Di kantor, Bu Dinda masih memikirkan uang 70 jutanya yang belum dikembalikan oleh Pak Iwong.
Para guru yang baru datang ke kantor, mereka memberikan selamat kepada Ibu Dinda, kerena Ibu Dinda sudah menjadi guru tetap.
"Bu Dinda kami semua sibuk, jadi kita tunda dulu pesta ucapan selamatnya." Ucap Pak Bambang sambil memberikan buku jurnal kepada Bu Dinda.
"Kau sekarang menjadi wali kelas di kelas Mawar, yang isinya semua murid bodoh dan tukang pembuat onar." Ucap Pak Bambang.
"Kenapa harus aku? Padahal hari ini adalah hari pertamaku menjadi guru tetap." Ucap Bu Dinda yang terkejut karena ia menjadi wali kelas di kelas Mawar.
"Itu sebabnya kau memulai dari yang paling rendah dulu." Ucap Pak Bambang.
Bu Dinda lalu membuka buku jurnal yang diberikan oleh Pak Bambang, dan melihat daftar nama-nama murid di kelas itu.
"Oh iya tunggu, ada satu yang terlewat." Ucap Pak Bambang yang langsung merebut buku itu.
"Apa, siapa?" tanya Bu Dinda.
Setelah menulis nama murid yang terlewat, Pak bambang pun langsung menutup bukunya. Bu Dinda yang penasaran langsung membuka buku itu. Dan ternyata nama murid yang terlewat namanya itu adalah Diki.
"Pak Bambang." Teriak Bu Dinda.
"Apa, aku benar-benar sibuk dan aku akan mencetak buku yang baru untukmu. Diki sudah ada di ruang BK dan kau bisa mengantarnya ke kelas." Ucap Pak Bambang.
"Apa?" tanya Bu Dinda yang terkejut.
"Antar dia ke kelas mawar, dan suruh dia tanda tangani buku ini." Ucap Pak Bambang dan langsung pergi.
Diki yang sedang berada di ruang BK ia melihat pesan-pesan yang tertulis di kertas berwarna.
Salah satu kertas itu lalu dibaca oleh Diki, yang isinya. "Bu Dinda sejak kapan kau sangat cantik? "
Diki yang membaca lalu mengatakan bahwa Dinda sudah cantik dari dulu.
"Bilang apa aku, astaga." Ucap Diki sambil menepuk-nepuk bibirnya.
Diki lalu membalas tulisan di kertas itu.
"Cantik apanya, orang cantik itu cepat mati." Ucap Diki yang membalas tulisan di kertas.
Dinda yang sudah berada di depan pintu ruang BK ia sebelumnya sempat ragu untuk masuk ke dalam, tapi ia pun lalu menyakinkan dirinya sendiri, bahwa Diki adalah seorang murid dan dirinya adalah seorang guru.
Saat Dinda masuk, mereka berdua saling menatap dengan tidak suka. Diki pun yang melihat Dinda langsung mengatakan.
"Cihhh jangan takut, ku kira kau pandai berakting menjadi seorang guru." Ucap Diki.
"Kenapa kau di sini? Ku bilang kau jangan kembali ke sini." Ucap Dinda.
"Hei, jangan berkata seperti itu." Ucap Diki sambil memejamkan matanya.
"Kau nanti akan menjadi guru tetap berkat diriku kan?" tanya Diki yang tersenyum sambil menatap Dinda.
"Berita cepat menyebar ya. Aku tidak menjadi guru tetap karenamu." Ucap Dinda sambil tersenyum dengan terpaksa.
"Kau menjadi guru tetap sekarang?" tanya Diki yang terkejut.
"Wahh, ternyata benar si Fauzi itu." Ucap Diki sambil tertawa.
"Kau tahu bagaimana kerja kerasku?" tanya Dinda yang melihat Diki tertawa.
"Menurut evaluasi dan hasil ujian, aku sudah seharusnya mendapatkan pekerjaan itu." Ucap Dinda.
"Tapi kenapa, kau tidak bisa menjadi guru tetap meski kau sudah menyuap uang 70 juta?" tanya Diki.
"Aneh betul." Ucap Diki.
"Apa yang kau mau dariku?" tanya Dinda.
"Aku mau apa? Aku mau membeli posisi guru tetap seharga 70 juta, dan aku akan membuat pengakuan jika diriku tidak memenuhi syarat menjadi seorang guru." Ucap Diki yang meledek sambil tersenyum.
"Kalau aku tak mau?" tanya Dinda.
"Aku akan membantumu sampai kau melakukannya." Ucap Diki sambil tersenyum.
"Memangnya siapa kau? Kenapa kau melakukan ini kepadaku setelah 10 tahun lamanya." Ucap Dinda yang marah, lalu melemparkan buku pelajaran yang ia bawa ke meja di depan Diki.
"Hei, harusnya aku yang bertanya." Ucap Diki yang langsung beranjak dari kursinya.
"Kenapa kau melakukan itu padaku waktu itu." Ucap Diki yang marah.
"Ku pikir kau... ku pikir ada sesuatu di antara kita." Ucap Diki yang langsung mengalihkan pandangannya.
"Antara kita apa? Apa ada sesuatu di antara kita?" tanya Dinda.
"Kata-kataku memang sia-sia, aku pikir ada banyak hal di antara kita. Tapi sekarang kita mengumbarnya, namun ternyata tidak ada apa-apa." Ucap Diki.
"Hei Dinda, kau tahu tidak?" tanya Diki.
"Menutup topeng ke bohongan itu tidak akan bertahan lama, karena sepintar-pintarnya kau menyembunyikan bangkai, pasti bangkai itu akan tercium dengan sendirinya." Ucap Diki.
"Benar, kebohongan itu tidak akan bertahan lama, itu sebabnya kita jadi begini. Jika kau memang tulus seharunya kau tidak akan begitu padaku." Ucap Dinda.
"Apa maksudmu?" tanya Diki.
"Aku tidak ada waktu untuk membahas masa lalu. Isi saja ini." Ucap Dinda sambil memberikan formulir pendaftaran kembali ke sekolah kepada Diki.
"Hei Dinda, aku harus menulis apa di kolom alasan cuti? Kau kan juga tahu. Aku memang tidak tahu kenapa aku putus sekolah." Ucap Diki.
"Kenapa bertanya padaku? Kau belum berubah, kau masih saja tidak ada apa-apanya. Aku ini gurumu, jangan bicara tidak sopan kepadaku." Ucap Dinda.
"Ya, Ibu Dinda." Ucap Diki.
Pak Bambang di depan kelas sedang memberitahu para murid yang akan masuk ke kelas Mawar, dan Pak Bambang pun memberikan semangat kepada mereka untuk belajar.
Diki yang diantar Dinda menuju ke kelas, saat jalan ia dibicarakan oleh para murid perempuan yang sedang berada di luar kelas.
"Tidak ada yang berubah." Ucap Diki.
"Aku jadi teringat masa lalu, iya kan?" tanya Diki.
Setelah sampai di depan kelas, Dinda memberitahukan bahwa kelas Mawar adalah kelas baru untuk murid pembuat onar.
"Aku ditunjuk langsung untuk menjadi wali kelas di kelas ini." Ucap Dinda.
"Baguslah, setidaknya aku masih ada kenalan." Ucap Diki.
"Kelas Mawar? Apakah nama itu meminta kami untuk bersikap tegar dan bertahan? Lucu juga, kelas Mawar." Ucap Diki dan langsung masuk ke kelas.
"Dia masih sangat positif tanpa alasan." Ucap Dinda sambil menghela napas dan langsung masuk ke kelas.
Di dalam kelas para murid perempuan memberikan tepuk tangan saat Diki masuk dan Kanaya juga sangat terkejut melihat Diki satu kelas dengannya.
Bu Dinda lalu menyuruh para murid perempuan untuk berhenti bertepuk tangan, dan Bu Dinda pun langsung memperkenalkan dirinya.
"Seperti yang kalian tahu, nama Ibu adalah Dinda. Ibu ditunjuk langsung untuk menjadi wali kelas di kelas Mawar ini. Kepada semua murid, Ibu mohon kerja samanya." Ucap Bu Dinda.
"Bu, apa mereka membenci ibu? Kenapa mereka membuat Ibu mengajar di kelas pembuat onar?" tanya Saipul.
"Ini namanya kelas daur ulang." Ucap Jagan.
"Kenapa kau menggunakan otak pintarmu untuk bertanya hal seperti ini?" tanya Bu Dinda.
"Oke, kita akan saling berkenalan, sekarang kita kedatangan siswa baru, kalian tentu kenal dia kan." Ucap Bu Dinda.
Salah satu murid lalu mengatakan bahwa dia adalah sang warga pemberani yaitu Diki.
Semua orang yang mendengar lalu memberikan tepuk tangan kepada Diki, dan Diki pun lalu melambaikan tangan kepada para murid.
"Halo, namaku adalah Diki , aku harap kita bisa akur dan bekerja sama." Ucap Diki.
Di luar jendela kelas Fauzi sedang melihat ke kelas mawar.
"Aku harap juga demikian, Diki." Ucap Fauzi yang sedang melihat Diki memperkenalkan dirinya.
Fauzi lalu teringat masa lalu saat dirinya menjadi murid baru di kelasnya Diki dan Dinda.
Pak Asep dulu menyuruh Dinda selaku ketua kelas untuk mengajak Fauzi berkeliling melihat sekolah. Diki yang tidak mau Dinda berduaan dengan Fauzi ia pun lalu mengatakan.
"Aku! Pak, biar aku saja." Ucap Diki sambil mengacungkan tangan.
"Kenapa harus kau?" tanya Pak Asep.
"Aku mau mengajak dia berkeliling." Jawab Diki yang beranjak dari kursinya.