"Duduklah." Ucap Pak Asep kepada Diki.
"Tidak, aku akan mengajak Fauzi untuk keliling sekolah." Ucap Diki.
Diki lalu mengajak Fauzi berkeliling dan memperkenalkan tempat-tempat di sekolah, mulai dari kantin sampai gedung-gedung perpustakaan dan juga ruangan para guru.
"Kurasa aku sudah cukup untuk melihat-lihat." Ucap Fauzi yang masih pendiam.
Saat berhenti berjalan, Diki melihat ada Dinda yang sedang mendengarkan musik menggunakan headset di halaman sekolah.
"Hei Fauzi, apakah kau pernah menjalin hubungan?" tanya Diki sambil melihat ke Dinda.
"Menjalin hubungan?" tanya Fauzi sambil melihat wajah Diki yang melihat ke arah Dinda.
Dinda yang melihat Diki secara tidak sengaja, Diki lalu membalikan badannya karena malu dan menyuruh Fauzi untuk tidak melihat Dinda.
"Ayo cepat jangan dilihat, dia melihat kita karena ada kau, kenapa kau tatap?" tanya Diki sambil melihat lagi ke Dinda, dan Dinda pun melambaikan tanganya kepada mereka.
Di kelas, Fauzi yang sedang belajar didekati oleh Diki.
"Hei Fauzi, kau ternyata sangat sial ya, kau pindah ke sekolah sehari sebelum ujian." Ucap Diki.
"Aku suka dengan ujian, ini permainan paling adil di dunia." Ucap Fauzi.
"Begitukah? Kalo begitu Semangat." Ucap Diki sambil mengepalkan tanganya ke atas lalu menyemangati Fauzi.
Setelah ujian selesai para murid pun mendapatkan laporan hasil ujian mereka, dan yang mendapatkan rangking pertama adalah Dinda.
Diki yang senang karena nilainya paling rendah ia pun lalu menggoda Dinda kerena mereka akan bekerja kelompok lagi.
Fauzi yang melihat mereka berdua mulai ada rasa cemburu.
Di perpustakaan Dinda sedang belajar, meskipun kondisi Dinda tidak terlalu sehat tapi dia terus belajar dengan giat.
Fauzi pun yang sedang menyimpan buku di perpustakaan, ia lalu melihat Dinda yang sedang belajar sendiri di perpustakaan.
Di kantin, Diki, Fauzi dan juga Wildan sedang melihat Dinda makan, karena Dinda makannya sangat banyak, akhirnya mereka pun hanya melihat Dinda makan saja.
Meskipun Dinda sudah makan banyak tapi dia masih belum kenyang dan meminta makanan Fauzi. Diki yang melihat Dinda mengambil makanan Fauzi ia pun lalu memberikan makanannya kepada Dinda.
Dinda yang tersenyum kepada Fauzi, ia mulai membuat Fauzi terbawa perasaan kepadanya. Bahkan disetiap kegiatan yang Dinda lakukan Fauzi selalu memperhatikannya. Fauzi yang beberapa kali ketahuan memperhatikan Dinda ia lalu membalikan badanya dan menjadi salah tingkah.
"Hei, kenapa kau terus menatapku?" tanya Dinda yang membuat Fauzi kaget.
Setelah Fauzi mengingat masa lalu, ia pun lalu menjawab pertanyaan Dinda, saat ia melihat Dinda di jendela kelas Mawar.
"Tidak tahu, kenapa aku terus menatapmu?" Ucap Fauzi yang sedang melihat Dinda mengajar.
Fauzi yang selesai melihat Dinda, ia pun langsung pergi dari depan jendela kelas Mawar.
Di kelas, Ibu Dinda bertanya kepada para murid.
"Baik, siapa yang akan menjadi ketua kelas?" tanya Bu Dinda.
"Jagan kamu mau?" tanya Bu Dinda.
"Kenapa harus aku Bu?" tanya Jagan.
"Baiklah, ada yang mau berpartisipasi?" tanya Bu Dinda sambil mengacungkan tangan.
"Hei, jadi ketua kelas itu akan mendapatkan nilai tambahan loh." Ucap Bu Dinda yang melihat para muridnya tidak berbicara apapun.
"Jika tidak ada yang mau berpartisipasi, haruskah Ibu yang pilih?" tanya Bu Dinda.
"Bu, kurasa Ibu ini tidak begitu otoritas." Ucap Kanaya.
"Baiklah, sekarang Ibu akan otoritas, dan kau yang menjadi ketua kelas." Ucap Bu Dinda sambil tersenyum.
"Aku tidak mau menjadi ketua kelas, jika aku menjadi ketua kelas aku akan mengeluhkan karena itu akan mengganggu belajarku." Ucap Kanaya yang panik mendengar ucapan Bu Dinda.
"Lalu siapa yang mau menjadi ketua kelas? Kita harus mematuhi peraturan." Ucap Bu Dinda.
"Baiklah kalau begitu, Ibu akan memilih secara adil, dan Ibu akan memilih berdasarkan buku jurnal." Ucap Bu Dinda.
Saat Bu Dinda membuka buku jurnal atau buku absen, ia tidak sengaja mengatakan nama Diki, karena namanya tertulis di absenan pertama buku absen. Setelah Bu Dinda mengatakan nama Diki, ia pun langsung menjadi salah tingkah, dan mengatakan bahwa Diki adalah seorang murid baru, dan masih belum terbiasa. Ibu Dinda pun lalu menggantinya.
"Rafan, kau yang akan menjadi ketua kelas." Ucap Bu Dinda setelah melihat buku absen.
Diki yang mendengar nama Rafan ia langsung mencari orang tersebut.
Rafan yang memakai switer ia menutupi wajahnya supaya tidak terlihat oleh Diki.
Diki yang mengetahui bahwa Rafan yang dimaksud itu adalah keponakanya, ia langsung menyingkirkan bangkunya sendiri dengan kencang, yang membuat Bu Dinda dan semua murid terkejut.
Diki lalu menatap Rafan yang masih menutupi wajahnya.
"Hei Diki, kau kenapa?" tanya Bu Dinda yang diabaikan oleh Diki.
"Diki....Diki..." Teriak Bu Dinda sambil membanting bukunya ke meja, namun masih tidak didengar oleh Diki.
Bu Dinda yang belum mendapatkan jawaban dari Rafan ia pun lalu melihat ke Rafan.
"Bagaimana pendapatmu menjadi ketua kelas Rafan?" tanya Bu Dinda.
"Aku.. juga tidak mau Bu." Ucap Rafan yang gugup sambil melihatkan wajahnya.
Semua murid yang mendengar ucapan Rafan menertawakannya karena Rafan berkata dengan gugup.
Diki yang kesal ia lalu mengacungkan tangannya dan bersedia menjadi ketua kelas.
"Oke, jadi sekarang sudah jelas ya, yang akan menjadi ketua kelas kita adalah murid paling yang tua." Ucap Jagan. Dan semua murid pun memberikan tepuk tangan.
"Baiklah kalau begitu, sekarang Diki sudah resmi menjadi ketua kelas." Ucap Bu Dinda sambil tersenyum.
Bel sekolah pun berbunyi dan Bu Dinda langsung meninggalkan kelas.
Diki yang melihat Rafan ia lalu mengajak Rafan untuk berbicara di luar kelas.
"Ada apa ini? Rafan sedang sibuk karena untuk menaikan level game onlineku." Ucap Jagan.
"Dia adalah orang baik yang selalu memainkan gameku saat istirahat dan belajar mandiri." Ucap Jagan.
"Jadi apa yang kau butuhkan darinya?" tanya Diki.
"Tadi kau bilang dia sedang memainkan ID game onlinemu, kenapa?" tanya Diki yang langsung mengambil hp di tangannya Rafan.
"Karena menaikan level game itu sangat susah. Aku harus setiap hari memegang ponsel untuk menaikan level." Ucap Jagan.
"Jariku sudah sangat lelah dan dia bersikeras untuk membantuku, jadi aku biarkan saja." Ucap Jagan.
Diki yang mendengar perkataan Jagan ia langsung menarik Rafan keluar kelas.
"Anak yang selalu dibanggakan, cahaya dan harapan keluarga yaitu Rafan. Kenapa kau ada di kelas itu?" tanya Diki yang marah.
"Karena nilaiku anjlok saat ujian. Tolong jangan beritahu Ibu ya." Ucap Rafan.
Diki yang ingin memukul Rafan ia lalu pun menahan dirinya.
"Hei Rafan, jujur kepadaku." Ucap Diki.
"Aku mengatakan dengan jujur." Ucap Rafan.
"Kau sungguh mau berbohong kepadaku? Terus game itu apa?" tanya Diki.
"Game, kami adalah teman jadi kami saling membantu. Mereka sebenarnya anak-anak yang baik." Jawan Rafan dengan gugup.
"Baiklah, aku sebenarnya bodoh dan aku berbohong." Ucap Rafan yang mengaku sambil menghela napas.
"Dan juga kenapa diusiamu yang sudah tua kau malah kembali ke sekolah?" tanya Rafan.
"Sadarkanlah dirimu, kau adalah satu-satunya harapan Ibumu, kau lihat bagaimana Nenekmu menderita kerenaku." Ucap Diki.
"Bagaimana kau berbohong dengan semua ini." Ucap Diki yang berteriak.
Rafan yang tidak mau Diki memberitahukannya kepada Ibunya, ia pun langsung berlutut di hadapan Diki.
"Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah!" ucap Diki.
Dari kejauhan Jagan dan kawan-kawan sedang melihat Rafan yang sedang dimarah-marahi oleh Diki.
"Hei, apakah pernah Rafan berlutut kepada kita seperti itu?" tanya Jagan.
"Tidak pernah." Jawab Adit.
"Siapa sebenarnya berandalan tua itu?" tanya Jagan.
"Kurasa mereka bersaudara." Jawab Selmi.
Di kelas, Diki yang masih kesal ia terus melihat kepada Rafan.
Pak Mas yang sedang mengajar, ia pun lalu bertanya kepada Diki.
Diki yang sedang melihat kepada Rafan, Pak Mas pun tidak jadi bertanya kepada Diki.
"Baiklah, mungkin ini adalah hari pertamanya kau masuk ke sekolah." Ucap Pak Mas yang gugup.