Chapter 12

1125 Kata
Sarah yang kesal mendengar Dinda ada di sekolah, ia pun juga ingin kembali ke sekolah. "Aku ingin ke sana." Ucap Sarah yang memegang kerah jaket Wildan. "Kenapa kau mau ke sekolah?" tanya Wildan. "Diki dan Dinda, aku tidak bisa melihat kalian berdua bersama." Ucap Sarah dan langsung mendorong Wildan hingga jatuh, dan Sarah pun kembali pingsan. Wildan lalu memegangi kelapa Sarah supaya tidak tebentur ke meja. "Bagaimana dia bisa menjadi Wali kelasmu?" tanya Wildan. "Itu sama sekali tidak lucu." Ucap Diki. "Bagaimana rasanya melihatnya lagi? Apa jangtungmu masih berdebar saat di dekatnya?" tanya Wildan. "Aku bilang keluargaku ada masalah pada jantung." Ucap Diki yang kesal. "Oke...oke." Ucap Wildan. "Berhenti bertanya kepadaku." Ucap Diki. "Jadi apa yang mau kau lakukan? Aku khawatir kau akan membuat masalah di sekolah." Ucap Wildan. "Aku sudah tua sekarang, kenapa juga aku harus membuat masalah. Aku tahu bahwa Fauzi punya kelemahan dan setelah aku mengetahui kelemahannya aku akan menghancurkannya untuk membalas dendam." Ucap Diki. "Dan untuk Dinda, aku ingin mendengar penjelasannya, kenapa dia melakukan itu kepadaku." Ucap Diki sambil minum. "Kau masih ada perasaan kepadanya?" tanya Wildan sambil tersenyum dan menupuk pundak Diki. "Tidak, karena aku penasaran saja kenapa dia melakukan itu padaku." Jawab Diki dengan nada tinggi. "Kenapa Pak Asep belum kembali?" tanya Diki. "Bapak tadi minum?" tanya Wildan. "Ya, satu gelas." Jawab Diki. "Satu gelas saja bisa membuatnya mabuk, dia pasti sudah pulang." Ucap Wildan. Setelah selesai makan dan minum di cafe, mereka bertiga pun pulang karena mengira Pak Asep sudah pulang duluan karena dia sedang mabuk. Di villa, Bu Sinta yaitu mantan Ketua Dewan atau Ibu dari Fauzi mengajak Fauzi untuk makan makanan laut. "Apakah Ibu masih suka makanan laut?" tanya Fauzi. "Daging itu tidak bugus untukmu." Ucap Bu Sinta. "Ada banyak hal yang harus kulakukan sekarang, kamu juga tidak bisa menjamin hal seperti itu tidak akan terjadi lagi." Ucap Bu Sinta sambil memberikan Fauzi udang goreng. "Baiklah, aku akan berusaha sebaik mungkin." Ucap Fauzi sambil tersenyum. "Kenapa tidak di makan? Apakah kau tidak suka?" tanya Bu Sinta. Fauzi menghela napas, lalu memakan udang goreng dan mencicipi kuah dari cumi dan kerang rebus itu. Ibu Sinta lalu mendapatkan telepon dan pergi untuk mengangkat telepon. Tiba-tiba Fauzi batuk-batuk dan memegang lehernya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Chef yang melihat Fauzi. "Chef, aku alergi terhadap kerang, jadi jangan sembarangan memberikanku makanan." Ucap Fauzi yang wajahnya berkeringat dan terus memegang lehernya. "Maaf, saya baru di sini, Ibu anda bilang anda tidak alergi terhadap apapun." Ucap Chef. "Dia mungkin lupa, kami sudah lama tidak bertemu." Ucap Fauzi yang terpaksa tersenyum dan pergi untuk mengambil obat di meja kamarnya. Bu Engkes sedang menunggu Diki di luar rumah dan tak lama kemudian Diki pun datang lalu Ibu Engkes pun berlari mendekatinya. "Diki...." teriak Ibunya. Ibunya lalu mengambil tas yang di bawa oleh Diki. "Apakah kau yakin pergi ke sekolah?" tanya Ibunya yang menggoyang-goyangkan tasnya Diki. "Anak-anak di sekolah jarang ada yang membawa buku, dan papan tulis pun sekarang sudah bisa menghapus sendiri." Ucap Diki. "Apakah papan tulis itu di kendalikan oleh mesin? dan apakah bisa warteg Ibu bersih dengan sendirinya? Oh ya apakah kau sudah makan?" tanya Ibunya. "Sudah tadi." Jawab Diki. Diki lalu berjalan di depan Ibunya dan Ibunya lalu memperhatikan Diki dari belakang. "Sudah lama kau tidak menggunakan seragam, kau terlihat keren." Ucap Ibunya. "Ibu memarahiku sebelumnya karena kembali ke sekolah, tapi sekarang Ibu malah memujiku." Ucap Diki sambil berpose dan mengajak Ibunya untuk cepat masuk ke rumah karena di luar sangat dingin. "Dasar kau.." Ucap Ibunya lalu mencubit Diki karena sudah menggodanya dengan berpose. "Hei Diki, jangan bertingkah seolah-olah kau dekat dengan Rafan." Teriak Intan yaitu kakanya Diki dan Ibu dari Rafan. "Jangan pergi ke kelasnya, dan jangan bersikap seperti pamanya." Ucap Intan. "Kau akan memberikan pengaruh buruk kepada Rafan, kau mengertikan?" Ucap Intan yang marah. "Kau diam saja, kau bahkan tidak tahu apa-apa." Ucap Diki dan langsung mendekati kakanya. "Aku tahu apa yang terjadi, aku sudah menjadi orang tuanya selama bertahun-tahun." Ucap Intan yang juga mendekati Diki. "Dasar haaahhh." Teriak Diki dan langsung pergi ke rumah. Intan yang mendengar Diki berteriak, dia juga mengikuti Diki yang berteriak. Ibunya yang mendengar Intan berteriak, ia pun lalu memukul bahu belakangnya Intan. "Jaga bicaramu." Ucap Ibunya. "Melihat dari caramu berbicara, anakmu itu bukan satu-satunya yang berharga." Ucap Ibunya. "Tunggu Ibu, Diki..." teriak Ibunya yang berlari ke rumah. "Aku juga anakmu Ibu." Teriak Intan dan menyusul Ibunya ke rumah. Di kamar, Diki sedang mengingat pembicaraanya dengan Dinda saat di sekolah. "Apa yang kau katakan Dinda." Ucap Diki di dalam hati yang berbaring di atas kasur. Dinda yang sedang di kamarnya mencoba untuk tidur, namun tidak kunjung untuk tidur. Keesokan harinya Dinda pergi ke dokter. Dokter mengatakan bahwa Dinda sering marah-marah hingga membuatnya menjadi stres, dan susah untuk tidur malam dan sering mengalami demam. Dokter lalu memberikan Dinda obat. "Apakah dengan obat ini aku bisa baikan Dok?" tanya Dinda. "Tidak, ini hanyalah vitamin, jadi tidak akan membantu, tapi kau harus mencari penyebab kau stres dan kau harus mengatasinya." Ucap Dokter. Dinda di kelas sedang mengajar para murid, tentang apa itu puisi. Dan satu-satunya murid yang memperhatikan Dinda mengajar hanyalah Diki, karena semua murid lainnya ada yang tidur, dan ada juga yang menggambar di buku. "Apakah kalian akan membuat kreasi seni atau parodi saat ujian semester nanti?" tanya Bu Dinda yang melihat para muridnya tidak memperhatikannya saat belajar. "Siapapun yang menjawab akan mendapatkan nilai tambahan." Ucap Bu Dinda yang melihat para murid tidak ada yang berkata apapun. Bu Dinda yang melihat para murid tidak ada yang mengatakan apapun, ia lalu melihat ke arah Diki yang mengacungkan tanganya, namun Dinda pura-pura tidak melihat. "Mungkin tidak ada, baiklah Ibu akan pergi." Ucap Dinda yang langsung merapihkan buku-bukunya. "Aku...aku..aku." Teriak Diki yang melambaikan tanganya. Para murid yang mendengar Diki, mereka terkesan dan menyoraki Diki. "Baiklah, silahkan." Ucap Bu Dinda sambil tersenyum. Diki langsung berdiri dan menghadap ke depan. "Aku akan mencoba menyelidiki kembali puisi yang baru saja kita pelajari, yang berjudul ( Untuk 70 juta rupiah )." Ucap Diki yang membuat Dinda mulai kesal. "Guru pertama yang sangat galak." Ucap Diki seperti itu sampai tujuh kali. "Berhenti.... puisi macam apa itu?" Dinda yang kesal mencoba untuk tersenyum sambil meremas-remas kertas yang ada di tangannya. "Jalan hidup seorang murid adalah warisan dan estimasi dari seorang guru. Sebagai wakil dari tujuh puluh juta warga di Indonesia. Aku mewakili membuat puisi ini, untuk mengungkapkan rasa takut tujuh ribu guru." Ucap Diki yang langsung diberhentikan oleh Dinda. "Baik, cukup untuk hari ini, puisimu sangat unik dan susah. Sampai-sampai Ibu pun tidak paham apa yang kau katakan." Ucap Bu Dinda. "Ibu nanti akan memeriksa PR kalian setelah di kumpulkan." Ucap Bu Dinda yang langsung pergi dan mengajak Diki untuk berbicara. "Ya." Jawab Diki. "Kenapa kau tidak dewasa begitu?" tanya Dinda di atas tangga lantai dua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN