep lalu mengingat kalau jam pulang sekolah belum berakhir. "Hei, jam sekolah belum selesai. Kembali ke sini!" teriak Pak Asep kepada Diki. Diki yang sudah ketahuan dia pun berlari dan dikejar oleh Pak Asep. "Hei kembali, dasar anak nakal." Teriak Pak Asep sambil mengejar Diki. Di wartegnya, Bu Engkes sedang membersihkan meja-meja yang kotor, tak lama kemudian Diki pun datang dengan sambil menutup wajahnya. "Kau sudah pulang? Apa kau lelah?" tanya Ibunya. Diki yang tasnya tersangkut ia pun terpaksa harus mengambil tasnya dengan tangan yang dipakainya untuk menutupi wajah. "Aku tidak bertengkar kok, aku bermain basket dengan teman-teman. Aku tidak tahu apa karena mereka masih muda sehingga mengenaiku bolanya." Ucap Diki yang melihat Ibunya memperhatikan luka di wajahnya. "Ibu tidak bertanya." Ucap Ibu Engkes dan kembali membersihkan meja. Diki yang melihat Ibunya ke susahan membersihkan noda di meja, ia pun lalu mendekati Ibunya. "Sini biar aku saja, berikan padaku." Ucap Diki sambil mengambil lap di tangan Ibunya lalu membersihkan meja itu. "Kenapa menatap seperti itu?" tanya Diki kepada Ibunya. Bu Engkes lalu teriangat saat dulu ia pernah mendaftarkan Diki ke sekolah-sekolah lain karena dulu Diki di keluarkan di sekolah pertamanya karena kasus Fauzi. Semua sekolah yang Bu Engkes datangi tidak bisa menerima Diki karena alasan kasus mengenai Fauzi sudah menyebar luas di sekolah-sekolah lain, dan Diki juga selalu membuat onar di sekolah. Semua sekolah yang Bu Engkes datangi semuanya beralasan sama yaitu murid-murid mereka akan takut jika ada Diki di sekolahnya karena kasus Fauzi. Dan di setiap sekolah yang Bu Engkes datangi, Bu Engkes selalu meminta dan memohon-mohon untuk anaknya di terima di sekolah, namun semua itu sia-sia saja dan itu yang membuat Bu Engkes bersedih karena nasib anaknya yang seperti ini. Ituu alasannya kenapa Bu Engkes kemarin-kemarin tidak memperbolehkan Diki untuk kembali ke sekolah, karena Ibu Engkes sudah sakit hati atas penolakan yang dilakukan sekolah-sekolah yang ia datangi terhadap anaknya. "Ngomong-ngomong, apa ada yang ingin Ibu katakan kepadaku, setelah aku pulang sekolah apa Ibu meminta aku belajar lebih giat? atau Ibu memintaku untuk berhenti berkelahi." tanya Diki yang sudah selesai membersihkan mejanya. "Jika seseorang tiba-tiba berubah, itu berarti mereka akan mati, kau tidak pernah belajar sampai sekarang, dan kau gila akan berkelahi, dan sekarang umurmu sudah 28 tahun." Ucap Bu Engkes. "Benar, dan juga tidak banyak yang bisa ku lakukan untuk Ibu." Ucap Diki. "Ijazah." Ucap Ibunya. "Ibu hanya ingin kau mendapatkan ijazah SMA." Ucap Ibunya yang sedikit bersedih. Diki yang mendengar perkataan Ibunya hanya bisa terdiam dengan wajah sedih. Di Indomart Dinda menemui teman curhatnya yaitu kasir Indomart yang bernama Dodi. "Apa apa? Kau marah lagi? Kau kan sudah menjadi guru tetap." tanya Dodi. "Aku tahu itu, tapi menjadi guru tetap itu tidak semudah yang dibayangkan." Jawab Dinda yang lemas sambil menempelkan kepalanya ke atas makanan di sana. "Semuanya pun memang tidak mudah." Ucap Dodi. "Tapi ada hal yang paling mudah, yaitu mengunyah cemilan." Ucap Dinda sambil mengambil sosis di sana. "Bu, kau tidak bisa memakannya bila belum membayar." Ucap Dodi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN